ICC Jakarta – Eksistensi memancar pada segala sesuatu dalam dua sisi: yang tak-tampak dan yang tampak. Eksistensi tak-tampak seperti ruh, jiwa, akal, perasaan, dan sebagainya adalah dimensi yang tak-terbatasi; sedangkan perwujudan lahiriah seperti lembaran yang sedang Anda baca ini, tubuh Anda yang sedang menggigil kedinginan atau berkeringat kegerahan…adalah sisi yang terbatas dan terukur. Jadi, semua yang terlihat atau terindra adalah sisi terbatas, terukur dan terkecil dari eksistensi.
Ketika sampai pada dua sisi eksistensi ini, sebagian orang tak mampu memahami apa yang di luar alam yang terbatas dan terindra ini. Orang itu lalu sesumbar bahwa materialitas identik dengan keseluruhan eksistensi. Tapi klaim semacam ini di ranah ilmu pengetahuan dianggap tak lebih dari kebodohan dan kesombongan. Satu-satunya “alasan” di balik klaim semacam itu adalah ketiadaan bukti akan adanya sesuatu di luar yang mereka bisa indrai. Padahal, secara logika, ketiadaan-bukti bukanlah suatu bukti, melainkan keadaan negatif yang hanya menyatakan ketidaktahuan atau kebodohan dan tidak bisa menghasilkan kesimpulan apa-apa. Prinsip ilmu menandaskan “premis negatif tidak bisa memberikan kesimpulan afirmatif”. Yakni, orang yang tidak mengetahui X tidak bisa secara afirmatif menafikan X. Sialnya, dengan kesombongannya, manusia sering beranggapan bahwa apa yang diketahuinya sama dengan apa yang ada dan apa yang tidak diketahuinya sama dengan ketiadaan. Kerancuan berpikir ini sering kita temukan dalam banyak bidang kemanusiaan dan keagamaan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sebetulnya kita selalu mengalami efek dari sisi gaib eksistensi. Gravitasi, gelombang, virus, molekul, sel, atom, sumber-sumber energi, dan lain2 adalah dimensi “gaib” yang senantiasa mempengaruhi kita. Jadi, ada banyak hal gaib yang sungguh-sungguh mempengaruhi kita. Tiap saat, di tiap tempat. Lebih dari itu, dalam struktur realitas, alam fisik material ini justru menempati posisi paling rendah (ad-dunyâ). Energinya paling redup; ruang dan waktunya juga paling terbatas. Dibanding dengan “ruang dan waktu” yang terdapat dalam imajinasi kita saja alam material ini sudah kalah hebat. Sebaliknya, alam non-material adalah energi murni yang tidak “terpenjara” dalam suatu bentuk dan berada dalam samudera lepas.
Para ahli fisika kuantum menyebut alam non-material itu dengan chaos, para filosof menyebutnya dengan Wujud Abstrak, kaum empiris menyebutnya dengan ketiadaan, dan agama menyebutnya dengan kegaiban sebagai lawan dari ketampakan atau alam batin sebagai lawan dari alam lahiriah. Sebutlah sesuka Anda, karena sisi gaib itu memang pasti ada dan selalu mempengaruhi. Alam Gaib itu adalah kampung asal dan tempat kembali manusia. Kehidupan fisik sesungguhnya berarti pemenjeraan dan pembatasan ruh. Di alam fisik ini, ruh terkurung dalam terali tubuh yang tidak dapat dilanggarnya. Pada saat ruh terlepas dari alam fisik ini, ia akan kembali bebas dan tidak lagi terbebani. Kata rûh dalam bahasa Arab mempunyai akar kata yang sama dengan râhah, yakni keadaan lapang atau bebas dari beban (relief).
Allah mengutus para nabi, rasul dan imam untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan keterjeratan ini. Mereka berjuang keras untuk menyampaikan pesan-pesan Allah agar manusia ingat pada hampung halamannya yang sejati. Mereka mengajak manusia untuk berpikir akan kehidupan selanjutnya, kehidupan setelah kehancuran tubuhnya dan kemusnahan dunia. Tidak hanya itu, mereka secara langsung mencontohkan perilaku dan sikap yang harus diambil oleh seseorang dalam rangka mengarungi perjalanan menuju kehidupan abadi. Satu demi satu nabi, rasul dan imam dipilih dan diutus untuk umat manusia. Baginda Nabi al-Musthafa saw telah menyempurnakan tugas semua nabi dan rasul untuk menyampaikan wahyu Allah kepada semua manusia. Ajaran dan pesan Allah telah sempurna bagi semua manusia. Rasulullah saw juga telah menyebutkan imam-imam yang ditunjuk oleh Allah untuk membimbing manusia mengarungi jalan menuju kampung yang abadi. Namun manusia tetap tak sadar diri, bergeming dalam kekafiran dan pengingkaran. Tidak segan-segan mereka memanipulasi agama suci ini demi kepentingan-kepentingan duniawi. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat Allah untuk mencapai hasrat-hasrat egoistik-materialistik. Imam-imam yang telah dipilih oleh Allah untuk memimpin manusia diingkari, ditindas dan dibantai satu demi satu. Kegelapan dan kelaliman pun puncaknya benar-benar memenuhi dunia. Segala benda yang ada di dunia ini kini menjerit kesakitan.
Perusakan manusia sudah berlangsung melampaui batas. Jika saja Allah bolehkan, dunia mungkin akan meledakkan dirinya sendiri dalam erangan amarah. Matahari pun sudah tak lagi memancarkan cahaya yang menyehatkan, cuaca tidak lagi beraturan, langit menurunkan hujan2 tangisan yang penuh asam, tanah penuh racun, hutan mengering dan terbakar, laut tercemar polusi, udara pengap dan terkontaminasi, binatang-binatang punah, burung-burung tidak lagi bernyanyi, makhluk-makhluk tidak terlihat berubah menjadi virus-virus mematikan. Orang-orang bijak yg berjalan di garis kebenaran pun perlahan dipinggirkan. Mereka diolok-olok layaknya tikus-tikus di got. Sungguh…dunia ini sudah benar-benar tidak layak untuk ditinggali oleh seorang imam yang suci. Karena itulah Allah yang Maha Bijak menyembunyikan Imam al-Mahdi, imam terakhir dan pembebas pamungkas umat manusia dalam pelukan-Nya di alam gaib. Beliau didekap-Nya dalam balutan cahaya rahmat, pengetahuan, kekeramatan dan kemampuan gaib.
Inilah Imam yang kelak bangkit untuk menindak dan membalas, memenuhi bumi manusia dengan keadilan dan kebenaran setelah dipenuhi dengan kelaliman dan kebejatan. Dalam banyak riwayat beliau diberi gelar al-Qâim, yakni seseorang yang bangkit untuk menegakkan keadilan dan kebenaran. Tugas beliau bukan lagi untuk mengajar atau menyampaikan kebenaran, melainkan menghakimi dan menindak tegas semua bentuk pelanggaran. Saat menafsir firman Allah: “Orang-orang yang berdosa dikenali melalui tanda-tanda mereka, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki-kaki mereka (untuk ditindak)” (QS 55:41), Imam Ja’far ash-Shadiq as. berkata: “Allah mengenali para durja itu dan memberitahu al-Qaim dan sahabat-sahabatnya tanda-tanda mereka untuk menindak mereka.” Di saat itulah terbentang keadilan, kemakmuran, kedamaian, kemerdekaan dalam arti yang hakiki, tanpa penindasan dan perbudakan dalam segala dimensinya. Dan inilah janji Allah seperti termaktub dalam QS surah ke-21 ayat 105; QS ke-24 ayat 55; QS ke-28 ayat ke-5.
Mohon terus pencerahan…
Salam… Saya usul ICC punya siaran streaming, utk mendekatkan.. umat yg secara fisik, jauh dari ICC.
Jadi umat yg tidak bisa hadir langsung , tetap bisa memantau segala kegiatan & program di ICC.
BRAVO WILAYATUL FAQIH