ICC Jakarta – Sabda Nabi Saw dan perkataan-perkataan yang semisalnya menerangkan sebuah realitas bahwa salah satu kegiatan mulia menurut perspektif Islam adalah menyenangkan orang mukmin. Fakta ini sekaligus menolak pemikiran orang-orang yang menganggap beragama itu sama seperti menerima kesedihan dan menampilkan wajah yang muram dan kelam dari agama. Dari anjuran tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat yang diidolakan oleh Islam adalah sebuah komunitas yang bergairah dan ceria.
Dalam pandangan Rasulullah Saw, menyenangkan orang mukmin merupakan kegiatan yang bernilai dan sudah jelas perkara-perkara apa saja yang membuat mereka senang. Oleh karena itu, tidak tepat jika kita menggunakan sarana dan cara-cara yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam untuk menyenangkan kaum mukmin. Dalam sebuah riwayat dari Imam Husein as disebutkan bahwa, “Pekerjaan utama setelah shalat adalah menyenangkan hati orang mukmin dengan perkara yang tidak ada dosa di dalamnya.” (Manaqib, juz 4, hal 75) Beberapa riwayat sudah menyebut bentuk-bentuk kegiatan tersebut. Imam Jakfar Shadiq as berkata, “Di antara perbuatan yang paling dicintai di sisi Allah adalah menyenangkan saudara mukmin dengan cara mengeyangkan ia dari lapar, menyelesaikan masalah yang melilitnya atau membayar utang-utangnya.” (Ushul al-Kafi, juz 2, hal 192)
Jelas bahwa menyenangkan kaum mukmin dengan segala cara tidak terhitung sebagai sebuah ibadah yang besar. Misalnya saja, jika seorang individu membuat orang lain senang lewat jalan dosa, jelas ia belum melakukan perbuatan yang terpuji dan bahkan sudah terjebak dalam sebuah dosa besar. Berkenaan dengan kedudukan kesenangan dalam gaya hidup Islami harus dikatakan bahwa kesedihan dan kesenangan bagaikan dua sisi mata uang. Manusia dalam hidupnya selalu mencari kesenangan dan hidup senang senantiasa menjadi impian mereka. Kesenangan adalah sesuatu yang memotivasi kita berusaha untuk meraihnya, namun tidak semua orang bisa mencicipinya. (Pars Today)