ICC Jakarta – Ibnu Abil Hadid seorang tokoh terkemuka pada abad 7 H/628, bermazhab Sunni dalam mukaddimah syarah Nahjul Balaghah menulis, “Apa yang harus kukatakan tentang seorang laki-laki yang musuhnya juga tidak mengenalnya kecuali dengan keutamaannya dan mereka tidak dapat mengingkari dan menyembunyikan kebaikan itu. Semua mengetahui bahwa Bani Umayyah menjarah bagian Timur dan Barat negara-negara Islam. Dengan kelicikan dan kekuasaannya berhasil mematikan kebesaran cahaya Islam dan membuat hadis yang banyak untuk menjelekkan Imam Ali as dan melaknatnya di semua mimbar. Muawiyah tidak hanya memenjarakan siapa saja yang memuji bahkan membunuhnya. Ia juga melarang membawakan riwayat yang berisi tentang keutamaan Imam Ali as bahkan melarang penggunaan nama Ali. Namun semua ini tidak membuahkan hasil kecuali justru semakin membawa nama baik bagi Imam Ali as. Ia laksana kesturi semakin ditutupi aromanya semakin semerbak mewangi. Ibnu Abil Hadid dalam lanjutan tulisannya berkata, “Apa yang harus kukatakan tentang seseorang yang merupakan sumber keutamaan dan sumber setiap keistimewaan bagi setiap manusia dan setiap madzab dan kelompok. Semua sumber keutamaan bermuara kepadanya dan ia paling cepat dari semua orang dan terkemuka dari yang lainnya.
Ilmu Kalam
Ibnu Abil Hadid berkata, “Penjelasan tentang ilmu Kalam dan pengenalan sifat-sifat menjulang Allah swt yang merupakan ilmu yang paling tinggi dijelaskan dengan elegan oleh Imam Ali as. Para ulama dan ahli kalam adalah murid-muridnya. Muktazilah yang berpegang pada keyakinan tauhid dan keadilan adalah murid-murid dan sahabat-sahabatnya. Karena silsilah mereka berujung kepada Washil bin ‘Atha’ dan dia adalah murid Abu Hasyim Abdullah bin Hanafiyah. Abu Hasyim adalah murid ayahnya, dan ayahnya adalah murid Ali as. Asy’ariyah juga berujung kepada Imam Ali as di mana pendiri firqah ini adalah Abul Hasan Ali bin (Ismail bin) Abi Basyir Asy’ari. Oleh karena itu, pada akhirnya Asya’ariyah berguru sampai kepada Muktazilah dan guru Muktazilah adalah Imam Ali as. Adapun penisbatan ilmu Kalam Imamiyyah dan Zaidiyyah kepada Ali as merupakan perkara yang sudah terang dan tidak perlu dijelaskan lagi.
Ilmu Fikih
Ibnu Abil Hadid berkata, “Imam Ali as dasar dan asas ilmu fikih dan setiap fakih dalam Islam menggunakan pengajaran darinya sampai pada hal-hal yang detail. Bersandarnya fikih Syiah kepada Imam Ali as sangatlah terang dan tidak perlu dijelaskan. Sahabat Abu Hanifah seperti Abu Yusuf, Muhammad dan sebagian dari mereka mempelajari fikih dari Abu Hanifah. Ahmad bin Hanbal adalah murid Syafi’i. Syafi’i belajar fikih kepada Abu Hanifah. Dan Abu Hanifah sendiri belajar fikih dari murid Imam Shadiq As. Kemudian Imam Shadiq as dari ayahnya, Imam Baqir as dan Imam Baqir as dari ayahnya dan demikian seterusnya sampai berujung kepada Imam Ali as. Malik bin Anas belajar fikih dari Rabi’ah al-Ra’yu dan Rabi’ah adalah murid ‘Ikrimah sedangkan ‘Ikrimah adalah murid Abdullah bin Abbas dan Abdullah bin Abbas adalah murid Imam Ali as. Fikih Syafi’i dengan memperhatikan bahwa ia adalah murid Malik, pada akhirnya juga berujung kepada Imam Ali as. Dengan demikian, fuqaha empat mazhab Sunni berujung dan bermuara kepada Imam Ali as. Fukaha yang berasal dari kalangan sahabat seperti Umar bin Khatab dan Abdullah bin Abbas adalah diantara ahli fikih yang belajar kepada Imam Ali as. Bahwa Ibn Abbas adalah murid Imam Ali tiada yang meragukan dan tidak lagi memerlukan saksi. Dalam kaitan dengan Umar, semua mengetahui bahwa dalam menyelesaikan problema dan kesulitan, di banyak kesempatan, ia merujuk kepada Ali as. Dalam kaitan ini, Umar berkata, “Seandainya tidak ada Ali, Umar pasti celaka.” Ia juga berkata, “Aku tidak akan dapat tenang jika tidak ada Abul Hasan.” Ia juga berkata, “Tidak seorang pun memberikan fatwa di masjid sementara Ali berada di situ.” Maka, adalah jelas fikih berujung kepada Ali as. Baik kalangan Syiah maupun Sunni menukil dari Rasul saw yang bersabda, “Aqdhākum Ali” (Orang yang paling pandai mengadili adalah Ali). Dengan memperhatikan bahwa ilmu Peradilan (qadha) termasuk ilmu fikih, oleh karena itu, Imam Ali as merupakan orang yang paling paham atas fikih di antara sahabat yang lain.
Tafsir
Ibnu Abil Hadi berkata, “Imam Ali pendiri ilmu tafsir. Apabila merujuk kepada kitab-kitab tafsir, akan menjadi jelas bahwa sebagian besar ayat-ayat dinukil secara langsung dari Imam Ali as ataukah dari Ibnu Abbas karena Ibnu Abbas juga mengambil dari Imam Ali as. Ditanyakan kepada Ibnu Abbas bagaimana perbandingan ilmumu dengan anak pamanmu (Imam Ali as)? Ia menjawab, “Perbandingannya bagaikan setetes air hujan di hadapan samudra yang tiada batasnya.”
Ilmu Tarekat
Ibnu Abil Hadid berkata, “Pemilik ilmu tarekat, hakikat dan irfan juga berujung kepada Imam Ali as. Ajaran-ajaran yang sampai sekarang menjadi semboyan kaum sufi menunjukkan akan hal ini.”
Ilmu Nahwu
Ibnu Abil Hadid berkata, “Semua tahu bahwa Imam Ali as adalah penemu dan pembaharu ilmu Nahwu. Beliau mengajarkan kaidah-kaidah umum ilmu ini kepada Abu al-Aswad Duali. Di antaranya beliau mengatakan kepada Abu al-Aswad mengenai mengenai ‘kata’ terbagi menjadi tiga: ism (nomina), fi’il (verba), dan harf (preposisi) dan beliau juga mengatakan mengenai ism makrifah (definitif) atau nakirah (indefinitif). Selain itu, beliau mengatakan bahwa i’rāb (tanda baca) ada empat jenis: rafa’, nashab, jar, dan jazam.
Kefasihan Bicara dan Kepandaian Beretorika
Ibnu Abil Hadid berkata, “Dari sisi kefasihan, ia adalah penghulu orang fasih dan orator yang ulung dan sebagaimana yang telah dikatakannya tentang tuturan-tuturan Imam Ali: Di bawah firman-firman Sang Pencipta dan di atas kata-kata manusia. Bukti yang paling jelas akan hal ini adalah kitab Nahjul Balaghah. Abdul Majid bin Yahya berkata: 70 khutbah dari khutbah-khutbahnya penuh dengan nilai-nilai sastra yang tinggi. Ibn Nabatah berkata khutbah-khutbahnya adalah harta karun dimana setiap kali aku mengambil darinya tidak akan pernah berkurang justru akan bertambah. Aku menghafal 100 bagian dari nasehat dari Ali bin Abi Thalib.” []