ICC Jakarta – Saktah secara bahasa berarti mencegah. Sedangkan, saktah secara istilah dalam ilmu tajwid adalah memutus satu kalimat dari kalimat setelahnya dengan kadar dua harakat/satu alif tanpa mengambil napas. Perhatikan, saktah adalah bacaan yang berdasarkan riwayat yang diterima secara turun-menurun dari bacaan Rasulullah ﷺ dan tidak boleh membaca saktah selain pada tempat-tempat yang dibaca saktah dalam riwayat yang shahih. Menurut pendapat Ibnu Sa’dan, saktah boleh digunakan secara mutlak ketika membaca washl dalam setiap akhir ayat dengan tujuan menunjukkan bahwa kalimat tersebut berada di akhir ayat, akan tetapi pendapat ini tidak digunakan (Muhammad Ibnu Jazari, An-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr, [Dar Shahabah Thanta, 2002], vol. 2 hal. 195 ).
Asy-Syathibi merekam definisi saktah dalam nadham Hirzul Amani:
وسكتهم المختار دون تنفس ۞ وبعضهم في الأربع الزهر بسملا
Dan saktah yang dipilih para ulama adalah (berhenti) tanpa mengambil napas Dan sebagian ulama tajwid membaca basmalah dalam awal empat surat yang masyhur Dan al-Ja’bari mendefinisikan saktah sebagai memutus suara dalam waktu yang singkat di bawah masa mengambil napas dengan gambaran seandainya saktah dilakukan dalam waktu lama, niscaya akan serupa dengan waqf (berhenti) (Muhammad Ibnu Jazari, An-Nasyr fi al-Qira’at al-Asyr, 2: 193). Dalam riwayat Imam Hafsh dari Imam Ashim, bacaan saktah dalam Al-Qur’an terdapat dalam dua kategori yaitu: Pertama, saktah yang disepakati, yaitu bacaan yang hanya memiliki satu cara baca (saktah) dan hanya ada dalam qira’at Imam Ashim yang diriwayatkan oleh Imam Hafsh sebagaimana yang dicatat oleh asy-Syathibi dalam nadham Hirzul Amani
وسكتة حفص دون قطع لطيفة ۞ على ألف التنوين في عوجا بلا وفي نون من راق ومرقدنا ولا ۞ م بل ران والباقون لا سكت موصلا
Dan saktah menurut Imam Hafsh diterapkan tanpa memutus runtutan kalimat dan dibaca samar Maka terapkanlah ketika membaca alif tanwin pada lafadz عوجا. Dan di dalam huruf Nun pada lafadz (من راق) dan lafadz (مرقدنا), Serta di dalam huruf lam pada lafadz (بل ران), sedangkan selain Imam Hafsh tidak membaca saktah (dalam contoh-contoh di atas). Secara terperinci yaitu:
1. Saktah dalam QS al-Kahfi ayat 1-2:
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابَ وَلَمْ يَجْعَلْ لَهُ عِوَجًا (١) قَيِّمًا لِيُنْذِرَ بَأْسًا شَدِيدًا مِنْ لَدُنْهُ وَيُبَشِّرَ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا حَسَنًا (٢)
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan Kitab (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya dan Dia tidak menjadikannya bengkok, (Dia menurunkan Al-Qur’an) sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan akan siksa yang sangat pedih dari sisi-Nya dan memberikan kabar gembira kepada orang-orang mukmin yang mengerjakan kebajikan bahwa mereka akan mendapatkan balasan yang baik” (QS Al-Kahfi: 1-2). Ini adalah contoh saktah pada alif perubahan dari tanwin. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (عِوَجًا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz (قَيِّمًا) yang bermakna lurus sebagai sifat/na’at dari lafadz (عِوَجًا) yang bermakna bengkok. Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah ”Dia tidak menjadikannya bengkok yang lurus”. Padahal, yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah (قَيِّمًا) terbaca nashab/fathah sebab amil fi’il berupa lafadz (أنزله) yang disimpan sehingga makna yang dikehendaki adalah “Dia menurunkan Al-Qur’an sebagai bimbingan yang lurus yang tidak ada kebengkokan sedikitpun di dalamnya” (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha [Beirut: Muassasah ar-Risalah Beirut], 1997, vol. 2 hal. 55).
2. Saktah dalam QS Yasin ayat 52:
قَالُوا يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ وَصَدَقَ الْمُرْسَلُونَ (٥٢)
Mereka berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)?” Inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih dan benarlah rasul-rasul(-Nya)” (QS Yasin: 52). Ini adalah contoh saktah di tengah ayat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَرْقَدِنَا) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa lafadz (هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ) adalah satu rangkaian dalam ucapan orang kafir yang berupa (يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا). Seandainya tidak terbaca saktah mungkin saja pendengar akan memahami makna yang dimaksud adalah “Mereka (orang kafir) berkata,”Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur), inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih”. Padahal, menurut riwayat Qatadah yang dikehendaki dalam susunan ayat ini adalah (هَذَا مَا وَعَدَ الرَّحْمَنُ) “inilah yang dijanjikan (Allah) Yang Maha Pengasih” sebagai ucapan orang yang beriman, sedangkan (يَا وَيْلَنَا مَنْ بَعَثَنَا مِنْ مَرْقَدِنَا) “Celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat tidur kami (kubur)” sebagai ucapan orang kafir. Dan saktah disini sebagai pemisah dua ucapan yang dilontarkan oleh dua kelompok yang berbeda yaitu orang beriman dan orang kafir (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha, 2: 55) 3. Saktah dalam QS Al-Qiyamah ayat 27:
وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ (٢٧)
“Dan dikatakan (kepadanya), “Siapa yang dapat menyembuhkan?” (QS Al-Qiyamah: 27).
Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (مَنْ رَاقٍ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (مَنْ رَاقٍ) yang dibaca berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (مرّاق) yang bermakna “orang yang sering berperang”. Seandainya tidak dibaca saktah bisa saja pendengar memahami ayat berupa (وَقِيلَ مَنْ رَاقٍ) yang bermakna “Dan dikatakan (kepadanya), “Wahai orang yang sering berperang”. Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr [Kairo: Dar al-‘Aqidah], 2006, hal. 10). 4. Saktah dalam QS Al-Muthaffifin ayat 14:
كَلَّا بَلْ رَانَ عَلَى قُلُوبِهِمْ مَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (١٤)
“Sekali-kali tidak! Bahkan apa yang mereka kerjakan itu telah menutupi hati mereka” (QS Al-Muthaffifin: 14). Ini adalah contoh saktah di tengah rangkaian kalimat. Hikmah adanya saktah dalam lafadz (بَلْ رَانَ) adalah menampik kesalahpahaman di telinga pendengar bahwa susunan kalimat (بَلْ رَانَ) yang berbentuk satu-kesatuan lafadz berupa (برّان) yang bermakna “dua orang yang menepati janji (bentuk ganda/tatsniyyah dari lafadz بر)”. Tentu, kesalahpahaman ini berdampak mengubah makna ayat yang dikehendaki Allah (Muhammad ash-Shadiq Qamhawi, Thala’i al-Basyar fi Tawjih al-Qira’at al-‘Asyr, hal. 10). Kedua, saktah yang memiliki perbedaan (bi khulfin ‘anhu/بخلف عنه), yaitu bacaan yang memiliki tiga cara baca (waqf, washl, dan saktah) yang berdasarkan riwayat yang diperoleh Imam Hafsh dari Imam Ashim. Bacaan saktah ini berada di dua tempat yaitu: 1. Saktah dalam akhir QS Al-Anfal dan awal QS At-Taubah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ ( (٧٥) بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١)
Di antara dua ayat ini (ayat terakhir QS Al-Anfal dan awal ayat QS At-Taubah), qira’at Imam Hafsh dari Imam Ashim memiliki tiga cara baca yaitu:
● Dapat dibaca waqf pada lafadz (إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ), kemudian membaca ayat:
بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
● Dapat dibaca washl (disambung) antarayat tanpa waqf (berhenti) maupun saktah:
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
● Dapat dibaca saktah pada lafadz (إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ) kemudian membaca ayat: بَرَاءَةٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ Hikmah dari adanya tiga cara baca dalam ayat ini adalah para sahabat berbeda pendapat apakah QS Al-Anfal dan QS At-Taubah adalah satu surat ataukah dua surat yang terpisah. Menurut sebagian sahabat kedua surat ini adalah satu-kesatuan sehingga jumlah ayat keseluruhan adalah 204 ayat (Al-Anfal 75 ayat + At-Taubah 129 ayat) dan termasuk sebagai surat ketujuh dalam formasi tujuh surat panjang (Al-Baqarah, Ali Imran, An-Nisa’,Al-Maidah, Al-An’am, Al-A’raf, Al-Anfal+At-Taubah). Sedangkan menurut sebagian sahabat yang lain kedua surat ini adalah dua surat Al-Qur’an yang terpisah. Karena itulah, para sahabat tidak menulis basmalah di antara keduanya sebagai tanda bahwa sebagian sahabat berpendapat bahwa keduanya adalah satu-kesatuan surat dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, sebagai gantinya sebagian para sahabat memilih riwayat yang membaca saktah di antara kedua ayat ini yaitu akhir surat Al-Anfal dan awal surat At-Taubah ( Abu Qasim Mahmud bin Umar az-Zamakhsyari, Al-Kasyaf ‘an Haqaiq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Takwil [Kairo: Maktabah], 2010, vol. 2, hal. 138).
2. Saktah dalam QS Al-Haqqah ayat 28-29: مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ (٢٨) هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ (٢٩) Di antara dua ayat ini (QS Al-Haqqah ayat 28-29), qira’at Imam Hafsh memiliki tiga cara baca yaitu:
● Dapat dibaca waqf pada lafadz (مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ), kemudian membaca ayat هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَه
● Dapat dibaca washl/ disambung antarayat tanpa waqf maupun saktah
مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَهْ
● Dapat dibaca saktah pada lafadz (مَا أَغْنَى عَنِّي مَالِيَهْ), kemudian membaca ayat هَلَكَ عَنِّي سُلْطَانِيَه Hikmah dari adanya tiga cara baca dalam ayat ini adalah adanya ha’ saktah (huruf ha’ yang berfungsi untuk menjelaskan harakat pada huruf sebelumnya ketika waqf dan tetap terbaca ketika washl). Kemudian, ha’ saktah dalam akhir ayat ini bertemu dengan ha’ lafadz (هَلَكَ عَنِّي) ketika washl. Oleh karena itu, muncul hukum saktah sebagai penengah di antara kedua ha’ ini (ha’ saktah lafadz مَالِيَه dan ha’ lafadz هَلَكَ) agar terlihat bahwa kedua lafadz ini terpisah secara jelas di telinga pendengar (Abu Muhammad Maki bin Abi Thalib, al-Kasyaf ‘an Wujud al-Qiraat as-Sab’i wa ‘Ilaliha wa Hujajiha, 1: 308). Ha’ saktah dalam Al-Qur’an terdapat dalam tujuh lafadz yaitu lafadz كتابيه (QS Al-Haqqah ayat 19 dan ayat 25), lafadz حسابيه (QS Al-Haqqah ayat 20 dan ayat 26), lafadz ماليه (QS Al-Haqqah ayat 28), lafadz سلطانيه (QS Al-Haqqah ayat 28), lafadz ماهيه (QS Al-Qari’ah ayat 10). (Abu ‘Amr Utsman bin Sa’id ad-Dani, Al-Muktafa fi al-Waqf wal Ibtida, Dar ash-sahabat Thanta, 2006, hal. 243). Muhammad Tholhah al Fayyadl, mahasiswa jurusan Ushuluddin Universitas al-Azhar Mesir, alumnus Pondok Pesantren Lirboyo
Sumber: https://islam.nu.or.id/