Oleh Ustadz Husein Alkaff
Membunuh Anak
ICC Jakarta – Salah satu tradisi sebagian kabilah Arab jahiliyah adalah mengubur anak hidup-hidup. Perbuatan ini mereka lakukan karena faktor ekonomi dan takut miskin sehingga turun ayat 31 surah al Isra’ , atau karena faktor gengsi jahiliyah seperti dijelaskan dalam ayat 58-59 surah al Nahl. Sebenarnya, membunuh anak pada zaman sekarangpun terjadi di berbagai bangsa dan negara, baik karena takut miskin dan dilakukan masih dalam kandungan, atau karena malu seperti yang biasa dilakuan seorang perempuan yang hamil di luar nikah. Yang menjadi topik tulisan ini adalah membunuh anak kecil perempuan karena faktor ghirah jahiliah.
Dalam buku-buku tafsir dan sejarah diceritakan bahwa menjadi sebuah kelaziman ketika kaum wanita yang terhormat menjadi tawanan perang, maka mereka menjadi istri atau milik kabilah yang menawan mereka itu. Kemudian setelah berdamai, maka keluarga atau kabilah para wanita itu berusaha untuk mengambil pulang mereka melalui sebuah negosiasi.
Dalam negosiasi itu, biasanya kabilah yang menawan para wanita itu memberikan pilihan kepada para wanita itu; apakah mereka mau kembali ke kabilah mereka atau tetap bersama kabilah yang menawan mereka dengan tebusan.
Pernah tejadi, bebarapa kabilah mendapatkan para wanita mereka yang ditawan menolak untuk kembali bersama mereka, dan para wanita itu memilih untuk tetap bersama kabilah yang menawan mereka. Hal itu membangkitkan marah dan kekesalan yang dalam bagi kabilah para wanita itu. Karena rasa kesal, dan takut hal itu akan terjadi lagi, mereka mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka.
Dalam kitab al Aghâni disebutkan sebuah kisah tentang seorang sahabat Nabi saw. bernama Qais bin ‘Âshim al Tamîmi al Sa’di yang pernah mengubur hidup-hidup bayi perempuannya. Dalam kitab itu diceritakan bahwa pernah kabilah al Misymaraj al Yasykari menyerang kabilah Bani Sa’ad, lalu mereka menawan wanita-wanita dan merampas harta-harta Bani sa’ad. Diantara wanita-wanita tawanan itu terdapat seorang wanita keponakan Qais bin ‘Âshim.
Setelah berdamai, Qais bin ‘Âshim pergi menghadap kabilah al Misymaraj al Yasykari dengan tujuan mengambil pulang keponakannya itu dengan sebuah tebusan. Kemudian dia mendapatkan keponakannya telah diambil oleh ‘Amr bin al Misymaraj untuk dirinya. Qais bertanya kepada ‘Amr perihal keponakannya itu. ‘Amr menjawab, “ Aku serahkan urusan dia kepada dia sendiri. Jika dia memilihmu, maka ambillah “. Lalu keponakannya diminta memilih. Ternyata dia memilih untuk tetap bersama ‘Amr bin al Misymaraj.
Setelah kejadian itu, Qais pulang ke kabilahnya lalu mengubur setiap anak perempuan dari kabilahnya. Dia bersama kabilahnya melakukan hal itu pada setiap anak perempuan mereka yang baru lahir sebagai ritual dan tradisi. Kemudian beberapa kabilah Arab lainnya mengikutinya.
Suatu waktu, Qais bin ‘Âshim datang kepada Rasulullah saw., lalu sebagian orang-orang al Anshâr bertanya kepadanya tentang kebiasaannya mengubur hidup-hidup bayi perempuan. Dihadapan Rasulullah saw. dan orang-orang al Anshar, Qais berkata, “ Dahulu pernah terjadi sebuah kejadian yang buruk dan memalukan berkenaan dengan anak perempuanku. Tidak lah lahir bayi perempuan dariku kecuali aku menguburnya hidup-hidup. Aku tidak pernah sayang kepada mereka sama sekali kecuali kepada anak perempuan kecilku yang dilahirkan oleh ibunya saat aku dalam perjalanan. Ibunya menyerahkan anak perempuanku itu kepada paman-pamannya sehingga dia tinggal di tengah mereka.
Saat aku pulang, aku bertanya kepada istriku tentang anak yang dilahirkannya itu. Istriku memberitahuku bahwa dia telah melahirkan bayi laki-laki dalam keadaan mati. Padahal dia melahirkan anak perempuan dan menitipkannya kepada paman-pamannya sehingga anak perempuanku itu tinggal bersama mereka hingga besar dan dewasa. Waktu itu, aku tidak tahu kejadian yang sebenarnya.
Beberapa tahun kemudian, istriku mengajakku mengunjungi paman-pamannya. Di rumah mereka, aku melihat anak perempuan yang rambutnya panjang dan dihiasi dengan hiasan yang rapih, dan pada setiap helai rambutnya tercium aroma wangi. Dia memakai kalung dari butiran Yamani, dan pada lehernya menempel perhiasan. Aku bertanya, “ Siapakah anak perempuan ini ? Sungguh kecantikan dan penampilannya mengagumkan “.
Istriku menangis dan berkata, “ Dia adalah anakmu ?. Dulu aku beritahu kamu bahwa aku melahirkan bayi laki-laki dalam keadaan mati. Padahal aku melahirkan bayi perempuan dan aku titipkan dia kepada paman-pamanku sampai dia mencapai usia seperti sekarang ini “.
Aku menahan diri dan tidak lagi memikirkannya hingga pulang ke kabilahku. Pada suatu hari, aku ajak dia keluar, lalu aku menggali lubang kecil dan aku letakkan dia di dalamnya. Dia berkata kepadaku, “ Ayahku, apa yang anda lakukan terhadapku ? “.
Lalu aku lemparkan tanah ke atasnya, dia berkata, “ Ayahku, apakah anda akan menguburku dengan tanah ? Apakah anda membiarkanku sendirian dan meninggalkanku ? “ .
Aku terus melemparinya dengan tanah sehingga menguburnya hingga hilang suaranya. Sungguh selama hidupku, aku tidak pernah menyayangi seseorang yang aku kubur kecuali dia “.
Mendengarkan cerita itu, kedua mata Nabi saw. mencucurkan air mata, lalu beliau bersabda, “ Sungguh itu merupakan kekerasan hati, dan sesungguhnya orang yang tidak menyayangi tidak akan disayangi “.
Dalam riwayat lain diceritakan, ada seorang sahabat Nabi saw. tampak gelisah di hadapan Nabi saw., lalu Nabi saw.bertanya kepadanya, “ Mengapa kamu tampak bersedih ? “.
Dia menjawab, “ Ya Rasulullah, sungguh aku telah melakukan sebuah dosa pada masa Jahiliyah. Aku takut Allah tidak mengampuniku, meskipun aku sudah menjadi Muslim “.
Kemudian beliau bersabda, “ Beritahu aku tentang dosamu itu “.
Dia menjawab, “ Ya Rasulullah, sesungguhnya dulu aku termasuk dari orang-orang yang membunuh anak-anak perempuan. Suatu waktu, lahir lah seorang anak perempuan. Istriku memohon kepadaku agar aku membiarkannya hidup. Maka aku biarkan dia hidup hingga besar dan dewasa. Dia menjadi seorang wanita yang sangat cantik. Banyak laki-laki yang melamarnya, lalu masuk dalam diriku rasa cemburu. Hatiku goncang; apakah aku menikahkannya atau membiarkannya hidup bersamaku di rumah tanpa nikah. Aku berkata kepada istriku, “ Sesungguhnya aku ingin pergi ke kabilah ini dan itu untuk mengunjungi kerabat-kerabatku. Biarkan anakku pergi bersamaku. Istriku senang dengan hal itu. Dia menghiasinya dengan pakaian dan perhiasan, serta meminta dariku perjanjian agar aku tidak mengkhianatinya.
Kemudian aku pergi menuju sebuah sumur, dan aku melihat ke dalam sumur. Anakku itu paham bahwa aku akan melemparkannya ke dalam sumur, lalu dia memegangku dan menangis. Dia berkata, “ Hai ayahku, apa yang ingin kamu lakukan terhadapku ? “.
Muncul dalam diriku rasa sayang padanya. Aku kembali melihat ke dalam sumur, lalu muncul dalam diriku rasa cemburu; kalau anakku menikah dan dibawa pergi suaminya. Anakku kembali memegangku dan berkata, “ Hai ayah, jangan kamu sia-siakan amanat ibuku “.
Jiwaku goncang. Aku terkadang melihat ke dalam sumur dan terkadang melihat dia sampai setan merasukiku, lalu aku tarik dan lemparkan dia ke sumur dangan posisi terbalik. Dia memangilku dari dalam sumur, “ Hai ayahku, kamu telah membunuhku “.
Kemudian aku diam terpaku di sana sampai suara anakku berhenti, dan aku pun pulang “.
Mendengar cerita itu, Nabi saw. dan para sahabatnya menangis terharu. Beliau bersabda, ” Seandainya aku diperintahkan untuk menghukum seseorang karena perbuatan yang dilakukan pada masa Jahiliyah, maka aku akan menghukummu “.
(Disadur dari Kitab al Aghanidan Kitab _al Mufashshal fi Ta Târîkh Arab Qabla al Islâm)