ICC Jakarta – Tidak diragukan lagi, fitnah gerakan radikalisme (al-tatharruf)[i] dan takfiri, di samping musuh eksternal, telah menjadi bahaya serius yang mengancam masyarakat Islam dan kesucian Islam. Hal ini terbukti dengan tidak ada satu hari pun yang berlalu selain kaum radikal ini menambahkan ke dalam buku hitam mereka berbagai catatan kejahatan yang ditujukan kepada kesucian seluruh mazhab Islam. Sejalan dengan mereka kaum Takfiri menumpahkan darah suci kaum muslimin yang tidak berdosa dan menghancurkan simbol-simbol sakral yang dianggap sebagai lambang suci identitas mereka. Saat ini, mereka pun sedang melakukan—sebagaimana pendahulu Khawarij mereka—berbagai macam pembunuhan dan perampasan hak-hak kaum muslimin sebagai akibat dari pembacaan (kitab suci) mereka yang keliru dan eksploitasi sesat ayat-ayat al-Quran yang mulia. Sikap ini sejalan dengan ungkapan Imam Ali as: “Perkataan mereka benar, namun yang dituju sebenarnya adalah kebatilan.” Atas nama pembacaan teks dan tafsir bid’ah ini mereka telah menghalalkan penumpahan darah kaum muslimin, merampas harta benda mereka dan merusak kehormatan mereka. Ciri utama perilaku mereka dari dulu adalah menumpahkan minyak bensin ke dalam api perbedaan pendapat (ikhtilaf) serta menggembar-gemborkan isu sektarianisme di antara kaum muslimin. Mereka pun meruntuhkan syiar-syiar agama kaum muslimin dengan melontarkan berbagai tudingan palsu dan fitnah keji kepada para imam mazhab mereka dan meramaikan kaum awam dengan perilaku dan kebiasaan sesat. Sudah jelas bahwa tujuan di balik semua tindakan mereka ini tiada lain adalah untuk memperluas dan memperdalam suasana skeptis dan pertentangan di kalangan muslimin.
Berbeda dengan hal tersebut di atas, kebijakan lembaga resmi rujukan urusan agama (marja’iyyah) mazhab Syi’ah dan pendapat-pendapat para ulama agung mereka tidak memperbolehkan melakukan pelecehan (isa’ah) terhadap hal-hal yang dianggap sakral (muqaddasah) oleh berbagai mazhab Islam dan mengafirkan para pengikutnya. Sikap tegas ini ditampakkan dengan mengeluarkan fatwa-fatwa pengharaman perbuatan keji seperti ini. Karena itulah, Sekretariat Jenderal Konferensi Internasional Mengenai Bahaya Gerakan Radikalisme dan Takfirisme yang bekerja sama dengan lembaga Wali Fakih yang mengurusi urusan haji dan ziarah mempertimbangkan untuk melakukan penyebarluasan fatwa-fatwa para marja mazhab Syi’ah. Langkah ini dimaksudkan agar kita semua bisa berjalan dalam suatu langkah pemikiran yang sama dan sangat penting dalam rangka menguatkan fondasi upaya pendekatan antarmazhab Islam dan memperkokoh pendekatan besar di antara para ulama semua mazhab Islam dalam lingkup perlawanan gerakan radikalisme dan takfirisme dan berbagai tindak kriminal mereka.
Buku ini
mengumpulkan berbagai fatwa marja mazhab Syi’ah seputar haramnya
melecehkan hal-hal yang dianggap sakral
oleh mazhab-mazhab di dalam Islam serta mengafirkan para Ahlulkiblat dalam
naungan ajaran-ajaran al-Quran yang mulia dan hadis-hadis yang agung. Kami
berharap upaya para ulama ini akan mampu mengokohkan tekad kita dan memperkuat
proyek menghapus fitnah arus radikalisme dan takfiri baik di dalam area
pemikiran maupun aksi di Dunia Islam.
Hanya kepada Allah kami memohon taufik.
[i] Secara istilah radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix” yang artinya akar, pangkal, bagian bawah, atau bisa juga berarti menyeluruh, habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) radikalisme berarti (1) paham atau aliran yang radikal dalam politik; (2) paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis; (3) sikap ekstrem dalam aliran politik. Seringkali dalam mewujudkan cita-cita perubahan mereka menggunakan cara-cara kekerasan atau terorisme.
Dalam konteks Indonesia, Rubaidi menguraikan lima ciri gerakan radikalisme. Pertama, menjadikan Islam sebagai ideologi final dalam mengatur kehidupan individual dan juga politik ketatanegaraan. Kedua, nilai-nilai Islam yang dianut mengadopsi sumbernya—di Timur Tengah—secara apa adanya tanpa mempertimbangkan perkembangan sosial dan politik ketika Alquran dan Hadis hadir di muka bumi ini, dengan realitas lokal kekinian. Ketiga, karena perhatian lebih terfokus pada teks Alquran dan Hadis, maka purifikasi ini sangat berhati-hati untuk menerima segala budaya non asal Islam (budaya Timur Tengah) termasuk berhati-hati menerima tradisi lokal karena khawatir mencampuri Islam dengan bid’ah. Keempat, menolak ideologi Non-Timur Tengah termasuk ideologi Barat, seperti demokrasi, sekularisme dan liberalisme. Sekali lagi, segala peraturan yang ditetapkan harus merujuk pada Alquran dan Hadist. Kelima, gerakan kelompok ini sering berseberangan dengan masyarakat luas termasuk pemerintah. Oleh karena itu, terkadang terjadi gesekan ideologis bahkan fisik dengan kelompok lain, termasuk pemerintah (sila baca Rubaidi, A. Radikalisme Islam, Nahdhatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, hal. 63).