ICC Jakarta-Masalah yang dipertanyakan merupakan salah satu dari hukum-hukum Ilahi yang terdapat dalam al-Quran al-Karim. Kesimpulannya adalah bahwa seorang pezina, ketika ia telah dikenal di kalangan masyarakat dengan tindakannya ini, dan anggapan ini juga telah menempel padanya, sementara itu ia tidak bertobat atas apa yang telah dilakukannya, maka ia haram untuk menikah dengan perempuan suci dan Muslim. Ia harus menikah dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik.
Demikian pula, perempuan pezina, jika ia terkenal dengan perbuatan zinanya, sementara tidak terlihat tanda-tanda bertobat darinya, maka ia juga haram menikah dengan lelaki Muslim atau suci, ia harus menikah dengan lelaki musyrik atau lelaki pezina juga. Akan tetapi mereka yang di masa lalu terjebak dalam perbuatan ini karena kelalaian atau tipuan setan, kemudian menyesal dan bertobat atas apa yang telah dilakukannya, dan juga tidak pernah lagi melakukannya, maka dengan yakin mereka tidak akan tercakup dalam hukum ayat ini, karena manusia pendosa akan menjadi suci dengan taubahnya yang hakiki dan akan berada dalam barisan orang-orang Mukmin, dan dalam kesaksian Al-Quran al-karim, perkawinan ini (perkawinan dengan perempuan pezina), sangat jauh dari para Mukmin. Nasib mereka akan terkait pada kemuliaan dan janji Ilahi, yaitu pada para perempuan Mukmin yang suci dan terjaga.
Allah Swt berfirman dalam al-Quran, “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin.”[1]
Untuk mendapatkan makna yang benar dari kalam Tuhan ini, maka kita harus menganalisa masalah ini dari berbagai dimensi, sehingga dengan demikian menjadi jelas apakah hal ini merupakan sebuah kaidah umum yang tidak terkecuali, ataukah bergantung pada syarat-syarat tertentu.
Untuk memperjelas masalah ini, mari kita terlebih dahulu berbincang tentang sebab-sebab turunnya ayat ini.
Sya’n Nuzul (Kondisi Pewahyuan Ayat)
Sebagaimana pendapat yang diutarakan oleh para mufassir mengenai syan nuzul ayat ini, dikatakan bahwa saat datang ke kota Madinah para Muhajirin berada dalam keadaan yang miskin dan berkekurangan, sementara itu para perempuan pezina yang terdapat di kota ini telah menjadi orang-orang terkaya di antara rakyat Madinah, dimana kekayaan ini dihasilkan dari penyewaan dirinya.
Sebagian dari para Muhajir tanpa malu melamar mereka karena ketamakan terhadap harta benda, mereka mengatakan, Kami akan menikah dengan mereka dan menjalani kehidupan supaya Tuhan mencukupi kami. Sekaitan dengan ini, mereka meminta izin dari Rasulullah Saw, dimana kemudian turunlah ayat ini yang mengharamkan perkawinan para lelaki Muslim dengan para perempuan pezina.[2]
Sebagian dari mufassir mengenai sya’n nuzul ini juga menulis, Seorang lelaki Muslim meminta izin kepada Rasulullah Saw untuk menikah dengan Ummu Mahzul, seorang perempuan yang di masa jahiliyyah terkenal dengan perbuatan tercelanya, dan bahkan ia mengibarkan bendera di depan rumahnya sebagai simbol keberadaan dirinya dalam transaksi hina ini, kemudian turunlah ayat di atas untuk memberikan jawaban kepada mereka.[3]
Tafsir Ayat
Mengenai apakah ayat ini berada dalam posisinya untuk menjelaskan sebuah hukum global Tuhan ataukah mengabarkan tentang sebuah realitas eksternal dan alami, banyak terdapat pembahasan di kalangan para mufassir.
Sebagian dari mufassirin meyakini bahwa ayat ini hanyalah menjelaskan tentang sebuah realitas obyektif bahwa seseorang yang telah terkotori akan senantiasa mencari orang-orang yang kotor juga, akan tetapi mereka yang suci atau beriman, sama sekali tidak akan mendekati kekotoran ini atau memilih pasangan hidup dari orang-orang yang telah terkotori, dan mereka mengharamkan hal ini atas diri mereka. Bukti dari tafsir ini tak lain adalah lahiriah ayat yang dijelaskan dalam bentuk ‘kalimat berita’.[4]
Tentunya sebagian mengatakan bahwa ayat ini berada dalam posisinya memberitakan sejauh mana kelayakan para pelaku tindakan hina ini, dan ingin mengatakan bahwa orang-orang yang hina ini juga akan menyukai hal-hal yang rendah dan hina, dan tak memiliki kelayakan yang lebih dari hal ini. Manusia pezina, dikarenakan keburukan dan kehinaan zatnya, tidak akan memiliki kecenderungan selain untuk mencari pasangan hidup yang sepertinya. Ia akan menyukai seorang perempuan yang sepertinya, pezina, rendah atau yang lebih buruk darinya, seorang perempuan yang musyrik dan tak beragama. Demikian juga, perempuan pezina, hanya akan menyukai laki-laki seperti dirinya atau yang lebih buruk darinya (musyrik dan tak beragama)[5]. Dengan demikian, ayat ini berada dalam posisinya untuk menjelaskan mayoritas, sebagaimana pada ayat lainyang serupa dengan ayat ini, berfirman, “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan (Ilahi) dan rezeki yang mulia nan berharga.”[6]
Akan tetapi kelompok yang lain mengatakan bahwa ayat ini merupakan kalimat yang menjelaskan sebuah hukum syar’i dan Ilahi, terutama ingin menghalangi para Muslim dari menikah dengan para pezina. Bukti dari tafsir ini adalah kalimat “dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” dimana hal ini diintepretasikan sebagai diharamkannya hal ini.[7]
Allamah Thabathabai dalam tafsir Al-Mîzân mengatakan, kesimpulan yang bisa diambil dari makna ayat dengan bantuan riwayat-riwayat yang berasal dari Ahlibait As adalah bahwa lelaki pezina saat ia terkenal dengan hal ini di masyarakat dan telah dicap sebagai pezina, sementara ia juga tidak bertobat, maka ia akan menjadi haram menikah dengan perempuan suci dan Muslim, dan ia harus menikah dengan perempuan pezina atau musyrik. Demikian juga, perempuan pezina yang telah terkenal di kalangan masyarakat sebagai seorang pezina dan telah dicap dengan hal ini, sementara ia tidak memperlihatkan penyesalan dan taubahnya, maka ia juga haram untuk menikah dengan lelaki Muslim dan suci, melainkan ia harus menikah dengan seorang lelaki musik atau pezina.
Dengan demikian, ayat ini adalah ayat yang tegas, kuat dan tetap pada hukumnya yang belum terhapus[8], dan hal ini tidak membutuhkan ta’wil dan penafsiran. Dan jika pada riwayat-riwayat terdapat pembatasan hukum ini pada pelaksanaan cambukan atau penampakan taubah, maka mungkin saja kaidah ini bisa dipergunakan dari konteks ayat, karena hukum pengharaman nikah ada dalam ayat ini setelah perintah terhadap pelaksanaan hukum cambuk, dan inilah yang kemudian terlihat bahwa yang dimaksud dengan perempuan atau lelaki pezina adalah mereka yang telah mengalami hukum cambuk. Demikian juga keuniversalan perempuan dan lelaki pezina, terlihat pada mereka yang masih terus melanjutkan perbuatan-perbuatan tercela ini. Dan tercakupnya mereka yang telah melakukan taubatan nashuha dalam kelompok ini adalah jauh dari etika dan sastra al-Quran al-Karim.[9]
Kesimpulan:
Hukum perkawinan lelaki pezina dengan perempuan pezina atau musryik; atau sebaliknya mencakup mereka yang:
Terkenal dengan perbuatan tercela ini,
Telah mengalami hukum Ilahi yang berupa hukum cambuk,
Mereka tidak melakukan taubah atas apa yang telah dilakukannya.
Tentunya, penting untuk diperhatikan bahwa ini bukanlah dengan makna bahwa hukum ini hanya akan meliputi mereka yang memiliki ketiga karakteristik ini, dan jika salah satunya tidak terpenuhi, maka akan bisa memperoleh pasangan hidup yang suci, melainkan bisa jadi orang yang belum menjalani hukuman cambuk, atau tidak terkenal sebagai pezina, akan tetapi secara yakin tidak bisa dikatakan bisa memperoleh istri yang suci dan terjaga.
Akan tetapi mereka yang terjebak dalam perbuatan ini di masa lalu karena kelalaian atau ketaktahuan terhadap tipuan setan, kemudian mereka menyesal atas apa yang telah terjadi, bertaubah dan sama sekali tak mendekatinya lagi, maka secara yakin mereka ini tidak akan tercakup dalam hukum ayat ini, karena manusia pendosa akan berada di jajaran Mukminin dengan taubah hakiki yang dilakukannya, dan menurut kesaksian al-Quran al-Karim, perkawinan ini (dengan perempuan pezina) jauh dari para Mukmin. Dengan mengharapkan kemuliaan Ilahi, mereka akan mendapatkan pasangan dari para perempuan Mukmin yang suci dan terjaga.
Mengenai kelanjutan dari ayat ini, terdapat beberapa riwayat dalam literatur hadis yang mengatakan bahwa menikah dengan perempuan atau lelaki pezina adalah haram. Oleh karena itu, wajib bagi para Mukmin untuk menghindar dari serangkaian perbuatan zina. Benar, jika lelaki atau perempuan pezina telah bertaubah, maka menikah dengan mereka tidk menjadi masalah dan diperbolehkan.[10]
Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Shadiq As yang bersabda, Ayat ini berkaitan dengan lelaki dan perempuan yang terjerumus dalam perbuatan zina pada masa Rasulullah Saw, Allah Swt melarang para Muslim untuk menikah dengan mereka, dan saat inipun masyarakat tercakup dalam hukum ini, siapapun yang terkenal melakukan perbuatan ini dan telah berlaku hukum cambuk Ilahi atasnya, janganlah menikah dengannya hingga terbukti ia telah bertaubat.[11]
Tentunya, kehidupan masyarakat yang normal adalah bahwa para lelaki dan para perempuan mulia tidak akan mencari selain yang seperti dirinya, sementara yang kita lihat adalah kebalikannya, mereka yang dari sisi etika dan moral telah berlumuran dosa akan mencari orang-orang yang tak seperti dirinya, dengan alasan ini, dan karena bahayanya saling berbaur ini, Allah berkehendak untuk memisahkan majemuk lelaki dan perempuan pezina dari masyarakat, supaya dengan adanya dinding tinggi dan kuat yang membatasi ini kesucian dan kemuliaan masyarakat bisa tetap terjaga.[12]
[1]. Qs. Al-Nur [24]: 3.
[2]. Wahidi Naisyaburi, Asbâb An-Nuzûl, Terjemahan Persia oleh Ali Ridha Dzakawati Qaragazalu, jil. 1, hal.. 176, Nasyr Nei, Teheran, 1383 S.
[3]. Thabarsi, Majma’ al-Bayân fî Tafsîr al-Qurân, jil. 7, hal. 197-198, Nashir Khusru, Teheran, 1372 S; Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, Jâmi’ Li-ahkâm al-Qurân, jil. 13, hal.. 168, Intisyarate Nashr Khusru, Teheran, 1364 H.
[4]. Muhammad bin Yusuf Abu Hayan, Al-Bahr al-Muhîth fî at-Tafsîr, jil. 8, hal.. 9-10, Dar al-Fikr, Beirut, 1420 H; Fadhlullah, Sayyid Muhammad Husain, Tafsîr min Wahy al-Qurân, jil. 16, hal.. 227, Dar al-Malak Lithaba’ah wa An-Nasyr, Beirut, 1419 H; Muhammad bin Muhammad Ridha, Qumi Masyhadi, Tafsîr Kanz ad-Daqâiq wa Bahr al-Gharâib, jil. 9, hal.. 244, Sazman Cap wa Intisyarat Wizarat Irsyad Islami, Teheran, 1368 Hsy. Tentunya perlu untuk diingatkan bahwa banyak dari hukum yang diungkapkan dalam bentuk ‘kalimat berita’, dan tidak selamanya hukum Ilahi diungkapkan dalam bentuk perintah atau larangan.
[5]. Thabarsi, Majmâ’ al-Bayân, jil. 7, hal. 125, Nashr Khusru, Teheran, 1372 S; Mughniyah, Muhammad Jawad, Tafsîr Al-Kasyîf, jil. 5, hal.. 297-398, Dar al-Kutub Al-Islamiyyah, Teheran, 1424 H; Ahmad bin Mushthafa Maraghi, Tafsîr a-Marâghi, jil. 18, hal.. 70-71, Dar Ahya At-Tirats Al-‘Arabi, Beirut.
[6]. Qs. An-Nur [24]: 26.
[7]. Silahkan lihat Nashir Makarim Syirazi, Tafsîr Nemune jil. 14, hal.. 361-362, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, 1374 S; Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mîzân fî Tafsîr al-Qurân, jil. 15, hal.. 79-80, Daftar Intisyarat Islami, Qom, 1417 H.
[8]. Sebagian dari para mufassir meyakini bahwa ayat ini telah dihapus. Silahkan lihat Ibnu Idris Syafi’i, Muhammad, Ahkâm al-Qurân, jil. 1 , hal.. 178, tanpa tahun, tanpa tempat.
[9]. Sayyid Muhammad Husain Thabathabai, Al-Mizân, jil. 15, hal.. 79-80.
[10]. Silahkan lihat Kulaini, al-Kâfi, jil. 5, hal.. 354-355, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Teheran, 1365 S.
[11]. Ibid, hal.. 354.
[12]. Silahkan lihat sekelompok penerjamah Tafsir Hidayah, jil. 8, hal.. 258-259, Bunyad Pazuhesy-ha-ye Islami Astane Quds Radhawi, Masyhad, 1377 S.