ICC Jakarta – Al Noor berasal dari bahasa Arab yang artinya cahaya. Namun, kini cahaya itu telah digelapkan oleh aksi teror penembakan oleh teroris berkulit putih. Masjid yang terkenal di 101 Deans Avenue in Riccarton itu berseberangan dengan Hagley Park. Masjid Al Noor dikenal karena membuka pintunya untuk semua kalangan baik Muslim maupun non-Muslim.
Dilaporkan di Stuff, setiap tahun, Masjid Al Noor menyelenggarakan acara memanggang daging gratis pada acara pekan Islam bagi seluruh masyarakat yang tertarik mengetahui lebih dalam tentang Islam. Dalam acara tersebut biasanya para pemimpin masjid memberikan presentasi dan menyambut pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat luas untuk meningkatkan visibilitas komunitas Muslim yang kecil, namun berdedikasi.
Seorang sejarawan Muslim, Abdullah Drury mengatakan komunitas Muslim selalu bersikap apolitis. “Mereka merupakan komunitas sederhana, pendiam yang menjaga dirinya sendiri. Banyak dari mereka telah berusaha menjauh dari kekerasan di Timur Tengah,” katanya.
Umat Islam telah tinggal di Christchurch sejak awal kota tersebut ada. Muslim pertama yang diketahui datang ke Selandia Baru berasal dari India dan menetap di Cashmere pada 1850-an. Muslim tetap menjadi bagian kecil dari kota Kristen Pākehā yang dominan, sampai 1970-an. Pada 1981, ada hampir 500 Muslim di Canterbury, sebagian besar adalah mahasiswa di universitas setempat.
Ruang komunal pertama bagi umat Islam untuk berkumpul adalah sebuah rumah di Tuam St, dibeli pada 1981. Itu tidak cukup besar untuk menampung semakin banyak migran, lalu mereka membangun masjid baru di Deans Ave.
Pembangunan masjid dipimpin oleh masyarakat dan sebagian besar bergantung pada sumbangan anggota serta sumbangan 460 ribu dolar AS dari Kerajaan Saudi. Pendirian masjid didorong oleh sekelompok kecil yang sebagian besar telah meninggal, di antara mereka adalah Muhammad Nabi dari Bangladesh. Ia meninggal beberapa tahun yang lalu.
Masjid Al Noor selesai pada Agustus 1985. Masjid ini berada di pulau selatan Selandia Baru dan merupakan masjid kedua di Selandia Baru.
Berdasarkan tesis yang ditulis Abdullah Drury pada 2016 mengenai sejarah Muslim Pulau Selatan, kontruksi masjid Al Noor dibangun dengan teliti dan sarat makna. Banyak prasasti yang dibangun oleh seorang kaligrafer dari Sudan yang ditempatkan di dinding dan jendela masjid.
Sepanjang 1990-an, lebih banyak Muslim bermigrasi ke Canterbury, kebanyakan adalah pengungsi dari Somalia dan Afghanistan. Meskipun populasi Muslim meningkat, mereka terdiri dari banyak kelompok budaya dan ras yang berbeda, Masjid Al Noor tetap menjadi satu-satunya masjid di Christchurch. Meskipun ada ketegangan sesekali, tidak pernah ada perpecahan.
“Dalam banyak hal komunitas Muslim menyerupai keluarga besar atau mungkin klan atau suku. Kadang-kadang fungsional, kadang-kadang tidak berfungsi, dengan individu-individu masuk dan keluar secara bergantian,” tulis Drury dalam tesisnya.
Sepanjang 2000-an, komunitas Muslim Christchurch mendapati dirinya bersikap defensif, mengikuti gelombang sentimen anti-Muslim di seluruh Barat yang sebagian diperburuk oleh liputan media. Muslim Christchurch dengan suara bulat mengutuk ekstremisme kekerasan dan melanjutkan penjangkauan mereka ke komunitas yang lebih luas. Tiga pekan setelah serangan September 2001 di Amerika Serikat, seorang wartawan mengunjungi Masjid Al Noor, tempat para pemimpin Muslim berbagi kekecewaan mereka.
“Islam mengutuk tindakan apa pun yang mendorong ketidakharmonisan di dalam komunitas dan di antara umat manusia,” kata Sheikh Abdulrahman yang saat itu menjadi imam masjid.
Banyak Muslim turun tangan langsung ketika gempa bumi pertama melanda Canterbury pada September 2010. Saat itu adalah pekan ketiga Ramadhan. Mereka bergabung dengan agama lain untuk menunjukkan solidaritas kepada 185 korban serta Gereja Anglikan yang kehilangan pusat ibadah utamanya, Katedral Gereja Kristus.
Sebelum pembantaian sadis Jumat (15/3) lalu, para pemimpin komunitas Muslim Christchurch menegaskan kembali komitmen mereka terhadap perdamaian setelah serangan teroris di Paris yang menewaskan 130 orang. Dalam wawancara 2016 dengan Migrant Times, Imam Masjid Al Noor, Gamal Fouda kembali menolak ekstremisme.
“Orang-orang perlu belajar tentang Islam dari cendekiawan otentik yang mewakili Islam sejati, bukan dari mereka yang menyebut diri mereka Muslim, tetapi bersembunyi di balik agama dan menggunakannya untuk memaksakan agenda mereka sendiri dan menciptakan kekacauan,” katanya.
Ia menambahkan, kelompok-kelompok tersebut yang menyebut diri mereka negara Islam. Tidak sampai 2017, komunitas Muslim di Christchurch menjadi begitu besar sehingga memerlukan masjid lagi.
Linwood Islamic Center secara resmi didirikan pada 2018 di sebuah gedung di Linwood Ave yang menampung Linwood Community Center. Itu adalah program yang dipimpin oleh Ibrahim Abdelhalim dari Mesir.
Pada 2018, komunitas Muslim mengumpulkan uang untuk membeli bangunan. Mereka berhasil mengumpulkan dana sebesar 400 ribu dolar AS. Mereka merenovasi bagian dalam gedung yang sudah tidak layak dan memasang karpet baru.
Pada Jumat, 80 orang berada di masjid yang baru selesai direnovasi untuk melaksanakan shalat Jumat. Abdelhalim, salah satu orang yang membangun masjid Linwood mengatakan kepda wartawan umat Muslim tidak akan berhenti datang ke masjid meskipun telah terjadi penembakan brutal ini.
“Kami tidak akan pernah berhenti pergi ke masjid untuk berdoa kepada Tuhan karena negara ini menerima semua agama. Semua orang yang datang dari setiap kebangsaan, setiap bahasa. Kami adalah bagian dari Selandia Baru, meskipun para anti-Islam dan anti-Imigran menerima itu atau tidak.
Sumber: Republika