ICC Jakarta – Ayat-ayat permulaan surah al-Nur (24) bercerita tentang sebuah kisah yang dikenal sebagai kisah Ifk.
إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang tidak tahu menahu (tentang dosa) lagi beriman (berbuat zina), mereka terlaknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (Qs. Al-Nur [24]:23)
Sehubungan dengan cerita ini, terdapat perbedaan pendapat yang beragam di antara Syiah dan Sunni; Ahlusunnah memandang kisah ini berkaitan dengan Aisyah istri Rasulullah Saw dan putri Abu Bakar,[1]namun sebagian peneliti dan penafsir Syiah menyebut Maria Qibtiah sebagai obyek yang dimaksud pada ayat-ayat tersebut.[2]
Banyak sisi dan hukum yang terkait dengannnya yang dieksplorasi dari kisah ini pada banyak ayat dalam surah al-Nur. Demikian juga terdapat banyak pandangan yang dilontarkan sehubungan dengan orang-orang yang terkait dengan cerita ini.[3]
Ayat-ayat 23 sampai 26 surah al-Nur ini juga, sesuai dengan pendapat sebagian ahli tafsir, diturunkan sehubungan dengan kisah Ifk ini.[4] Hanya saja ayat-ayat ini juga seperti ayat-ayat al-Quran lainnya memiliki sya’n al-nuzul (kondisi pewahyuan) khusus namun mengandung hukum yang bersifat general. Kondisi seperti ini dapat disebut sebagai mafhum al-‘am wa hukm al-kulli (makna general dan hukum universal).[5]
Sehubungan dengan penafsiran ayat-ayat ini, tidak terdapat perbedaan prinsipil dan asasi antara Syiah dan Sunni. Untuk menemukan perbedaan utama di antara para penafsir dua mazhab atas ayat-ayat ini, maka kita harus kembali pada kisah Ifk yang merupakan perbedaan penting dalam memahami ayat-ayat ini.
Akan tetapi apabila kisah Ifk dan pewahyuan ayat-ayat positif seperti ayat-ayat yang menjadi obyek bahasan kita pandang sebagai ayat-ayat yang berkenaan dengan Aisyah, maka hal itu tidak dapat dijadikan dan ditetapkan sebagai bahan argumentasi dan kemaksuman Aisyah. Kami yakin bahwa meski Aisyah dalam cerita ini tidak berdosa, namun amalan-amalan dan tindakan-tindakan yang dilakukan setelahnya khususnya pasca wafatnya Rasulullah Saw telah menuai kritikan banyak orang atasnya dan ayat-ayat ini tidak menjadi penghalang kritikan yang dialamatkan kepadanya.[6]
Terdapat tiga sifat yang disebutkan pada ayat ini terkait dengan wanita-wanita yang menjadi sasaran tuduhan. Sifat-sifat ini menunjukkan besarnya dosa yang dilakukan; karena sifat-sifat seperti memiliki suami, menjaga kesucian (iffah) dan iman masing-masing setiap orang merupakan satu sebab final karena tuduhan zina itu dipandang sebagai kezaliman, orang yang melontarkan tuduhan sebagai orang yang zalim dan orang yang dituduh melakukan perbuatan zina sebagai orang yang dizalimi, apatah lagi seluruh sifat ini tergabung di dalamnya.[7]
Salah satu makna ghafilat (wanita baik-baik) adalah bahwa wanita memiliki kesucian tingkat tinggi dan suci dari segala jenis penyimpangan dan noda; artinya tuduhan melakukan perbuatan zina tidak pantas bagi mereka karena sedemikian tidak pedulinya mereka tentang zina sehingga seolah mereka tidak tahu sama sekali apa itu zina; mengingat bahwa kondisi manusia di hadapan dosa terkadang dilakukan karena sebelumnya telah dapat digambarkan dalam pikiran dan otaknya, sehingga seolah perbuatan seperti ini tidak terdapat di alam luaran dan kondisi seperti ini merupakan kondisi takwa tingkat tinggi.[8]
Pada ayat 26 surah ini[9] juga terdapat redaksi-redaksi kalimat “khabisat” dan “khabitsun.” Terkait dengan dua redaksi kalimat ini juga terdapat makna yang berbeda-beda dalam kitab-kitab tafsir. Salah satu di antara penafsiran yang ada adalah bahwa kalimat ini menyinggung tentang wanita-wanita dan pria-pria yang tercemari dengan noda-noda perbuatan seksual (zina). Sebaliknya makna redaksi-redaksi kalimat, thayyibât dan thayyibun tengah menyoroti para wanita dan pria yang suci. Dan terkait dengan makna-makna seperti ini juga terdapat seabrek bukti yang menetapkannya.[10] (Islam Quest)
[1]. Abu Abdillah Muhammad bin Umar, Fakhruddin Razi, Mafâtih al-Ghaib, jil. 23, hal. 340, Dar Ihya al-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cetakan Ketiga, 1420 H; Ismail bin Amru Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jil. 6, hal. 25, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Intisyarat Muhammad Ali Baidhun, Beirut, Cetakan Pertama, 1419 H; Jalaluddin Suyuthi, al-Durr al-Mantsur fi Tafsir al-Ma’tsur, jil. 5, hal. 28-29, Kitabkhane Ayatullah Mar’asyi Najafi, Qum, 1404 H.
[2]. Muhammad bin Ali Syarif Lahiji, Tafsir Syarif Lahiji, jil. 3, hal. 264, Nasyr Dad, Cetakan Pertama, 1373 S; Fakhruddin Tharihi, Majma’ al-Bahrain, jil. 5, hal. 254, Murtadhawi, Teheran, Cetakan Ketiga, 1375 S; Sayid Abdul Husain Thayyib, Athyâb al-Bayân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 9, hal. 497, Intisyarat Islam, Teheran, Cetakan Kedua, 1378 S.
[3]. Ayat-ayat tersebut adalah:
Sehubungan dengan orang yang dituduh. “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagimu, bahkan berita itu adalah baik bagimu. Tiap-tiap orang dari mereka memiliki saham dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (Qs. Al-Nur [24]:11)
Sehubungan dengan orang-orang beriman yang mendengarkan kisah ini, “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagimu, bahkan berita itu adalah baik bagimu. Tiap-tiap orang dari mereka memiliki saham dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bagian terbesar dalam penyiaran berita bohong itu, baginya azab yang besar.” (Qs. Al-Nur [24]:12)
Terkait dengan keharusan menghadirkan empat orang saksi untuk menetapkan perbuatan zina, “Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi, maka mereka itulah di sisi Allah orang-orang yang dusta.” (Qs. Al-Nur [24]:13) dan seterusnya…
[4]. Muhammad Husain Thabathabai, al-Mizân fi Tafsir al-Qur’ân, jil. 15, hal. 94-95, Intisyarat-e Jami’ah Mudarrisin, Qum, Cetakan Kelima, 1417 H; Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 418, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran, Cetakan Pertama, 1374 S.
[5]. Ibid.
[6]. Ihwal kandungan ayat-ayat dan Aisyah, silahkan lihat, 4523.
[7]. Al-Mizân, jil. 15, hal. 94.
[8]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 417.
[9]. “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan (Ilahi) dan rezeki yang mulia nan berharga.” (Qs. Al-Nur [24]:26)
«الخْبِیثَاتُ لِلْخَبِیثِینَ وَ الْخَبِیثُونَ لِلْخَبِیثَاتِ وَ الطَّیِّبَاتُ لِلطَّیِّبِینَ وَ الطَّیِّبُونَ لِلطَّیِّبَاتِ أُوْلَئکَ مُبرَّءُونَ مِمَّا یَقُولُونَ لَهُم مَّغْفِرَةٌ وَ رِزْقٌ کَرِیمٌ»
[10]. Tafsir Nemune, jil. 14, hal. 422.