Secara Bahasa
Mikraj secara bahasa berartikan tangga atau suatu alat yang dibuat untuk naik[1] , dan secara istilah adalah perjalanan Rasulullah saw di malam hari dari Mekah ke Masjidi al-Aqsha dan dari situ beliau naik ke langit dan sampai ke Sidratul Muntaha (akhir penggapaian) dan maqam Qāba Kausaini Ilahi.
Al-Quran dan Riwayat
Menurut penuturan Fadhl bin Hasan al-Thabrisi, mikraj Rasulullah saw termasuk salah satu dari pembahasan-pembahasan yang ditunjukkan oleh ayat dan hadis-hadis mutawatir Syiah[2] dan Ahlusunnah. [3] Cerita mikraj dimuat dalam surah Al-Isra’ dan surah Al-Najm. [4]
Waktu
Yang paling masyhur dari perjalanan di malam hari tersebut adalah terjadi pada periode terakhir menetapnya Rasulullah di kota Mekah (sebelum hijrah dan setelah bi’tsah) [5] , namun terdapat perselisihan riwayat tentang tahun berapakah terjadinya peristiwa tersebut, apakah sebelum wafatnya Abu Thalib[6] ataukah setelahnya[7] , dan disebutkan pada masa sebagai berikut:
Tahun kedua bi’tsah, yang dinisbatkan kepada Ibnu Abbas.
Tahun ketiga bi’tsah, yang dinukil oleh Quthbuddin al-Rawandi, penulis Kharaij dari Imam Ali as.
Tahun kelima[8] atau keenam bi’tsah.
10 tahun 3 bulan setelah bi’tsah. [9]
12 tahun setelah bi’tsah, menurut penuturan Mulla Fathullah al-Kasyani dan Ahmad bin Ali al-Thabarsi adalah pendapat paling masyhur[10] dan Ibnu Hazm mengklaimkan ijma’ pendapat tersebut. [11]
1 tahun lima bulan sebelum hijrah.
1 tahun tiga bulan sebelum hijrah. [12]
6 bulan sebelum hijrah. [13]
Perjalanan Malam
Dari dua kalimat Lail (malam) dan Asrā (perjalanan) di ayat pertama surah Al-Isra’ dapat disimpulkan bahwa perjalanan tersebut terjadi pada malam hari. [14] Namun, ada perbedaan pendapat dari sisi riwayatnya tentang di malam manakah peristiwa tersebut terjadi dan dikatakan bahwa hal itu terjadi pada malam-malam sebagai berikut:
Malam ketujuh belas Rabiul Awwal. [15]
Malam keduapuluh tujuh Rajab, menurut penuturan Mulla Fathullah al-Kasyani, penulis tafsir Minhaj al-Shādiqīn, dan ini adalah pendapat yang paling masyhur. [16]
Malam ketujuh belas Ramadhan. [17]
Malam keduapuluh satu Ramadhan.
Sebagian menuturkan pada malam bulan Syawal dan Rabiul Tsani. [18]
Masa perjalanan beliau pergi ke Baitul Makdis dan Masjid al-Aqsha dan naik ke langit dan sekembalinya beliau dari Mikraj, tidak memakan waktu lebih dari satu malam [19] , hingga di waktu subuh malam tersebut, beliau sudah berada di Mekah. Dalam tafsir Al-‘Ayasyi dituturkan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq as berkata, Rasulullah saw melaksanakan salat Isya’ dan Subuh di Mekah. [20], yakni Isra’ dan Mikraj terjadi dalam kurun waktu tersebut.
Tempat
Ada perbedaan riwayat tentang apakah titik permulaan dan akhir mikraj Rasulullah saw adalah rumah Ummu Hani ataukah Masjidil Haram atau Syi’ib (lembah) Abi Thalib [21] dan juga tentang perinciannya. [22] Namun, yang masyhur adalah Rasulullah saw pada malam tersebut berada di rumah Ummu Hani, putri Abu Thalib dan dari situ beliau pergi mengadakan mikraj dan dari situ pula beliau kembali. [23]
Dalam menjustifikasi bahwasanya Al-Quran menuturkan permulaan perjalanan tersebut adalah Masjidil Haram, dapat dikatakan bahwa Arab menyebut semua Mekah dengan Haram. Dengan demikian, semuanya memiliki hukum masjid dan haram Allah dan rumah Ummu Hani’ berada di dalam Haram. [24] Demikian juga, kandungan sebagian riwayat tidak selaras dengan terjadinya peristiwa tersebut di Syi’ib Abi Thalib. [25]
Berita tentang Perjalanan
Malaikat Jibril pada malam tersebut menjumpai Rasulullah dan membawakan sebuah tunggangan untuk beliau yang bernama Buraq, beliau menungganginya dan bergerak menuju Baitul Makdis. [26]
Masjid al-Aqsha
Rasulullah di tengah perjalan di Madinah dan masjid Kufah berhenti di Thur Sina dan Baitlahem atau tempat kelahiran nabi Isa as dan beliau melaksanakan salat, kemudian beliau memasuki Masjid al-Aqsha dan melaksanakan salat di situ. [27]
Gambar Kubah Sahkrah
Nampaknya, Rasulullah naik ke langit dari Kubah al-Shakhrah; adapun dinamakan dengan nama tersebut karena di dalamnya ada Shakhrah (batu) dan Rasulullah saw naik ke langit lewat di situ. [28]
Langit Dunia
Perjumpaan dengan Nabi Adam as Dengan bertolak bahwa Nabi naik ke langit dunia, dan di situ dia berjumpa dengan Nabi Adam as. Kemudian para malaikat berbondong-bondong menyambutnya dan mengucapkan salam dan selamat dengan gembira, di situ beliau juga bertemu dengan Malaikat Maut dan berdialog dengannya. [29]
Langit Kedua sampai Ketujuh
Beliau naik ke langit kedua dan di situ ia berjumpa dengan Nabi Yahya as dan Nabi Isa as dan setelah itu dia berjumpa dengan Nabi Yusuf as di langit ketiga dan di langit keempat beliau berjumpa dengan Nabi Idris as dan di langit ke lima beliau berjumpa dengan Nabi Harun bin Imran as dan di langit keenam beliau berjumpa dengan Nabi Musa bin Imran as. [30]
Langit Ketujuh
Setelah Nabi Muhammad saw pergi ke langit ketujuh dan sampai pada batas dimana Jibril tidak mampu untuk sampai pada maqam tersebut, ia mengatakan, saya tidak diizinkan untuk melewati tempat ini dan jika aku mendekat, maka sayapku akan terbakar. [31]
Hadis Mikraj
Telah terjadi dialog antara Allah dan Rasul-Nya pada malam mikraj, dalam bentuk hadis Qudsi, yang terkenal dengan hadis Mikraj.
Perjalanan Pulang
Sekembalinya juga, Nabi turun di Baitul Makdis dan mengambil jalan Mekah dan sebelum terbit fajar beliau tiba di rumah Ummu Hani [32] dan untuk pertama kalinya Nabi mengatakan rahasianya kepada Ummu Hani dan pada hari berikutnya, beliau menyingkap rahasianya di tempat dan pertemuan-pertemuan kaum Quraisy. [33]
Reaksi Quraisy
Cerita Mikraj yang menurut anggapan masyarakat Quraisy adalah hal yang sangat mustahil. Mereka mulai mendustakan Rasulullah saw dan mengatakan, di Mekah ada orang-orang yang pernah melihat Baitul Makdis; jika engkau benar, maka jelaskanlah tentang bangunan-bangunan yang ada di sana. Rasulullah saw menjelaskan ciri-ciri bangunan Baitul Makdis, kemudian untuk membuktikan kebenaran uangkapan Nabi maka mereka meminta kepada Nabi tentang kabar rombongan Quraisy, beliau menjawab bahwa saya melihat mereka di Tan’im dan sedang menjalankan onta keabu-abuan dan ada tandu di atasnya dan sekarang ini sedang memasuki kota Mekah. Tidak lama kemudian, rombonganpun memasuki kota dan Abu Sufyan serta para musafir lainnya membenarkan kerincian penuturan-penuturan beliau. [34][35][36]
Kronologi
Mayoritas para penafsir meyakini bahwa Rasulullah saw pergi ke Baitul Makdis dengan badan jasmani beliau dan dari situ pula naik ke langit dengan jasad dan ruhnya. [37][38][39][40]
Namun kelompok Khawarij dan kelompok Jahmiyyah mengingkarinya dan mengatakan bahwa perjalanan tersebut sifatnya spiritual dan badan jasmani Nabi tidak ikut ke langit [41] [42]
Pembuktian
Pada malam mikraj Rasulullah saw melihat sebagian bukti-bukti agung Tuhannya. [43] Penuturan bukti-bukti Rasulullah seperti langit, penduduk surga, penduduk neraka dan para malaikat. Demikian juga, beliau melihat arwah para nabi besar, seperti nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa as. [44]
Kedudukan Mikraj dalam Kesusastraan dan Seni
Ilustrasi mikraj Rasulullah dalam buku Khamsa Nizāmi yang dinisbatkan kepada Sultan Muhammad
Sejak masa Āl Jalayer, mikraj Rasulullah juga termasuk tema utama lukisan Iran. Karenanya banyak sekali ditemukan lukisan-lukisannya tentang mikraj, dan termasuk karya paling kuno milik Ahmad Musa, salah seorang pelukis populer pada masa tersebut. Lukisan-lukisan mikraj Rasulullah mencapai puncaknya pada masa berikutnya, yakni dalam ajaran Herat: Banyak buku-buku pada masa itu, khususnya pada masa Shakhrukh yang menunjukkan masalah mikraj Nabi saw. Salah satu buku tersebut adalah Mikraj Nāmeh, karya Mir Haydar dengan bahasa Uighur, yang telah menggambarkan pelbagai peristiwa mikraj Rasulullah. Shah Muzaffar telah melukis sebuah lukisan Rasulullah saat mikraj dengan dengan tinta hitam, saat beliau menunggangi Buraq, kuda berkepala manusia, yang dikawal oleh malaikat Jibril. Khamsa Nizāmi termasuk buku terpenting yang digambar di era dinasti Timurid dan era-era semasanya telah melukis mikraj beliau. [45]
Mikraj Karya Sultan Muhammad
Salah satu karya seni lukis terpopuler pada masa Safawi adalah Khamsa Nizāmi, yang terkait pada masa Shah Tahmasp, yang menggambarkan fenomena populer mikraj Rasulullah, karya Sultan Muhammad. [46] Karya ini, bersama tiga karya lainnya yang dinisbatkan padanya, diletakkan dalam naskah khat gambar Khamsa Nizāmi, permintaan Shah Tahmasp Safawi, yang digambar dan ditulis antara tahun 942 H/1535-947 H/1540. dan penulisnya adalah Syah Mahmud al-Nisyaburi, penulis masyhur abad kesepuluh Hijriah. Dalam karya ini, gambar wajah suci Rasulullah ditutupi dengan penutup putih. Beliau menunggangi Buraq dan terlihat di antara kerumunan para penjaga – limabelas malaikat – sementara malaikat Jibril sedang memberikan petunjuk, memandu Buraq saat terbang. [47]
Mikraj Karya Farshchian
Ilustrasi Mikraj karya Ust. Mahmud Farshchiyan
Karya Farshchian ini dilukis dalam dimensi 101 x 81.5 cm dan di samping gambar Rasulullah, para malaikat sedang berdoa dan bermunajat. Menurut keyakinan Farshchian, gender tidak bermakna di hadapan keharibaan Ilahi, karenanya tidak ada satupun dari malaikat yang memiliki gender dalam lukisannya. Lukisan ini yang memperlihatkan nuansa malam mikraj, di situ terlihat kekuatan yang menarik Rasulullah menuju Allah. Dan semakin Nabi saw naik ke atas, malaikat akan menghilang dalam zat ketuhanan Allah swt. [48] Mikraj Rasulullah yang digarap seniman Reza Asle Najafi, termasuk salah satu karya lain dalam seni mikraj. [49] Mikraj Nameh dan lukisan mikraj, khusus lukisan mikraj Rasululah disimpan dalam khazanah perpustakaan dan museum nasional raja, milik Astan Quds Razawi, dengan pencatatan nomor 5995. [50]
Catatan Kaki
Ibnu Mandzur, Lisān al-‘Arab, jld. 2, hlm. 322.
Thabrisi, jld. 6, hlm. 215; Tafsir ‘Ayasyi, jld. 2, hlm. 276; Tafsir Qummi, jld. 2, hlm. 3.
Majlisi, jld. 18, hlm. 289.; Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 30.
Q.S. Al-Isra’: 1; Q.S. Al-Najm: 8-18.
Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 23, 30.
Ya’qubi, jld. 2, hlm. 26.
Subhani, jld. 2, hlm. 372.
Itsbāt al-Washiyyah, hlm. 217.
Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 30-31; Ini adalah ucapan Ibn Hisyam dan Ibn Ishaq, rujuklah: Subhani, hlm. 372.
Kasyani, Minhaj al-Shādiqīn, jld. 5, hlm. 236.
Alusi, jld. 8, hlm. 8. ; Pendapat Baihaqi, rujuklah: Subahni, hlm. 372; Al-Ihtijaj, jld. 1, hlm. 173.
Alusi, jld. 8, hlm. 8; Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 30-31.
Ibid.,
Subhani, hlm. 20.
Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 200.
Kasyani, Minhaj al- Shādiqīn, jld. 5, hlm. 236.; Al-Ihtijāj, jld. 1, hlm. 173.
Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 199-200.
Kasyani, Minhaj al- Shādiqīn, jld. 5, hlm. 236.
Majma’ al-Bayān, jld. 6, hlm. 612.; Majlisi, jld. 18, hlm. 289.
Tafsir ‘Ayasyi, jld. 3, hlm. 34.;Bihār al-Anwār, jld. 18, hlm. 385.; Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 38.
Ibn Sa’ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 200.
Manāqib, jld. 1, hlm. 177.
Ya’qubi, jld. 2, hlm. 26.; Subhani, hlm. 367.; Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 27, 28, 31.; Ibn Hisyam, jld. 1, hlm. 396.; Majma’ al-Bayān, jld. 6, hlm. 312.;Bihār al-Anwār, jld. 18, hlm. 283.
Kasyani, Minhāj al-Shalihin, jld. 5, hlm. 235; Rujuklah, Bihār al-Anwār, jld. 18, hlm. 283, dinukil dari Subhani, hlm. 370.
Ya’qubi, jld. 2, hlm. 26; Allamah Thabathabai, jld. 13, hlm. 27, 28; Subhani, hlm. 372.
Qummi, jld. 2, hlm. 5.; Al-Thabaqāt al-Kubrā, jld. 1, hlm. 199-200. ; Tafsir ‘Ayasyi, jld. 3, hlm. 31.
Subhani, hlm. 367.; Allamah Thabathabai, Al-Mizān, jld. 13, hlm. 8.
Kubah al-Shakhrah.
Allamah Thabathabai, Al-Mizān, jld. 13, hlm. 9-10.
Ibid., hlm. 12-13.
Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 18, hlm. 392; Allamah Thabathabai, Al-Mizān, jld. 13, hlm. 18.
Mas’udi, Itsbāt al-Washiyyah, hlm. 217.
Subhani, hlm. 368.
Ibid., hlm. 369.
Allamah Thabathabai, al-Mizan, jld. 13, hlm. 17.
Tafsir Qummi, jld. 2, hlm. 13.
Minhaj al- Shādiqīn, jld. 5, hlm. 240.
Ruh al-Ma’ani, jld. 15, hlm. 7.
Tafsir Nemuneh, jld. 12, hlm. 11.
Majma’ al-Bayan, jld. 9, hlm. 264.
Allamah Thabathabai, Al-Mizan, jld. 13, hlm. 32.
Al-Manaqib, jld. 1, hlm. 177.
Majma’ al-Bayan, jld. 6, hlm. 612.
Allamah Thabathabai, Al-Mizan, jld. 13, hlm. 9.
Situs Mirats Farhanggi (Warisan Kebudayaan).[1]
Situs Mirats Farhanggi (Warisan Kebudayaan).[2]; Honar News.[3]