ICC Jakarta – Pertama, yang harus kita perhatikan disini ialah bahwa dhamir apapun yang digunakan sebagai ganti (dzamir) sang mutakallim, maka dhamir tersebut itu tidaklah memiliki nilai yang mampu mempengaruhi kedudukan sang mutakallim. Akan tetapi, peletakan dhamir tersebut tidak lain hanyalah berasal dari ‘urf dan kesepakatan antar para pakar bahasa saja.
Sedangkan kedua, kita juga telah mengetahui bahwa mengapa Allah Swt menggunakan dhamir mudzakar untuk diriNya, tidak lain karena bahasa yang dipakai Al-Qur’an ialah bahasa Arab. Oleh karena itu, dhamir apapun yang ada dalam Al-Qur’an haruslah mengikuti kaidah yang ada dalam tata bahasa Arab. Sementara, bahasa Arab sejatinya bukanlah sebuah bahasa yang muncul lantaran munculnya agama Islam. Yang mana, menurut penjelasan dari beberapa kamus yang ada telah mengisyaratkan bahwa orang pertama kali yang menggunakan bahasa Arab ialah seseorang yang bernama Yu’rab bin Qahthan. Ia memiliki nasab yang bersambung sampai Nabi Nuh As[1]. Dalam bahasa Arab disebutkan bahwa dhamir terkadang mudzakar (sebagai ganti laki-laki) dan kadang adalah perempuan (sebagai ganti perempuan). Hal itu sangat berbeda dengan dhamir yang ada dalam bahasa Persia (yang mana antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama menggunanakan satu dhamir saja).
Seluruh yang ada di alam ini tidak akan terlepas dari empat hal; hal-hal yang hanya terkait dengan gender perempuan saja, hal-hal yang hanya terkait dengan gender laki-laki saja, hal-hal yang secara kolektif menyangkut kepada laki-laki dan juga perempuan, dan yang terakhir adalah hal-hal yang tidak terikat sama sekali dengan bentuk gender manapun[2].
Dalam kaidah dan tata bahasa Arab, telah dijelaskan bahwa disana terdapat perbedaan dalam peletakan antara dzamir laki-laki dan dzamir perempuan. Adapun apabila disana terdapat dua gender yang berbeda, dimana yang satu adalah laki-laki dan yang lainnya adalah perempuan, maka yang dominan yang akan dipakai untuk keduanya adalah dzamir atau kata ganti laki-laki, bukan perempuan. Adapun apabila disana gender tidak disebutkan sama sekali (misalnya adalah kata Allah Swt dan juga para Malaikat-Nya), maka kata ganti yang digunakan untuk mereka adalah kata ganti dalam bentuk mudzakar (majazi). Disana, terdapat kaidah dimana dhamir atau kata ganti laki-laki pada tiga keadaan tertentu akan di gunakan (tentunya menurut kaidah dalam bahasa Arab), sedangkan pada satu keadaan lainnya, maka dhamir atau kata ganti perempuan baru akan di gunakan.
Tentunya, terkadang, seseorang hanya akan melihat kepada muanats dan muzakarnya suatu lafadz saja. Sekalipun, lafadz tersebut apabila disejajarkan dengan Al-Jins (jenis aslinya) itu berbeda dengan lafadznya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam muanats majazi.
Misalnya tatkala kita menyebutkan Matahari, maka dzamir yang kita pakai sebagai kata ganti darinya adalah dzamir muanats. Sementara, tatkala kita menyebutkan Bulan, maka dzamir yang kita gunakan sebagai kata ganti darinya ialah dzamir mudzakar. Hal itu dapat kita ketahui karena Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan, “Wa al-Syams-i wa dhuhâ-ha. Wa al-Qamar-i idzâ talâ-ha[3]“. Atau dalam ayat lainnya, Allah Swt berfirman, “Idza al-Syams-u kuwwirat”[4]. Dalam ayat tersebut, kita dapat ketahui bahwa kata ganti yang dipakai untuk Bulan adalah kata ganti mudzakar. Sementara kata ganti yang dipakai untuk Matahari adalah kata ganti muanats. Sementara kita ketahui bahwa Matahari dan juga Bulan tidak dapat kita sebut sebagai laki-laki ataupun perempuan. Hal itu karena keduanya adalah dua sesuatu diluar daripada gender laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, keduanya adalah muanats dan mudzakar majazi belaka.[5]
Merupakan sebuah kelaziman bahwa setiap pesan yang hendak di tulis atau disampaikan dengan menggunakan bahasa ini (bahasa Arab), maka pesan tersebut haruslah mengikuti aturan dan tata bahasa yang ada dalam bahasa tersebut. Hal itu karena sang pendengar atau pembaca baru akan dapat memahami makna yang terkandung dalam pesan tersebut apabila ia menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Dan apabila tidak demikian, maka jangan heran apabila sang pendengar tidak akan memahami makna yang tersirat dalam pesan tersebut. Bahkan, terkadang ia justru akan memahami makna lainnya.
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka secara otomatis, iapun harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa Arab itu sendiri. Sebelumnya juga telah kita sebutkan bahwa menurut kaidah yang ada dalam bahasa Arab bahwa dalam tiga keadaan tertentu, dhamir mudzakarlah yang akan digunakan. Sementara dalam satu keadaan lainnya, barulah dhamir muannats akan digunakan.
Dikarenakan Allah Swt adalah wujud trancscendent (lebih tinggi) dari jinsiat (kelamin), yang mana Dia bukanlah laki-laki (hakiki) dan juga bukan perempuan (hakiki), maka kata ganti yang harus dipakai untuk-Nya ialah kata ganti mudzakar majazi. Yang mana, penggunaan tersebut dipakai untuk nama, sifat, dan dhamir-Nya itu sendiri.
Referensi
- Makarim Syirazi va digaran, Tafsîr-e Nemûneh, jilid 17, hal. 308.
- Sayid ‘Abdul Husain Tayib, Athyab al-Bayân fî Tafsîr-i al-Qur’ân, jilid 11, hal 24.
- Jarjani, Âyât-u al-Ahkâm, jilid 2, hal 390.
[1]. Majma’ al-Bahrain, jilid 2, hal 119, lughatnameh Dahkhuda.
[2]. Pernyataan-pernyataan semacamam ini sejatinya sudah timbul semenjak Islam muncul, dimana dikatakan bahwa Al-Qur’an telah menyalahi tatabahasa Arab. Hal itu karena penggunaan dhamir untuk hal-hal yang secara kolektif menyangkut masalah laki-laki dan perempuan, maka Al-Qur’an akan menggunakan dhamir laki-laki saja contohnya adalah apa yang ada dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab ayat 35. Ihwal ayat ini, para ahli tafsir mengatakan bahwa salah seorang wanita yang bernama Asma’ binti ‘Umais datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya kepada beliau, “Bagaimana bisa Al-Qur’an menyebut keutamaan-keutamaan yang ada antara kaum lelaki dan perempuan hanya dengan menggunakan dzamir jama’ mudzakar salim, tanpa menyebutnya ke dalam jama’ muanats salim?” Dan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, maka turunlah ayat ke 35 surat Al-Ahzab tersebut, yang mana dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan dhamir yang berbeda,satu dhamir khusus untuk kata ganti laki-laki dan yang lain, dhamir khusus untuk kata ganti perempuan. (Tafsir Nemuneh, jilid 17, hal 308). Dengan menengok kepada permasalahan diatas, maka sebagian dari ahli tafsir mengatakan bahwa sebenarnya, ayat diatas memiliki isyarat yang begitu tinggi. Dimana, dhamir yang ditulis untuk kata ganti laki-laki itu sebenarnya tidak hanya dikhususkan kepada laki-laki saja. Akan tetapi, dhamir tersebut mengisyaratkan keduanya; laki-laki dan juga perempuan. (Tafsir Hidâyat, jilid 10, hal 267).
[3]. Syams, ayat 1&2.
[4]. Takwir, ayat 1.
[5]. Untuk mengetahui secara lebih mendalam ihwal maksud dan arti, baik itu mudzakar dan muannats haqiqi ataupun mudzakar dan muanats majazi, maka rujuklah kitab Al-Hidâyah ataukah Al-Unmûdzaj.
Pertama, yang harus kita perhatikan disini ialah bahwa dhamir apapun yang digunakan sebagai ganti (dzamir) sang mutakallim, maka dhamir tersebut itu tidaklah memiliki nilai yang mampu mempengaruhi kedudukan sang mutakallim. Akan tetapi, peletakan dhamir tersebut tidak lain hanyalah berasal dari ‘urf dan kesepakatan antar para pakar bahasa saja.
Sedangkan kedua, kita juga telah mengetahui bahwa mengapa Allah Swt menggunakan dhamir mudzakar untuk diriNya, tidak lain karena bahasa yang dipakai Al-Qur’an ialah bahasa Arab. Oleh karena itu, dhamir apapun yang ada dalam Al-Qur’an haruslah mengikuti kaidah yang ada dalam tata bahasa Arab. Sementara, bahasa Arab sejatinya bukanlah sebuah bahasa yang muncul lantaran munculnya agama Islam. Yang mana, menurut penjelasan dari beberapa kamus yang ada telah mengisyaratkan bahwa orang pertama kali yang menggunakan bahasa Arab ialah seseorang yang bernama Yu’rab bin Qahthan. Ia memiliki nasab yang bersambung sampai Nabi Nuh As[1]. Dalam bahasa Arab disebutkan bahwa dhamir terkadang mudzakar (sebagai ganti laki-laki) dan kadang adalah perempuan (sebagai ganti perempuan). Hal itu sangat berbeda dengan dhamir yang ada dalam bahasa Persia (yang mana antara laki-laki dan perempuan, keduanya sama-sama menggunanakan satu dhamir saja).
Seluruh yang ada di alam ini tidak akan terlepas dari empat hal; hal-hal yang hanya terkait dengan gender perempuan saja, hal-hal yang hanya terkait dengan gender laki-laki saja, hal-hal yang secara kolektif menyangkut kepada laki-laki dan juga perempuan, dan yang terakhir adalah hal-hal yang tidak terikat sama sekali dengan bentuk gender manapun[2].
Dalam kaidah dan tata bahasa Arab, telah dijelaskan bahwa disana terdapat perbedaan dalam peletakan antara dzamir laki-laki dan dzamir perempuan. Adapun apabila disana terdapat dua gender yang berbeda, dimana yang satu adalah laki-laki dan yang lainnya adalah perempuan, maka yang dominan yang akan dipakai untuk keduanya adalah dzamir atau kata ganti laki-laki, bukan perempuan. Adapun apabila disana gender tidak disebutkan sama sekali (misalnya adalah kata Allah Swt dan juga para Malaikat-Nya), maka kata ganti yang digunakan untuk mereka adalah kata ganti dalam bentuk mudzakar (majazi). Disana, terdapat kaidah dimana dhamir atau kata ganti laki-laki pada tiga keadaan tertentu akan di gunakan (tentunya menurut kaidah dalam bahasa Arab), sedangkan pada satu keadaan lainnya, maka dhamir atau kata ganti perempuan baru akan di gunakan.
Tentunya, terkadang, seseorang hanya akan melihat kepada muanats dan muzakarnya suatu lafadz saja. Sekalipun, lafadz tersebut apabila disejajarkan dengan Al-Jins (jenis aslinya) itu berbeda dengan lafadznya. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam muanats majazi.
Misalnya tatkala kita menyebutkan Matahari, maka dzamir yang kita pakai sebagai kata ganti darinya adalah dzamir muanats. Sementara, tatkala kita menyebutkan Bulan, maka dzamir yang kita gunakan sebagai kata ganti darinya ialah dzamir mudzakar. Hal itu dapat kita ketahui karena Al-Qur’an sendiri telah menjelaskan, “Wa al-Syams-i wa dhuhâ-ha. Wa al-Qamar-i idzâ talâ-ha[3]“. Atau dalam ayat lainnya, Allah Swt berfirman, “Idza al-Syams-u kuwwirat”[4]. Dalam ayat tersebut, kita dapat ketahui bahwa kata ganti yang dipakai untuk Bulan adalah kata ganti mudzakar. Sementara kata ganti yang dipakai untuk Matahari adalah kata ganti muanats. Sementara kita ketahui bahwa Matahari dan juga Bulan tidak dapat kita sebut sebagai laki-laki ataupun perempuan. Hal itu karena keduanya adalah dua sesuatu diluar daripada gender laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, keduanya adalah muanats dan mudzakar majazi belaka.[5]
Merupakan sebuah kelaziman bahwa setiap pesan yang hendak di tulis atau disampaikan dengan menggunakan bahasa ini (bahasa Arab), maka pesan tersebut haruslah mengikuti aturan dan tata bahasa yang ada dalam bahasa tersebut. Hal itu karena sang pendengar atau pembaca baru akan dapat memahami makna yang terkandung dalam pesan tersebut apabila ia menggunakan tata bahasa yang baik dan benar. Dan apabila tidak demikian, maka jangan heran apabila sang pendengar tidak akan memahami makna yang tersirat dalam pesan tersebut. Bahkan, terkadang ia justru akan memahami makna lainnya.
Karena Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, maka secara otomatis, iapun harus mengikuti kaidah-kaidah yang ada dalam bahasa Arab itu sendiri. Sebelumnya juga telah kita sebutkan bahwa menurut kaidah yang ada dalam bahasa Arab bahwa dalam tiga keadaan tertentu, dhamir mudzakarlah yang akan digunakan. Sementara dalam satu keadaan lainnya, barulah dhamir muannats akan digunakan.
Dikarenakan Allah Swt adalah wujud trancscendent (lebih tinggi) dari jinsiat (kelamin), yang mana Dia bukanlah laki-laki (hakiki) dan juga bukan perempuan (hakiki), maka kata ganti yang harus dipakai untuk-Nya ialah kata ganti mudzakar majazi. Yang mana, penggunaan tersebut dipakai untuk nama, sifat, dan dhamir-Nya itu sendiri.
Referensi
- Makarim Syirazi va digaran, Tafsîr-e Nemûneh, jilid 17, hal. 308.
- Sayid ‘Abdul Husain Tayib, Athyab al-Bayân fî Tafsîr-i al-Qur’ân, jilid 11, hal 24.
- Jarjani, Âyât-u al-Ahkâm, jilid 2, hal 390.
[1]. Majma’ al-Bahrain, jilid 2, hal 119, lughatnameh Dahkhuda.
[2]. Pernyataan-pernyataan semacamam ini sejatinya sudah timbul semenjak Islam muncul, dimana dikatakan bahwa Al-Qur’an telah menyalahi tatabahasa Arab. Hal itu karena penggunaan dhamir untuk hal-hal yang secara kolektif menyangkut masalah laki-laki dan perempuan, maka Al-Qur’an akan menggunakan dhamir laki-laki saja contohnya adalah apa yang ada dalam Al-Qur’an dalam surat Al-Ahzab ayat 35. Ihwal ayat ini, para ahli tafsir mengatakan bahwa salah seorang wanita yang bernama Asma’ binti ‘Umais datang menemui Rasulullah Saw dan bertanya kepada beliau, “Bagaimana bisa Al-Qur’an menyebut keutamaan-keutamaan yang ada antara kaum lelaki dan perempuan hanya dengan menggunakan dzamir jama’ mudzakar salim, tanpa menyebutnya ke dalam jama’ muanats salim?” Dan sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, maka turunlah ayat ke 35 surat Al-Ahzab tersebut, yang mana dalam ayat tersebut Allah Swt menggunakan dhamir yang berbeda,satu dhamir khusus untuk kata ganti laki-laki dan yang lain, dhamir khusus untuk kata ganti perempuan. (Tafsir Nemuneh, jilid 17, hal 308). Dengan menengok kepada permasalahan diatas, maka sebagian dari ahli tafsir mengatakan bahwa sebenarnya, ayat diatas memiliki isyarat yang begitu tinggi. Dimana, dhamir yang ditulis untuk kata ganti laki-laki itu sebenarnya tidak hanya dikhususkan kepada laki-laki saja. Akan tetapi, dhamir tersebut mengisyaratkan keduanya; laki-laki dan juga perempuan. (Tafsir Hidâyat, jilid 10, hal 267).
[3]. Syams, ayat 1&2.
[4]. Takwir, ayat 1.
[5]. Untuk mengetahui secara lebih mendalam ihwal maksud dan arti, baik itu mudzakar dan muannats haqiqi ataupun mudzakar dan muanats majazi, maka rujuklah kitab Al-Hidâyah ataukah Al-Unmûdzaj.