ICC Jakarta – Setelah menjadi bagian dari pernyataan pikiran Muhammadiyah abad kedua, pencerahan jika dirunut geneloginya merupakan mata rantai dari pemikiran berkemajuan yang menandai pergerakan Muhammadiyah abad pertama. Sehingga pencerahan menjadi produk pemikiran yang tersistemasi dan bertaut erat dengan konsep berkemajuan yang digagas oleh KH Ahmad Dahlan.
Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah mengatakan, paradigma berkemajuan ini kemudian menggelinding sampai kemudian dipopulerkan lagi oleh Mas Mansur pada tahun 1938 sampai tahun 1942. Kemudian terus berkembang dan diantaranya menjadi lima masalah pokok dalam pemikiran keagamaan, yang didalamnya mencakup persoalan hubungan manusia dengan Tuhan dan hbungan manusia kesesama manusia.
Berangkat dari mata rantai pemikiran Muhammadiyah, maka Tauhid atau dalam bahasa lain Aqidah dalam pemahaman Muhammadiyah bukan hanya menyoal kaitan hubungan dengan Allah semata, melainkan integral dengan hubungan dengan kemanusiaan. “Tauhid yang mencerahkan adalah tauhid yang melahirkan teologi kemanusiaan semesta, yang membawa kebenaran, kebaikan, dan rahmat bagi semesta alam.
Karena setiap pembahasan iman pasti akan dikaitkan dengan amal sholeh, bahkan di hadits Nabi dikatakan tidak disebut orang itu beriman sampai mencintai orang lain seperti mencintai dirinya sendiri.” ungkap Haedar dalam pembukaan acara Pengkajian Ramadhan 1440 H PP Muhammadiyah, di Kampus Institute Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta, Ahad (12/5). Haedar menegaskan bahwa, suatu sistem akan hancur dan rusak jika hubungan dengan Allah dan hubungan dengan manusia tidak saling bertautan atau integral.
Berkaca kepada peradaban barat yang telah merasakan pahit getirnya suatu susunan sistem yang memparsialkan antara hubungan teologis dan antroposentris. Haedar menjelaskan, peradaban barat modern merupakan kritik dari peradaban sebelumnya yang sangat teosentrik. Barat kekinian kemudian mengambil satu sisi saja, antroposentrik, yang kemudian berdampak pada kemajuan dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun mengalami krisis dibidang kemanusiaan, hal ini menyebabkan orang Barat ingin kembali lagi kepada spiritualitas dan agama. “Masyarakat ingin kembali kepada spiritualitas, biarpun spiritualitas yang tidak selalu kepada agama. Karena barat punya trauma kepada agama yang menindas, yang monolitik, teosentrik. Lalu mereka ingin keluar dari itu kepada yang disebut antroposentrik,” katanya. Karena pada dasarnya manusia memiliki fitrah sebagai mahluk yang bergama homo religius.
Sehingga itu Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali dimensi tauhid yang memiliki dimensi insaniyah, hal ini sebagai upaya sadar akan makna pencerahan dalam konteks pemurnian tauhid.
Mengutip dari ilmuan muslim modern, Haedar menerangkan bahwa jika seorang sudah berikrar laailahaillah mesti harus berkonsekuensi bukan hanya menolak syirik atau menduakan Allah. Tapi juga menunjukkan sikap egaliter kepada sesama manusia, tidak menindasnya, karena prinsip dari tauhid adalah tidak ada yang kuasa selain Allah.
Sehingga manusia satu dengan yang lain adalah sebuah kesatuan yang berdiri sejajar, tidak saling menerendahkan bahkan menindas. “Sehingga manusia tidak berhak mengambil segal atribut Allah, atas nama Allah merasa paling suci dan bersih sendiri, merasa paling Islam sendiri. Karena dalam beragama jangan merasa ‘sesuci’, karena engkau harus tahu bahwa engkau tidak sesuci Allah yang maha suci,” tegas Haedar. [Muhammadiyah]