ICC Jakarta – Demokrasi sudah disepakati oleh para pendiri bangsa sebagai sistem politik Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, demokrasi jangan dipahami sebagai kebebasan tanpa batas sehingga tidak berorientasi pada nilai-nilai luhur.
“Prinsip demokrasi harus menjaga keutuhan bangsa,” tegas KH Said Aqil Siroj, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), saat memberikan tausiyah pada peluncuran buku Ironi Demokrasi karya Abdul Ghopur di Gedung PBNU Lantai 8, Jalan Kramat Raya 164, Jakarta, Kamis (16/5).
Lebih lanjut, Kiai Said menjelaskan bahwa demokrasi merupakan sarana untuk memperkuat persatuan dan keutuhan bangsa guna menciptakan keadilan dan kesejahteraan pada rakyat. Karenanya, menurutnya, harus ada pemerataan. “Harta jangan dimonopoli oleh kelompok tertentu,” kata Pengasuh Pondok Pesantren Al-Tsaqafah, Ciganjur, Jakarta itu.
Sejak 15 abad lalu, jelas Kiai Said, Nabi Muhammad sudah berpesan, bahwa ada tiga hal yang tidak boleh dimonopoli, yakni air, energi, dan hutan. Namun, hari ini tiga hal tersebut menjadi monopoli beberapa pihak saja.
Senada dengan Kiai Said, Ketua Pusat Generasi Muda Indonesia-Tionghoa (GEMA INTI) Krista Wijaya mengungkapkan bahwa hari ini kepentingan orang acap kali lebih kepada kepentingan pribadi. Mestinya, yang perlu dipikirkan, menurutnya, adalah kepentingan bangsa.
“Lebih membuat kita terbuka sehingga goal bukan untuk pribadi tapi untuk bangsa,” katanya.
Sementara itu, Sekjen Dokter Bhinneka Tunggal Ika Mariya Mubarika melihat meskipun demokrasi menjadi sistem resmi, tetapi feodalisme masih banyak dipraktikkan di beberapa tempat.
“Saya rasa belum sepenuhnya demokrasi karena masih ada warisan gen politik feodal,” ujarnya. [NU]