ICC Jakarta – Djenne adalah kota di Mali tengah yang terletak di sebuah pulau di delta Sungai Niger. Djenne berdiri pada 800 SM, sehingga menjadi salah satu kota tertua di Afrika sub-Sahara.
Ia berkembang menjadi pasar bagi para pedagang untuk mengangkut emas, garam, dan bahkan budak yang keluar masuk Timbuktu. Selama ribuan tahun, Djenne punya keunikan yang tidak berubah hingga saat ini.
Penduduknya tinggal di rumah yang terbuat dari lumpur. Hampir semua bangunan berbahan dasar lumpur yang halus namun padat, termasuk masjid. Tidak mengherankan jika di sana ada Masjid Agung Lumpur terbesar di dunia.
Dibangun pada tahun 1907, Masjid Agung ini dianggap oleh para seniman sebagai pencapaian terbesar gaya arsitektur Sudano-Sahelian. Sebelum Masjid Agung, ada masjid sebelumnya di situs yang sama yang dibangun pada abad ke-13.
Tapi menurut sejarah, kondisi masjid memburuk karena dihuni oleh burung layang-layang. Burung membangun sarang di dalamnya. Pada saat itu, Seku Amadu menutup masjid setelah menaklukkan Djenn selama Perang Tukulor.
Ia pun membangun masjid lain yang tidak terlalu jauh darinya. Masjid Amadu pun dihancurkan oleh Pasukan Prancis ketika menjajah Djenne pada tahun 1893. Mereka membangun sekolah di sana.
Pasukan Prancis juga membangun kembali masjid asli ke keadaan sekarang. Batu bata lumpur yang disebut ferey dan mortar berbahan dasar lumpur digunakan untuk membangun dinding Masjid Agung.
Tampilannya yang halus dan terpahat berasal dari plester lumpur yang digunakan untuk melapisi dinding. Di dalam gedung Masjid Agung Djenn terdapat bundel dari ranting-ranting kelapa sawit yang ditambahkan untuk mengurangi keretakan.
Bagaimana pun, retakan disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam kelembaban dan suhu terus menjadi masalah berulang. Cabang-cabang sawit juga digunakan sebagai perancah selama perbaikan tahunan.
Pemeliharaan Masjid adalah melalui festival yang unik. Seluruh komunitas Djenn ambil bagian dalam perbaikan tahunan masjid selama festival yang disebut Crepissage de la Grand Mosque.
Perlombaan diadakan di awal festival untuk menentukan siapa yang akan menjadi orang pertama yang memasang plester ke masjid. Para pria bertanggung jawab untuk mengolesi plester di atas wajah masjid sementara perempuan membawa air ke situs.
Orang-orang yang lebih tua hanya duduk dan menonton sambil menikmati makanan dan musik. Untuk menjaga integritas sejarah bangunan, rakyat Djenne telah menolak untuk mengizinkan segala jenis modernisasi dilakukan di masjid.
Pada tahun 1996, Masjid Agung ditutup untuk non-Muslim karena sempat ada pemotretan fotografi perempuan semi-telanjang di gedung. Ini membuat pemimpin agama yang tersinggung.
Meskipun ada beberapa masjid yang lebih tua dari Masjid Agung, bangunan ini tetap menjadi salah satu landmark paling terkenal di Afrika. Masjid Lumpur bersama dengan seluruh kota Djenn ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO pada tahun 1988. (Republika)