ICC Jakarta –Ketika sang ayah naik tahta, ia ditetapkan sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Haryo Diponegoro (Foto: Tirto) BAGIKAN: Jakarta, NU Online Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siroj menyebut Pangeran Diponegoro adalah sosok yang memiliki prinsip dan karakter luar biasa. Terutama ketika ia menolak tawaran sang ayah untuk menjadi raja dan lebih memilih meninggalkan Kraton Ngayogyakarta Hadininigrat. Ia akhirnya tinggal di Desa Tegalrejo, Yogyakarta.
Demikian disampaikan Kiai Said dalam gelaran Haul Ke-166 Pangeran Diponegoro yang digelar secara daring Jumat (15/1) malam. Pada kesempatan ini, Kiai Said juga menjelaskan biografi singkat Diponegoro. “Pangeran Diponegoro lahir di Yogyakarta pada 11 November 1785 dan wafat di Makassar 8 Januari 1855. Usianya 69 tahun. Dilahirkan dari seorang ibu, Raden Ayu Mangkarawati dari Pacitan dan Gusti Raden Mas Suraja atau Sri Sultan Hamengkubuwana III,” papar Kiai Said. Mangkarawati adalah selir dari Hamengkubuwana III. Ia seorang putri dari Bupati Pacitan dan masih memiliki ikatan darah dengan Sunan Ampel, Surabaya. Makamnya berada di Astana Imogiri, Yogyakarta, satu kompleks dengan makam sang suami.
Pangeran Diponegoro bernama lahir Bendara Raden Mas Mustahar alias Abdul Hamid. Lalu diubah menjadi Bendara Raden Mas Ontowiryo. Kemudian ketika sang ayah naik tahta, ia ditetapkan sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Haryo Diponegoro. Kelak, ia memiliki gelar sebagai Sultan Abdul Hamid Herucakra Amirulmukminin Sayyidin Panatagama Khalifatullah Tanah Jawi. Setelah menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja, Pangeran Diponegoro keluar dari keraton dan memilih tinggal di Desa Tegalrejo. Berdekatan dengan tempat tinggal eyang buyut putrinya yakni Gusti Kanjeng Ratu Tegalrejo atau selir dari Sri Sultan Hamengkubuwana I. “Di sinilah Pangeran Diponegoro memiliki sikap dan karakter luar biasa, beliau diberi petunjuk dan kekuatan Allah agar menolak keberadaan Keraton Yogyakarta yang ketika itu sudah dikontaminasi Belanda,” tegas Kiai Said.
Waktu itu, Residen Belanda mengendalikan Patih Danurejo untuk bisa menguasai Kraton Yogyakarta. Lalu di sini, kata Kiai Said, mulailah Pangeran Diponegoro keluar dari Kraton dan bersikap untuk melawan VOC Belanda selama lima tahun, sejak 1825 hingga 1830. Menghadapi Pangeran Diponegoro, Belanda mengalami kerugian yang sangat besar. Bahkan hampir bangkrut. Lalu para pengurus VOC Belanda itu mengadakan rapat di Den Haag untuk membicarakan soal bagaimana mengalahkan Khalifatullah Tanah Jawi ini. “Keputusan (rapat itu) konon ada yang sudah tahu watak orang Jawa. Yaitu orang Jawa jangan dilawan dan dikasari karena nanti dia akan melawan dan bertahan. Orang Jawa itu harus dialem dan dipuji-puji sehingga nanti dia jadi lemah,” tutur Kiai Said.
Maka benarlah, Pangeran Diponegoro berhasil ditipu. Mulanya Belanda mengajak damai dan Diponegoro berhasil diajak damai. Kemudian ia berhasil ditangkap di Magelang dan dibawa ke Semarang. Lalu ia dibuang ke Manado dan Makassar. Jejaring ulama Diponegoro Sementara itu, penulis buku Jejaring Ulama Diponegoro Zainul Milal Bizawie menambahkan bahwa ketika Diponegoro ditangkap sebenarnya ada sosok yang ikut dan kemudian diperintahkan agar melarikan diri menghadap Paku Buwana IV. Sosok itu sangat dekat dengan Raja Surakarta Paku Buwana IV yakni Kiai Imam Rozi atau Singo Manjat dari Klaten.
Pada usia 24 tahun, Kiai Imam Rozi bergabung dengan Pangeran Diponegoro untuk memerangi Belanda. Ia diangkat sebagai Manggala Yudha atau panglima perang dan sebagai penghubung antara Pangeran Diponegoro dan Paku Buwono IV Surakarta. Pada saat Imam Rozi bersama Pangeran Diponegoro ditahan penjajah di Semarang, ia diminta melarikan diri dari tahanan dan menghadap Paku Buwono dengan membawa surat dari Pangeran Diponegoro. Isi surat itu antara lain memohon Paku Buwono menugasinya berdakwah di Surakarta Bagian Barat, mencarikan jodoh untuk mendampingi perjuangannya, dan disediakan tanah perdikan.
Pada tahun 1833, Kiai Imam Rozi melaksanakan tugas itu dan memilih Desa Tempursari sebagai tempat tinggal. “Surakarta tidak secara terang-terangan membantu Diponegoro tapi secara sembunyi-sembunyi. Bahkan ketika raja Surakarta Paku Buwono IV itu diperintahkan diminta oleh Belanda untuk menyerang Diponegoro justru mereka malah perang pura-pura, sehingga seolah melawan Diponegoro. Padahal sebenarnya memiliki perjanjian untuk saling mendukung karena ini adalah perjuangan bersama,” jelas Milal. “Kita tidak tahu pesan apa yang disampaikan Diponegoro kepada Singo Manjat itu. Tapi yang jelas itu adalah sebuah pesan untuk disampaikan kepada para ulama dan kiai yang telah mendukung atau pernah ikut pertempuran Diponegoro,” sambungnya.
Milal kemudian menjelaskan jejaring ulama yang membantu perjuangan Diponegoro. Salah satunya di Indramayu. Di sana ada seorang habaib yang sangat kental dalam membantu perjuangan Diponegoro. “Beliau adalah Habib Umar bin Toha bin Hasan bin Yahya. Seorang yang gagah sekali dan Belanda sangat takut kepadanya. Habib Umar sangat dekat dengan Habib Abdurrahman Al-Habsyi Cikini yang juga sangat dengan lingkaran perjuangan habaib yang mendukung Diponegoro,” ungkap Milal. “Kenapa? Karena Habib Cikini ini diambil menantu oleh salah satu adik dari Raden Saleh. Maka itu makam Habib Cikini berada dekat dengan Masjid yang dibangun Raden Saleh di Jakarta Pusat.
Habib Cikini dekat dengan Habib Hasan bin Yahya Pekalongan dan Habib Umar Indramayu,” lanjutnya. Di Pekalongan, kata Milal, ada pula kakak dari Raden Saleh yaitu Habib Alwi bin Yahya. Lalu di Semarang para habaib dari bani Bustaman, termasuk ayah Raden Saleh yakni Habib Husen bin Alwi bin Awal bin Yahya yang juga menjadi bagian dari jejaring perjuangan Diponegoro. “Banyak sekali sebenarnya para habaib yang menjadi guru dari Diponegoro ini,” tegas Milal. Berbagai daerah Inisiator Haul Diponegoro yang juga adalah Ketua PBNU KH Marsudi Syuhud mengatakan, sangat banyak jaringan kiai-kiai pesantren dan mursyid tarekat, termasuk para habaib yang membantuk perjuangan Diponegoro.
Ia menyebutkan beberapa, misalnya Kiai Modjo, Kiai Imam Puro, Kiai Muhammad Besari, Kiai Mahfud Termas, Kiai Abdullah Faqih Purwokerto, Kiai Soleh Darat, Syekh Kholil Bangkalan Madura, sampai ke Hadlratussyekh KH Hasyim Asy’ari. “Kemudian terus turun temurun sampai ke Kebumen. Ada Kiai Singa Barong, Kiai Nawawi Petanahan, Kiai Abdullah Suyuthi, Syekh Mahfud Somalangu, dan dari Kiai Ngabehi Singadipa, Kiai Mad Salam, Kiai Marzuki. Sampai ke Jawa Barat, Citangkolo Banjar,” ungkap Kiai Marsudi. “Lalu diurut urut ke selatan misalnya Cilacap, ada Kiai Asmorosufi, Kiai Arfah Sekonegoro, Gagah Handoko, Kiai Badlawi Kesugihan. Begitu pula para habaibnya, Sayyid Alwi Ba’abud, Habib Abubakar bin Toha Tejokusumo, Habib Toha Cirebon, Habib Umar Indramayu, Habib Hasyim Pepolangan, sampai ke Habib Ali Kwitang,” tambahnya. Dengan kata lain, Kiai Marsudi mengungkapkan bahwa sebenarnya ketika perang Diponegoro waktu itu, tidak ada sama sekali dikotomi yang menjadi pemisah antara kiai dan para habaib. Semua menyatu karena terpanggil untuk jihad membela tanah air.
Sumber: nu.or.id/