ICC Jakarta – Mengenakan kemeja putih berpeci hitam berpadankan sarung batik, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menghadiri peringatan Harlah ke-93 NU. Menag hadir mewakili Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Di hadapan peserta yang memadati Masjid Raya KH Hasyim Asyari di Jakarta Barat, Menag mengajak untuk terus merawat dan mengembangkan tradisi yang selama ini dikembangkan ulama Nahdlatul Ulama. “Pakaian boleh jadi batik, kopiyah hitam, tapi substansi shalatnya tetap sama, diawali takbir dan diakhiri dengan salam. Bila ada yang meninggal digelar acara 7 harian, 40 harian, 100 harian dan bahkan 1000 harian, tapi tujuannya takziyah, silaturrahim, saling mendoakan dan caranya diisi bacaan ayat suci Alqur’an, dzikir, shalawat dan kalimat-kalimat pujian,” kata Menag di Jakarta Barat, Kamis (31/01) malam.
Dijelaskan Menag, bagi sebagian orang, acara seperti itu dianggap bid’ah dan mengada-ada, hanya karena tidak dilihat wujud formalnya di era baginda Rasulullah. Tapi bagi NU, lanjut Menag, amaliah ini adalah bagian dari strategi budaya untuk memperkokoh penerapan ajaran agama.
“Agama tanpa budaya ibarat ruh tanpa jasad. Agama tanpa budaya, ibarat jasad tanpa busana. Agama tanpa budaya bagaikan langit tanpa bulan dan bintang,” tambah Menag.
Karena itu, kata Menag, tradisi ziarah, istighatsah, tahlilan, manaqiban, ratiban dan diba’an merupakan persenyawaan antara ajaran agama dengan budaya. Maka ajaran islam di nusantara terasa begitu indah, mudah dan mempesona. Hal semacam inilah yang terus dikembangkan oleh NU dan Nahdliyin dari sejak lahir hingga hari ini dan mendatang.
“NU bertahan hampir satu abad karena dibangun diatas landasan yang kokoh dalam paham keagamaannya, yaitu menghimpun tradisi teks dan nalar, sehingga pemahaman keagamaan yang dikembangkannya tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga kontekstual,” kata Menag.
Menurut Menag, semangat kembali kepada Alquran dan sunnah jangan sampai mengekang nalar, sehingga beragama terasa ketat dan kaku. Namin, perhatian terhadap akal yang berlebihan, hingga mengabaikan teks juga bisa membuat agama tercerabut dari akarnya.
“Teks keagamaan, baik itu Alquran maupun hadits, tidak boleh diabaikan atas nama pembaharuan atau tajdid. Keseimbangan antara tradisi teks dan nalar itulah salah satu aspek penting wasathiyyah (moderasi) dalam ber-islam,” tegas Menag.
Moderasi Aswaja ala NU ini, kata Menag, perlu dan semakin relevan untuk dihadirkan dan disuarakan dalam wacana keagamaan sebuah masyarakat yang beragam agama, budaya dan etnik. Konsep jamaah bukan hanya menggambarkan sebuah perkumpulan, tetapi sesuai makna bahasanya yang berasal dari kata jama’a (berkumpul).
“Jama’ah harus bisa menghimpun dan mengayomi keragaman yang ada, selama semuanya menuju kepada jalan-jalan kedamaian,” kata Menag.
Kementerian Agama terus menggulirkan program moderasi beragama untuk kebersamaan umat. Untuk itu, Menag Lukman berharap, NU dan pemerintah dapat terus bersinergi dalam mengokohkan moderasi beragama, dengan perspektif Islam Ahlussunah waljamaah untuk kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara yang lebih toleran dan penuh damai.
Sebelumnya, ketua DKM Masjid Raya Hasyim Asyari Zuhri Yaqub menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang ikut berkontribusi melancarkan acara Harlah ke-93 NU ini.
“Kita semua bertekad bersama menjaga persatuan bangsa. Warga besar NU akan terus menjaga, merawat keutuhan NKRI, mengusung islam yang rahmatan lil alamin,” tutup Zuhri Yaqub.
Tampak hadir dalam acara, penceramah utama Gus Muwafiq dari Yogjakarta, Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, Dzurriyah pendiri NU Hj Yenny Wahid.
Sumber: Kemenag