ICC Jakarta – Mengenang perihidup cendekiawan muslim, Jalaluddin Rakhmat dilakukan dengan banyak cara. Para sahabat Kang Jalal, sapaan akrab beliau, melakukan tahlil. Tahlil telah menjadi tradisi yang hidup ratusan tahun di kalangan muslim tanah air.
Sesuai tradisi yang lazim dilakukan di Indonesia, tahlilan dilakukan pada malam-malam tertentu. Lain dengan Almarhum Kang Jalal. Atas permintaan para sahabat dan murid-muridnya, tahlil diadakan setiap malam. Bahkan ada yang menyelenggarakannya pada siang hari.
Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta mengadakan tahlil usai Salat Jumat. Bertempat di Aula Husainiyah ICC tahlil yang dirangkai dengan taushiyah dari Ustadz Muhammad Rusli Malik berlangsung hingga Pukul 15.00.
Dalam penjelasannya, Ustadz Rusli Malik menyatakan bahwa cita-cita umat Islam tersimpul pada kebahagiaan di dunia dan keselamatan di akhirat. Kelompok-kelompok kelompok Islam memiliki cara masing-masing untuk mencapai maksud tersebut. Para pengikut Ahlul Bait Rasulullah saw. biasanya mengekspresikan dalam doa dab munajatnya untuk hidup dan mati sebagaimana hidup dan matinya Nabi Muhammad beserta keluarganya yang suci.
Pilihan para pecinta Ahlul Bait Nabi tersebut menurut Ustadz Rusli Malik sangat berat. Hidup Nabi saw dan keluarga sucinya serta para Imam Ahlul Bait as. dipenuhi dengan derita namun dihiasi dengan kepedulian yang amat tinggi terhadap sesama manusia.
Tradisi yang mencoba menghidupkan teladan Rasulullah saw dan keluarga sucinya itu sudah hidup di berbagai negara. Iran adalah salah satunya.
Bersamaan dengan itu ramalan Alvin Toppler ramai dibicarakan terutama oleh para aktivis. Salah satu di antaranya, tentang Abad Kebangkitan Islam. Menurutnya, Abad Kelimabelas Hijriah adalah gerbang kebangkitan peradaban Islam.
Berbagai kelompok umat Islam saat itu bak berlomba menampilkan gerakan untuk berada dalam proses kebangkitan tersebut. Berbagai simbol yang dianggap hersesuaian dengan kebangkitan Islam itu perlahan muncul. Tak perlu waktu belasan tahun suasana kebangkitan Islam menyeruak dan terasa di berbagai tempat. Tahun yang ditunggu adalah 1399 menuju peralihan ke 1400; Abad Kelimabelas Hijriah. Tahun itu adalah 1979.
Ketika umat Islam di berbagai negara sedang Abad Kebangkitan Islam, Imam Khomeini memimpin revolusi di Iran. Revolusi yang menumbangkan dinasti yang sudah sangat lama berkuasa itu, didahului berbagai aksi turun ke jalan dalam jumlahnya yang sangat banyak.
Ustadz Rusli Malik menyebutkan pengaruh gerakan revolusi di Iran ini segera menyebar ke berbagai negara. Dua faktor yang dianggap amat penting pada fenomena pergerakan Islam di Iran tersebut adalah ia dipimpin oleh ulama dan selalu melibatkan lautan massa perempuan.
Pada era itulah karya-karya para arsitek revolusi tersebut dibaca dan diterjemahkan oleh aktivis di Indonesia. Intelektual muslim Iran yang paling awal dibaca karyanya adalah Ali Syariati. Ia adalah seorang doktor di bidang sosiologi dari Sorbone University. Analisis Syariati khas ilmu sosial, terutama pendekatan kelas sosial.
Namun, Syariati tidak kering dari terma Alquran ketika menguraikan perlawanan kelas. “Dari Ali Syariati inilah kita membaca perlawanan Musa melawan Firaun sebagai tipologi yang mewakili dua kelas; penindas (mustakbirin) dan kaum tertindas (mustadhafin),” kata Ustadz Rusli Malik pada kesempatan lain.
Kang Jalal terlihat memiliki model yang sama dengan Ali Syariati. Ia adalah sarjana berlatar pendidikan umum namun fasih menerangkan fenomena keagamaan dan sosial dengan argumen Alquran. “Membaca buku-buku Ali Syariati mengajak kita melakukan pemberontakan,” kata Ustadz Rusli.
Intelektual lainnya adalah Murtadha Muthahhari. Ia adalah seorang ulama jebolan pesantren (hauzah ilmiah). Ia datang dengan bahasa yang datar. Tidak meluap-luap seperti Ali Syariati. Berbeda dengan Syariati, Muthahhari tampil menganalisis dan mengkritik berbagai ideologi dengan pendekatan Alquran. “Murhahhari adalah santri yang sangat piawai menjelaskan kelemahan (Sy)