ICC Jakarta – Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mengaku sakit hati saat membaca berita aksi teror yang terjadi di Prancis setelah ada yang mengangkat kartun Charlie Hebdo yang dinilai menghina Nabi Muhammad Saw. Namun demikian, ia berusaha untuk membaca persoalan yang terjadi di Prancis secara komprehensif dan melihat bagian per bagian. Tujuannya, kata Alissa, agar tidak salah dalam merespons persoalan.
“Membaca konteks persoalan Paris sepertinya harus bagian per bagian, agar tidak salah merespons persoalan,” kata Alissa dalam cuitan di twitter dikutip NU Online, pada Senin (2/11). Menurutnya, persoalan kebebasan berekspresi (freedom of expression) berbeda dengan persoalan aksi teror dan persoalan pernyataan Presiden Macron yang juga dianggap merupakan hal lain yang berbeda.
“Persoalan freedom of expression itu satu hal. Persoalan aksi teror itu hal lain. Persoalan (pernyataan) Presiden Macron adalah hal yang berebda lagi,” ungkap putri sulung KH Abdurrahman Wahid ini. Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa soal kebebasan berekspresi memang menjadi permasalahan ketika diterjemahkan menjadi kebebasan, bukan kemerdekaan. Kata Alissa, sentimen dan ujaran kebencian sudah lama menjadi pembahasan di dalam konteks HAM. Sekalipun begitu, imbuhnya, dunia masih gamang juga soal batasan-batasan yang harus diperhatikan. Selain itu, ia juga mempertanyakan soal bagaimana menjaga (batasan) agar tidak jadi penindasan atas hak berekspresi. “Sudah pernah saya kutip Howard Gardner (Psikolog asal Amerika). Dia belajar dari kasus komik Nabi di Denmark. Lalu dia cocokkan dengan ideal pemimpin milenium ini. Dia simpulkan: pemimpin masa kini harus punya respecting thinking (menghormati pemikiran),” jelas Alissa,
Ia kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, “Kalau sudah tahu (komik) itu akan menyakiti orang lain, kenapa (masih) dilakukan?”
Lalu, Alissa mengunggah pamflet Gus Dur dengan tulisan kalimat bijak yang sangat populer. Kalimat itu berbunyi, “Kalau anda tidak ingin dibatasi, janganlah anda membatasi. Kita sendirilah yang harusnya tahu batas kita masing-masing. Gitu aja kok repot!” Alissa menyoroti persoalan aksi teror yang terjadi di Prancis. Menurutnya, hal itu berbeda dengan soal kebebasan bereskpresi versus ujaran kebencian. Ia menyadari bahwa aksi teror tidak mengenal agama karena siapa pun bisa melakukan itu. “Memang, aksi teror tidak kenal agama. Siapa saja bisa lakukan teror. Tiap agama dan ideologi kudu (harus) sadar ada kelompok-kelompok garis kerasnya,” pungkasnya.
NU kecam keras pernyataan Macron tentang Islam Dalam pertemuan tertutup bersama pemimpin lintas agama di Istana Negara Jakarta, pada Sabtu (31/10) lalu, Sekretaris Jenderal Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) H Ahmad Helmy Faishal Zaini, di hadapan Presiden Joko Widodo menyampaikan empat poin sikap terhadap pernyataan Macron. Pertama, dikatakan bahwa NU mengecam keras dan sangat menyayangkan pernyataan Macron yang menyebut Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis di seluruh dunia. Menurut Helmy, tidak bisa tindakan perorangan digeneralisasi sebagai ajaran agama. Ia menegaskan, ekstremisme tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama.
“Mempropagandakan bahwa Islam adalah agama ekstremis merupakan tindakan tidak benar. Pernyataan Macron merupakan pernyataan yang sangat provokatif, tendensius dan menggelorakan islamophobia yang berdampak terhadap perdamaian dunia,” ungkap Helmy. Kedua, diungkapkan Helmy bahwa cara-cara kekerasan, apapun bentuknya, tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Islam. Termasuk juga di dalam ajaran agama lainnya. “Oleh karena itu, kami mengecam keras pemenggalan terhadap seorang guru di Prancis.
Sebagai umat beragama, kita harus taat dan menghormati hukum yang berlaku,” tuturnya. Ketiga, ia meminta kepada segenap umat Islam dan warga NU untuk tidak terprovokasi. Lebih jauh, Helmy berharap semua pihak harus menahan diri sembari terus mengupayakan solusi terbaik. Keempat, ia mengatakan bahwa Islam memiliki ajaran yang melarang untuk menggambar Nabi Muhammad Saw dalam bentuk apapun. “Sebagai pemeluk agama, kita harus dapat saling menghormati dan menghargai keyakinan masing-masing. Kebebasan berpendapat harus dijalankan di atas koridor yang tidak melukai, menyakiti dan mencederai keyakinan pihak lain,” tegasnya. Selain Sekjen PBNU, pertemuan itu juga dihadiri Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah Anwar Abbas, Kardinal Ignatius Suharyo/Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Ketua Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) Gomar Gultom, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi. Hadir juga Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat Wisnu Bawa Tenaya, Ketua Umum Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi) Arief Harsono, dan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) Budi Santoso Tanuwibowo.
Sumber: https://www.nu.or.id/