
Sepuluh hari ini di Iran disebut dengan Daheye Karamat. Karamah adalah mulia atau bernilai dan ia selalu menjadi perhatian sebagai salah satu kriteria utama manusia. Istilah ini dalam arti yang umum menjelaskan tentang kedudukan luhur dan ketinggian esensial manusia dari makhluk lain. Semua agama dan aliran pemikiran membahas persoalan ini dari dimensi yang berbeda. Masalah kemuliaan manusia juga mendapat tempat khusus dalam konstitusi Republik Islam Iran bersama prinsip-prinsip dasar agama seperti, tauhid, kenabian, dan hari kiamat.
Dahe-ye Karamat merupakan sebuah kesempatan bagi para pengikut Ahlul Bait as tidak hanya di Iran tapi juga di seluruh penjuru dunia, untuk mengenal lebih dalam tentang konsep kemuliaan manusia dan contoh-contohnya dalam budaya dan ajaran Islam serta dalam sejarah para tokoh agama. Pengenalan ini adalah modal untuk membangun sebuah masyarakat berdasarkan hubungan sahih kemanusiaan dan Islami.
Dengan menyimak teks-teks agama dapat diperoleh kejelasan bahwa akar dan landasan kemuliaan manusia bersumber pada akidah yang kuat kepada tauhid serta iman kepada Allah Swt dan kesetaraan dzati manusia (bersifat melekat). Teks-teks agama menjelaskan bahwa manusia memiliki kemuliaan dzati (bersifat melekat dan bawaan), di mana Tuhan meninggikan mereka atas semua ciptaan lain.
Semua manusia memiliki kedudukan yang sama dalam sifat bawaan ini, karena semua adalah ciptaan Tuhan dan sama-sama membutuhkan Dia. Berdasarkan ajaran al-Quran, tidak satu pun manusia – dari esensi kemanusiaannya – lebih unggul dari individu lain, dan satu-satunya parameter kemuliaan dan keutamaan seseorang adalah ketakwaan dan ketaatannya kepada hukum-hukum Allah Swt.
Dalam surat al-Hujarat ayat 13, Allah Swt berfirman, “… Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu…” Kerangka yang dibangun oleh al-Quran ini dari satu sisi menafikan semua perbedaan eksternal seperti perbedaan ras, bahasa, dan unsur-unsur semisalnya. Dari sisi lain, masing-masing individu masyarakat memiliki ikatan meskipun mereka menyimpan perbedaan eksternal dan mereka diminta untuk saling mengenal.
Dalam pandangan al-Quran, jalan untuk mencapai kemuliaan adalah takwa dan taat kepada perintah Allah Swt. Dengan kata lain, untuk memperoleh kemuliaan, manusia harus menerima kekuasaan mutlak Tuhan di dunia ini dan mempertebal takwa dengan mengikuti perintah-Nya di setiap waktu.
Metode ini tampak jelas dalam sirah kehidupan Imam Ridha as. Dalam pandangan beliau, salah satu cara memperoleh kemuliaan adalah takwa dan menunaikan perintah-perintah Allah Swt. Diriwayatkan dari Ibrahim ibn Abbas Suli, “…. Seseorang berkata kepada beliau (Imam Ridha as), ‘Demi Allah, tidak ditemukan di muka bumi ini sosok yang lebih utama dan lebih mulia dari ayah-kakekmu.’ Imam menjawab, “Ketakwaan telah membuat mereka mulia…”
Imam Ridha as menaruh perhatian besar dalam menghormati dan memuliakan orang lain terutama kalangan lemah. Soal perilaku dan sikap tertentu imam, Yasir, seorang pembantunya berkata, “Setiap kali imam sendirian dan terbebas dari rutinitas, beliau mengumpulkan seluruh anggota keluarga dan orang-orang dekatnya untuk bercengkrama dan bersenda gurau dengan mereka. Dan setiap kali imam duduk di depan hidangan makan, beliau mengajak anak kecil, orang dewasa, dan bahkan para pembantunya untuk makan bersama.”
Yasir juga mengisahkan perilaku lain Imam Ridha as yang jauh lebih luhur dari sikap tersebut. Dia berujar, “Imam selalu berpesan kepada para pembantu dan pekerjanya, ‘jika aku datang menyapa kalian sementara kalian sedang asyik makan, kalian tidak perlu berdiri dan selesaikan makan kalian. Kadang beliau memanggil kami untuk sebuah pekerjaan dan kami berkata, ‘Dia sedang makan wahai imam.’ Beliau menjawab, ‘Biarkan ia menyelesaikan makannya.'”
Imam Ridha as memperlihatkan perilaku yang sangat mulia dengan anggota keluarga dan orang-orang di sekitarnya, padahal kemerosotan moral dan perampasan hak-hak orang lain sedang mewabah di masyarakat kala itu. Para budak dan hamba sahaya dalam sistem jahiliyah sama sekali tidak memiliki hak dan pilihan dan tidak pernah berani mendekati tuannya. Namun, para budak duduk dalam satu jamuan di rumah Imam Ridha as dan beliau juga sangat peduli dengan mereka. Imam berkata, “Kalian adalah manusia serta memiliki hak-hak moral dan kemanusiaan dan jika tidak seperti ini, maka kalian telah dizalimi.”
Seseorang dari Balakh menemani perjalanan Imam Ridha as ke Khorasan dan menyaksikan dari dekat perilaku beliau. Dia berkata, “Aku menyertai Imam Ridha as dalam perjalanan ke Khorasan. Ketika waktu makan tiba, beliau mengumpulkan semua pembantu dari kulit hitam dan orang lain di samping hidangan. Aku berujar, ‘Lebih baik mereka makan di tempat lain saja wahai imam.’ Beliau menjawab, ‘Tenang, Tuhan kita semua satu. Ibu kita adalah Hawa dan ayah kita Adam dan pahala semua orang ditentukan amalnya.”
Parameter dan landasan etika hidup berdampingan Imam Ridha as – terutama dalam pergaulan dengan kalangan bawah – adalah prinsip kemuliaan. Dalam perspektif beliau (pandangan al-Quran itu sendiri), setiap insan memiliki posisi dan kedudukan sebagai pemberian Allah Swt. Oleh karena itu, nilai dan kemuliaan manusia akan menjadi parameter dan landasan interaksi dalam masyarakat religius. Mereka akan meninggalkan hal-hal yang menciderai nilai-nilai kemuliaan umat manusia.
Sebagai contoh, salah satu faktor yang menciderai kemuliaan manusia adalah merampas kebebasan individu. Dalam hal ini, seseorang yang bernama Zakariya berkata, “Aku meminta arahan dari Imam Ridha as tentang seorang non-Muslim yang menderita kemiskinan dan kelaparan dan membawa anaknya kepadaku sambil berkata, ‘Anakku menjadi milikmu, berilah ia makan dan biarkan ia menjadi budakmu.’ Imam berkata, ‘Manusia adalah merdeka dan orang yang merdeka tidak bisa diperjual-belikan dan perbuatan ini tidak pantas bagimu…'”
Ucapan Imam Ridha as mengisahkan tentang kemuliaan dan orisinalitas hak-hak kemanusiaan. Dalam pandangan beliau, manusia adalah merdeka dan himpitan ekonomi tidak bisa membuatnya menjadi budak seseorang dan merampas kebebasan pemberian Tuhan sekali pun jika dia non-Muslim. Pandangan ini tampak dalam perilaku Imam Ridha as dengan orang lain khususnya dengan kalangan bawah, di mana sangat rentan terhadap kemiskinan dan kesulitan hidup.
Melalui etika yang berlandaskan kemuliaan, manusia akan menemukan kepribadiaanya, mengenal kedudukannya, dan menjadi titik start gerakan konstruktif individual dan sosial. Sebaliknya, perilaku yang berbau hinaan dan pelecehan terhadap kedudukan dan kepribadian kemanusiaan akan menyebabkan hilangnya kemuliaan jiwa dan dampak-dampak buruk lainnya.
Salah satu contoh lain memuliakan manusia dalam sirah Imam Ridha as adalah menjaga harga diri seseorang ketika memberi sesuatu. Salah satu kondisi yang mengancam kemuliaan jiwa dan martabat kemanusiaan adalah ketika orang yang terbilang mampu membutuhkan pinjaman uang dari orang lain. Biasanya sangat sulit dan berat baginya untuk mengulurkan tangan dan meminta bantuan kepada orang lain.
Yasak ibn Hamzah berkata, “Aku bersama sebuah rombongan sedang berdiskusi dengan Imam Ridha. Mereka juga bertanya kepada beliau tentang persoalan-persoalan fikih. Tiba-tiba datang seseorang ke forum kami. Setelah mengucapkan salam dan memperkenalkan dirinya, ia berkata, ‘Aku adalah salah satu pengikutmu dan meninggalkan kampungku untuk berhaji dan sekarang aku kehilangan bekalku. Aku meminta bantuan darimu untuk biaya pulang dan aku juga tidak berhak menerima sedekah. Jadi ketika aku tiba di kampungku nanti, uang pinjaman darimu ini akan aku sedekahkan atas namamu.”
Saat itu, Imam Ridha as membesarkan hati pria tersebut dan memintanya duduk. Ketika orang-orang sudah bubar dan hanya tersisa tiga orang di sana, imam kemudian pergi ke tenda lain dan mengambil 200 dinar untuk diberikan kepada orang tersebut dari balik tenda. Beliau berkata, “Ambillah 200 dinar ini untuk biaya kepulanganmu dan kebutuhan lain dan engkau tidak perlu memberikan sedekah atas namaku. Sekarang pergilah sehingga kita tidak saling menatap.” Salah seorang yang duduk di sana bertanya, “Wahai imam, engkau telah berbuat baik kepadanya dan memberikan banyak uang kepadanya, lalu mengapa engkau menyembunyikan dirimu darinya?” “Aku sama sekali tidak suka menyaksikan beban meminta-minta di wajahnya,” jawab Imam Ridha as.
Pemikiran dan perilaku ini menunjukkan bahwa betapa para pembesar agama termasuk Imam Ridha as sangat memuliakan martabat manusia. Jadi, dapat dikatakan dalam budaya dan ajaran Islam, manusia memiliki keistimewaan dan kemuliaan khusus di antara makhluk-makhluk lain. Kemuliaan dzati ini menjadi landasan atas banyak hak-hak dan hukum Islam. Etika hidup berdampingan dalam budaya Islam – seperti terdapat dalam sirah Imam Ridha as – disusun dengan tetap menjaga kemuliaan dan menghormati kedudukan manusia.