ICC Jakarta – Dosen Prodi Ilmu Alquran Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta, Dr. Hasani Ahmad Said, M.A dalam kunjungannya ke Iran selama dua pekan dan sempat mengikuti langsung efouria rakyat Iran merayakan peringatan hari kemenangan Revolusi Islam Iran pada 11 Februari lalu, berbagi cerita dan pengalaman.
Doktor terbaik UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 2011 tersebut menyebut kedatangannya pertama kali di Iran telah memberikan pengalaman yang sangat mengesankan. Melihat langsung Iran dan merasakan denyut nadi rakyat Iran dari dekat menurutnya sangat penting untuk membangun persepsi yang benar mengenai Iran.
Pengisi Kajian Serambi Islami TVRI dan Cahaya Hati ANTV tersebut menyayangkan masih adanya kelompok yang lebih disibukkan mencari titik perbedaan dalam tubuh umat Islam untuk diperselisihkan. Menurutnya, yang relevan dan perlu dilakukan umat Islam saat ini, adalah menggalang persatuan dan ukhuwah Islamiyah. “Persatuan, adalah kekuatan besar umat Islam yang ditakuti musuh-musuh Islam.” Tegasnya.
Berikut ini wawancara lengkapredaksi ABNA dengan Dr. Hasani Ahmad Said, M.A :
Apakah ini yang pertama kalinya ke Iran?
Betul, ini adalah kali pertama ke Iran, kesan pertama begitu menggoda.
Dalam rangka apa anda ke Iran dan berapa lama?
Dalam rangka short course selama 14 hari dari 30 Januari hingga 12 Februari 2018, kerjasama UIN Jakarta dengan Universitas Internasional al-Mustafa Qom Republik Islam Iran.
Kegiatan apa saja yang anda lakukan di Iran, mengunjungi kota apa saja dan siapa saja yang ditemui?
Selain program kuliah singkat yang padat mulai dari jam 8.30 sampai 12.00, kemudian dilanjutkan lagi dari pukul 15.00 sampai 18.00, juga ada studi luar dengan mengunjungi sejumlah tempat penting di Qom dan juga kota lainnya seperti Esfahan dan Tehran. Termasuk bersilaturahmi dengan beberapa Ayatullah Iran.
Materi-materi yang kami ikuti sangat menyenangkan, karena mengenai isu-isu kontemporer di dunia Islam, mulai pembahasan wilayatul fakih, politik demokrasi dunia Islam, perkembangan i’jaz Alquran termasuk beberapa isu penting ikhtilaf Sunni-Syiah. Penyajian materi-materi tersebut disertai diskusi yang hangat dan penuh canda membuat pikiran kami lebih terbuka mengenai Syiah yang selama ini dicitrakan negatif.
Apa ada perbedaan antara gambaran awal mengenai Iran sebelum dan sesudah melihat langsung Iran?
Iran dengan Syiahnya secara umum sering digambarkan dengan kesesatan, doyan nikah mut’ah, dan segudang kebusukan lainnya. Namun kami sebagai akademisi tentu tidak mudah terpengaruh dengan semua klaim itu. Khususnya bagi mereka yang pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi Islam. Syiah telah terbiasa kami diskusikan khususnya ketika mempelajari buku wajib karya Prof. Dr. Harun Nasution “Islam Ditinjau dari berbagai Aspeknya”, terbitan UI Press. Melalui buku ini sekte-sekte dalam Islam dibedah secara cermat dan tentu banyak pencerahan yang pada akhirnya tidak mudah mengkafirkan seseorang.
Dengan melihat langsung Iran, kesan-kesan yang seram tentang Iran dan Syiah secara otomatis luntur tatkala mendapat pencerahan dari para Ayatullah yang alim. Keramahan, kesantunan, dan kealiman para Ayatullah membuat terpukau, dalam setiap ceramah maupun sambutan awal kepada kami anda adalah saudara kami, Sunni adalah saudara kami dan kami tidak pernah membenci saudara kami dari Sunni, kendati ada saja segelintir orang sunni yang membenci kami sebagai Syiah.
Dari penjelasan mereka, di Iran meski secara umum mayoritas Syiah, namun terdapat sejumlah wilayah mayoritas Sunni. Sunni dan Syiah punya hak yang sama sebagai warga negara, termasuk hak di parlemen. Di Iran, tidak ada permusuhan dan kebencian yang disebabkan karena faktor perbedaan agama apalagi mazhab. Yang menjadi musuh bangsa Iran adalah kebijakan-kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat yang banyak merugikan umat Islam dan menguatkan eksistensi Zionis Israel.
Apa yang dikatakan para Ayatullah itu saya buktikan langsung dengan mata kepala sendiri. Termasuk ketika mengunjungi museum, perpustakaan dan peninggalan-peninggalan kebesaran peradaban Islam-Persia. Negara ini puluhan tahun diembargo Amerika Serikat namun tetap bisa bertahan dan menunjukkan kedigdayaannya dengan mengedepankan ajaran agama Islam.
Maka, saya menganjurkan kalau masih ada yang menilai negatif tentang Iran, bagus juga berkunjung ke Iran sebagai tempat destinasi wisata sambil mengenang sejarah kemajuan peradaban Islam Persia. Sambil jangan lupa menyempatkan ziarah ke tokoh-tokoh besar pemikir dan ilmuwan muslim terkemuka yang masyhur hingga hari ini semisal penulis Tafsir al-Mizan Thabathabai, Imam al-Ghazali, Ibnu Rusyd dan lain-lain.
Keberadaan anda di Iran bertepatan dengan peringatan hari kemenangan revolusi Islam Iran 1979. Apa yang anda ketahui mengenai revolusi tersebut dan pengaruhnya terhadap dunia Islam, serta bagaimana tanggapan dan kesan anda ketika ikut secara langsung melihat efouria rakyat Iran memperingati hari kemenangan revolusinya yang ke 39?
Revolusi Islam Iran bagi saya adalah satu gerakan revolusi yang menggetarkan dan menggemparkan yang masuk ke relung-relung jiwa anak bangsa Iran yang mempunyai jiwa nasionalisme, baik tua, muda sampai anak-anak. Hal ini terlihat ketika kami mengikuti langsung dan ikut merasakan gegap gempita semangat yang menggelora saat mereka merayakan peringatan kemenangan revolusi atas dasar panji Islam tahun 1979 lalu. Teriakan dari anak-anak sampai yang tua menggambarkan semangat menggelora yang sengata disengatkan dan ditularkan dari generasi ke generasi. Marg bar Amerika (kematian/kehancuran Amerika), marg bar Israil (kematian bagi Israel), teriakan model ini dari corong besar yang keluar dari pemimpin aksi diikuti oleh suara-suara pekikan anak kecil seusia 4 atau 5 tahun sampai usia senja dengan penuh semangat.
Keyakinan Rakyat Iran akan landasan Islam mampu menjadikan Iran maju secara ilmu pengetahuan dan teknologi juga peradaban. Selain itu, saya juga melihat kebencian akan Amerika dan Israel juga terus digelorakan.
Setelah melihat langsung kehidupan di Iran, apakah menurut anda Iran layak menyematkan diri sebagai republik Islam?
Setelah melihat langsung kehidupan masyarakat Iran yang sangat agamis tentu sebagai masyarakat muslim mengidamkan masyarakat yang agamis pula layaknya di Iran. Jangankan kami mau hanya sekedar menegur sapa dengan wanita Iran, melihatpun susah karena mereka sudah membentengi dengan kerudung panjangnya.
Tentu saja, yang kita inginkan di Indonesia adalah kehidupan keberIslaman yang sesuai dengan kultur Indonesia. Yang kita ambil dari Iran adalah semangatnya saja, dan ketika Iran bisa menjadikan Islam Syiah sebagai sumber inspirasi memajukan dan menjalankan negara, kenapa di Indonesia tidak bisa, dengan Islam Nusantaranya?.
Apa pengalaman yang anda rasakan ketika salat di masjid-masjid Iran atau melihat langsung amalan keagamaan rakyat Iran yang dalam beberapa hal sedikit berbeda dengan tradisi keagamaan yang berkembang di masyarakat muslim Indonesia?
Pengalaman saya ketika pertama kami salat bersama dengan masyarakat Iran yang nota bene nya Syiah tentu pertama agak kikuk dan kaku, namun seiring berjalannya waktu menjadi hal yang biasa. Berinteraksi dengan penganut Syiah sebenarnya bukan yang asing bagi saya. Sekitar sepuluh tahun lalu, saya pernah mengajar Alquran dan kajian agama kepada satu keluarga yang menyatakan diri sebagai penganut Syiah.
Di Iran, jangankan beda mazhab, antara Sunni-Syiah, beda agamapun mereka hidup berdampingan dengan harmonis. Sewaktu mengunjungi Esfahan, yang lebih plural daripada di Qom, saya temukan gereja-gereja tidak kalah megah dan besar dengan masjid-masjid yang ada. Sangat mudah ditemui di Esfahan perempuan-perempuan yang meski berkerudung namun berpenampilan modis, yang kemudian saya ketahui karena memang beragama non muslim, baik Kristiani ataupun Yahudi, sehingga memang tampak berbeda dengan perempuan Iran kebanyakan yang mengenakan jilbab panjang hitam.
Di Iran oleh aturan negara perempuan-perempuan dewasa wajib mengenakan kerudung di ruang-ruang publik, apapun agamanya. Ketika saya menanyakan kepada Sayyid Maliki, Mudir Jamiatul Mustafa di Esfahan mengenai fenomena tersebut, ia mengatakan, toleransi yang berkembang di Iran meskipun Islam menjadi dasar negara, membuat penganut-penganut agama lain tetap merasa aman, bahka meski diajak oleh Israel, kaum Yahudi di Iran tetap betah menetap di Iran. Mereka bahkan mengecam berdirinya Israel dan menyebutnya itu bid’ah dalam agama Yahudi.
Kembali mengenai tatacara salat yang memiliki sedikit perbedaan, menurut hemat saya tidak perlu dipersoalkan, karena masing-masing memiliki argumentasi yang digali dari Alquran dan Assunnah sesuai yang diyakini masing-masing. Diantara perbedaannya, salat berjamaah di Iran untuk dhuhur dan ashar serta untuk maghrib dan isya sering digabungkan. Sayapun selama di Iran melakukannya karena tradisi di Sunni, ketika safar maka salat bisa dijamak. Warga Iran ketika salat, sujud di atas turbah. Turbah adalah cetakan tanah yang dibuat untuk tempat sujud. Penganut Syiah meyakini kalau sujud harus diatas tanah, sebagaimana hadis Nabi. Jadi menurut keyakinan mereka, sujud diatas lempengan tanah tersebut adalah ejawantahan dari praktik Nabi. Saya sendiri, tidak memakainya selama salat di Iran, karena tidak terbiasa saja.
Menggunakannyapun tetap tidak masalah, sebab dalam keyakinan Sunni, itu tidak membatalkan salat. Perbedaan lainnya, Syiah qunut dalam setiap salatnya. Kalau di NU qunut hanya pada salat subuh, sementara di Syiah disetiap salatnya. Sayapun bercanda pada teman-teman, ternyata Syiah lebih NU dari orang-orang NU, sebab qunutnya lebih banyak he..he…
Pendeknya soal pemahaman keagamaan, semakin banyak baca, banyak ngaji, banyak mengkaji, banyak ilmu semakin luas toleransinya, tidak mudah menyalahkan apalagi memprovokasi. Dan model inilah yang dilakukan oleh para imam madzhab. Jangankan perbedaan fikih antara Sunni dan Syiah, dalam internal Sunni saja terdapat beberapa perbedaan amalan fikih.
Kesan dan gambaran bapak mengenai tradisi Qur’ani yang dilihat di Iran, aktivitas Qur’ani seperti apa yang dikembangkan di iran, apa benar warga Iran yang Syiah punya Alquran yang berbeda dengan Alquran yang selama ini dikenal?
Dari awal saya saya termasuk salah satu yang menaruh hati dan perhatian terhadap perkembangan dan penghormatan terhadap tradisi Alquran di Iran. Paling tidak lima belas tahunanini saya terkagum-kagum dengan pemghargaan dan penghormatan pemerintah Iran kepada para Qari dan penghafal Alquran.
Tradisi tilawah Alquran di Iran bisa dibilang sangat maju, dalam even-even musabaqah Internasional nama Iran masih menduduki rangking dunia. Dalam mengundang para qari-qari internasional, Iran termasuk yang sering mengadakan haflah haflah tilawatil Alquran. Telah banyak lahir qari-qari sekaliber internasional, misalnya Syekh Syakir Najd.
Selain itu, satu ketika ikut menyambut kedatangan tamu para qari dan hafidz-hafidz cilik dari Iran di Pusat Studi Alquran pimpinan Prof. Dr. M. Quraish Shihab, salah satu rahasia yang disampaikan oleh rombongan asal Iran yang sampai saat ini masih teringat adalah 15 menit sebelum pelajaran dimulai selalu didahului dengan pelajaran akhlak.
Jadi sangat tidak beralasan ada tuduhan Syiah punya Alquran sendiri dan tuduhan-tuduhan lain.
Dengan keberadaan saya di Iran selama 2 minggu, anggapan-anggapan ini terus saya buktikan, dan akhirnya saya berkesimpulan tuduhan ini tidak benar.
Paling tidak ada beberapa hal yang bisa menguatkan pandangan saya. Pertama, saya membaca langsung mushaf cetakan Iran, dari hasil bacaan itu saya tidak menemukan ada kejanggalan dengan mushafnya. Kedua, saya datang langsung ke percetakan Alquran di Iran, ternyata tidak saya temukan juga keganjilan sebagaimana sangkaan. Bahkan saya menemukan kertas yang di pakai untuk Alquran di Iran harus berlabel halal salah satunya yang digunakan adalah sertifikat halal MUI dan kertas impor dari Indonesia. Ketiga, ketika dalam forum diskusi juga sempat saya menanyakan langsung kepada orang Syiah di Iran, dan jawaban mereka tidak ada perbedaan dan tidak benar bahwa Syiah meyakini adanya tahrif (perubahan) dalam Alquran.
Pelajaran dan nilai penting apa yang menurut anda bisa diambil dari rakyat dan bangsa Iran terutama dalam pengembangan tradisi keilmuan, kehidupan bermasyarakat dan sebagainya yang bisa ditiru masyarakat Indonesia?
Nilai penting yang bisa diambil dari rakyat dan bangsa Iran tentu bak pepatah ambil baiknya, buang yang buruknya. Prinsip ini penting diterapkan, karena diyakini tidak semuanya baik semua atau sebaliknya tidak semua buruk.
Hal baik misalnya, dalam soal keilmuan saya kira kita perlu mencontoh Iran, tradisi keilmuan khususnya hauzah, model pesantren di Iran, seseorang dinilai alim dengan tingkatan derajat mujtahid, Ayatullah dengan penguasaan ratusan kitab dengan macam-macam keilmuannya dan dengan pakaian tersendiri yang mencirikan ustadz atau ulama. Sehingga, tidak ada muncul istilah ustadz karbitan, kiai gadungan dan lain sebagainya. Karena proses keilmuan dan standarisasinya jelas. Jubah dan surban tidak sembarang orang memakainya, kecuali orang alim yang telah diijazahkan. Yang mendakwahkan Islam melalui televisi, bukan orang yang asal bisa bicara, hapal hadis dan ayat sekadarnya. Di Indonesia, siapapun bisa mengenakan jubah ulama, bahkan bisa sampai tampil di televisi meskipun tanpa ilmu yang mumpuni. Ini jelas menipu diri sendiri dan juga masyarakat,
Hal positif lain yang bisa ditiru, adalah soal kemapaman dan kepercayaan diri bangsa. Kendati Iran di embargo, namun kemandirian dan ketaatannya pada ajaran Islam mampu menjadikan negara mereka digdaya dan mandiri.
Tanggapan anda dengan masih adanya kelompok-kelompok di Indonesia yang mengkampanyekan permusuhan dan kebencian pada Iran serta memberikan protetipe negatif terhadap rakyat muslim Iran yang mayoritas bermazhab Syiah?
Tanggapan saya tentang kelompok yang mengkampanyekan permusuhan dan kebencian kepada Iran, lebih lagi isu Sunni-Syiah, lebih baik dihentikan atas dasar persatuan Islam. Memperseterukan Sunni-Syiah adalah politik pecah belah. Kalau tidak dihentikan, maka benih-benih kebencian akan berubah menjadi bara api dan suatu saat akan meledak. Maka, bersatulah umat Islam, maka akan menggetarkan musuh-musuh Islam.
Menurut bapak apakah masih relevan saat ini memperselisihkan perbedaan Sunni-Syiah?
Tidak, Sangat tidak relevan lagi membenturkan Sunni-Syiah. Kalau ada perbedaan itu pasti. Jangankan berbeda mazhab, satu mazhab pun kalau mau mencari titik seteru pasti ada. Namun bukan itu yang kita kedepankan. Ukhuwah islamiyah adalah sebuah kenicyaaan. Dan sekali lagi ini kekuatan terbesar Islam yang ditakuti musuh-musuh Islam.
Apa pesan anda untuk mahasiswa Indonesia di Iran dan pesan untuk masyarakat muslim Indonesia secara umum khususnya berkenaan dengan perlunya umat Islam menjaga kerukunan baik internal umat islam maupun dengan umat agama lain?
Pesan saya untuk mahasiswa Indonesia yang di Iran, jadilah mahasiswa yang baik. Tidak perlu menjadi Syiah meski belajar di negara mayoritas Syiah. Bagi yang Syiah, teruslah menebar kasih sayang dan kemuliaan sebagaimana ajaran Islam dan Ahlulbait. Jangan gentar, jika disebut Syiah. Sebagaimana pesan Imam Syafi’i, andai karena mencintai Ahlulbait kita dituduh Syiah, maka tuduhlah aku Syiah.
Terimakasih atas waktunya.
Sama-sama. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Salam… Saya selalu haus dengan materi kajian berbasis Islam sejati , mohon icc bisa memenuhi hasrat sy yg sllu bergejolak tsb. Ilmu” 12 Imam suci as bagai samudera maha luas tak bertepi…..
Syukron..
Ahsan.. icc bisa membuat siaran streaming 24 jam nonstop..
Di tengah gempuran media” nawasib, publik negeri ini harus terus dicerahkan dg media” penetralisir. Yaitu media” berbasis 12 Imam as / Islam sejati.
Saya ingin sekali menjadi martir.. demi menyongsong kemunculan Al Mahdi Afs.