ICC Jakarta – Ijtihad dalam syariat tentunya mengandung risiko subjektivitas di mana segala yang menjadi latar belakang mujtahid, termasuk faktor pandangan, selera, perspektif dan kepuasan-kepuasannya, turut andil dalam diri mujtahid sehingga ijtihad yang dilakukan oleh dua orang yang berbeda dalam satu perkara dapat membuahkan hasil yang berbeda satu sama lain. Ini berarti bahwa ada hal-hal subjektif yang terimbuhkan dalam proses ijtihad, sementara nas-nas yang ada berbicara tentang hakikat dan hukum yang satu—dalam ilmu Allah Swt—betapapun hasil yang didapat oleh masing-masing mujtahid tetap berlaku sebagai hujah bagi diri masing-masing dan bagi para pengikut (muqallid) masing-masing.
Keadaan demikian tentu tidak terjadi pada nas-nas yang solid (qath’i) dari segi sanad maupun makna. Di sini ijtihad tidak berlaku. Ijtihad hanya berlaku pada hal-hal yang tersentuh prasangka dan perkiraan. Risiko subjektivitas menemukan puncaknya manakala praktik ijtihad menanjak pada taraf penggalian perspektif Islam secara komprehensif. Risiko demikian lebih besar daripada ketika ijtihad berada pada tataran penggalian hukum-hukum individual.
Imam Syahid al-Shadr mengaitkan fenomena ini pada beberapa asumsi yang utamanya ialah sebagai berikut;
1. Pembenaran atas kenyataan yang dialami mujtahid tanpa dia sadari.
2. Pengintegrasian nas pada kerangka khusus.
3. Pemisahan dalil syar’i dari konteksnya.
4. Pengambilan
sikap apriori terhadap nas.[1]
Poin inilah yang dijadikan bahan oleh para penebar keraguan dalam pemikiran Islam dan para penyeru sikap kontraijtihad untuk mencemooh ijtihad, menyingkirkan peran ijtihad dari gelanggang kehidupan, dan mengurangi pengaruh para mujtahid dalam kehidupan dengan alasan bahwa kehidupan adalah wilayah profan.
Namun demikian, sebagaimana telah disinggung tadi, sesungguhnya terdapat zona sakral yang tidak dapat dijangkau oleh tangan-tangan lancang, yaitu zona nas yang solid dari segi sanad dan makna dengan semua hukum dan konsep solid yang terkandung di dalamnya. Sedangkan di zona praduga (zhaniyyah) pun juga terdapat dalil-dalil qath’i seperti dalil mengenai validitas makna harfiah (hujjiyat al-zhuhur) dan lain-lain yang memberi kita ruang luas yang tak terjamah oleh tangan-tangan lancang.
Kemudian, untuk menekan subjektivitas hingga ke titik terendah, para ulama juga sangat berhati-hati di zona zhanniyyah setelah tidak ada alternatif apa pun kecuali menempuh jalur ijtihad, dan ini merupakan sesuatu yang wajar dalam penafsiran terhadap undang-undang atau teks apa pun.
Di sinilah kemudian muncul ilmu ushul fikih dengan segala kaidahnya yang akurat dan mengatur proses ijtihad melalui:
a. Kajian dalil-dalil yang dapat mengungkap realitas hukum syar’i. Kajian ini meliputi dalil-dalil syar’i tekstual beserta pembahasannya yang panjang lebar tentang peletakan arti kata, bentuk kata, implikasi dan validitas makna harfiah dan penerapannya. Selanjutnya adalah kajian tentang dalil-dalil rasional dan hubungan antarhukum sendiri serta hubungannya dengan semua objek, pendahuluan dan segala sesuatu yang terkait terkait dengannya.
b. Kajian tentang prinsip-prinsip syariat yang mengemuka untuk mengurai kebuntuan ketika tidak ada dalil yang mengungkap realitas hukum syar’i. Kajian ini meliputi pembahasan tentang istishab dan faktor penghasil pengetahuan global.
c. Kajian tentang kontradiksi antardalil, dan ini merupakan kajian yang sangat kaya dan panjang lebar.
Sebagian ulama menambahkan soal pentingnya tema tujuan syariat (maqāshid syar’iyyah) yang dapat diketahui dari syariat sehingga masalah ini ikut berperan dalam proses istimbat. Dapat pula kita menambahkan soal pertimbangan karakteristik Islami yang berlaku umum dan pasti bagi agama ini, seperti realistis, kefitrian, keseimbangan, inklusivitas, keabadian, keterakhiran, kemoderatan, interkonektivitas, universalitas dan lain-lain.
Alhasil,
tidak ada alasan untuk mereduksi peran ijtihad dalam upaya memahami dan
menerapkan syariat Islam.
[1] Iqtishādunā, jilid 2, hal. 384, cetakan Masyhad.