ICC Jakarta – Imam Khamenei menilai pesan utama peristiwa Ghadir adalah masalah imamah (kepemimpinan) sebagai kaidah pemerintahan dalam Islam. Perkara yang sangat penting yang terwujud dalam peristiwa Ghadir adalah penentuan kaidah dan tatanan pemerintahan dalam Islam dan kaidah tersebut adalah imamah dan wilayah di tengah masyarakat Muslim.
Ayatullah Khamenei mengutip surat al-Maidah ayat 3 yang berbunyi, “… pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu…” dan berkata, “Lalu adakah perkara baru yang datang pada hari itu sehingga musuh berputus asa? Seberapa pentingkah hukum-hukum yang disebutkan pada awal surat al-Maidah? Penggalan tersebut tidak berbicara tentang shalat, bukan tentang zakat, bukan tentang jihad, dan juga sama sekali tidak berbicara tentang hukum-hukum furu’uddin.‘… Pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu…’ adalah berbicara tentang perkara lain selain tentang hukum-hukum furu’uddin. Lalu perkara apa itu? Ia adalah masalah kepemimpinan umat, masalah pemerintahan Islam dan kepemimpinan di tengah masyarakat Muslim.
Pada hari Ghadir Allah Swt mewahyukan kepada Rasul-Nya, “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya…” (Surat al-Maidah ayat 67). Setelah turunnya ayat ini, Rasulullah Saw yang sedang kembali dari haji bersama sejumlah masyarakat Muslim dan para sahabat, memerintahkan rombongan untuk berhenti dan menyampaikan khutbah tentang pengangkatan Imam Ali as sebagai pemimpin kaum Muslim setelah beliau.
Rasul Saw kemudian mengangkat tangan Ali as dan memperkenalkan dia sebagai penggantinya. Setelah peristiwa penting ini, malaikat turun dan menyampaikan kabar gembira kepada Rasulullah Saw, “… pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu…”(Surat al-Maidah ayat 3)
Pada kesempatan itu, Ayatullah Khamenei menegaskan bahwa peristiwa Ghadir adalah peletak dasar-dasar pemerintahan di tengah masyarakat Muslim dan menunjukkan bahwa Islam tidak menerima model pemerintahan monarki, otoriter, dan aristokrasi. Model pemerintahan yang digariskan Islam adalah imamah dan wilayah.
Berdasarkan pemikiran Syiah, model pemerintahan yang diperkenalkan Rasul Saw atas perintah Allah Swt untuk era setelah beliau adalah wilayah dan imamah. Kepemimpinan kaum Muslim akan dipegang oleh imam maksum pada masa kehadiran mereka di tengah umat dan ketika memasuki periode keghaiban, tugas mengatur masyarakat akan dipikul oleh seorang fakih atau ulama, yang memenuhi syarat-syarat tertentu termasuk menguasai peta politik, berlaku adil, dan punya kemampuan manajemen.
Dalam pemerintahan model ini, penguasa yang hakiki adalah Allah Swt, sementara imam atau wali fakih hanya pelaksana perintah Tuhan dan mereka tidak bisa memerintah berdasarkan selera pribadinya. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan antara model pemerintahan pada masa imam maksum dan masa wali fakih di zaman ghaibah. Akan tetapi, tata kelolah pemerintahan dan cara membimbing masyarakat pada masa maksum benar-benar ideal. (Ceramah Imam Ali Khamenei bertepatan dengan perayaan hari raya Ghadir Khum di Tehran pada 20 September 2016 di Huseiniyah Imam Khomeini )