ICC Jakarta – The Founding Fathers, yang merintis Negara Kesatuan Republik Indonesia, sepertinya lahir mendahului zamannya. Sulit dibayangkan pemikiran sedemikian bijak lahir di masa itu. Padahal, mereka yang menjadi korban langsung dari ganasnya penjajahan. Mereka seperti tidak punya dendam sama sekali, mereka juga begitu lapang dadanya menerima perbedaan lalu diramu menjadi sebuah prinsip yang lebih popular dengan “Bhinneka Tunggal Ika”, bercerai berai, berbeda-beda tetapi tetap menjadi satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan satu sama lain.
Kelapangan dada The Founding Fathers bukan hanya di dalam menghadapi tantangan eksternal berupa rongrongan dari negara-negara yang tidak ingin melihat Indonesia bersatu. Akan tetapi yang tak kalah beratnya ialah tantangan internal, sesama para pejuang dan pahlawan bangsa. Sedemikian banyak tokoh merasa paling berjasa dan masing-masing merasa punya hak untuk memasukkan pikiran-pikirannya di dalam menciptakan Indonesia masa depan yang lebih konstruktif, tetapi satu-sama lain mereka penuh tenggang rasa, akhlak karimah, dan tawadhu’. Ini yang perlu diapresiasi oleh para generasi pelanjutnya. Sebagai contoh, meskipun berasal dari satu daerah, begitu tajam perbedaan pendapat antara Muhammad Yamin dan Muhammad Hatta, tetapi tetap tampil begitu kompak di depan publik. Bung Karno dengan segala kelebihannya tetap memberikan apresiasi kepada semua sahabat seperjuangannya, walaupun harus bersabar menjadi pendengar aktif selama berjam-jam. Ego lokal dan kedaerahan bisa diredam demi mewujudkan sebuah harapan: Indonesia Merdeka!
Para The Founding Fathers kita juga belajar dari generasi sebelumnya, terutama kearifan dan ketabahan Wali Songo di dalam mengemban misi suci agama yang dijalankannya. Tantangan Wali Songo tidak bisa dipandang enteng namun tak satu pun di antara mereka terekam pernah mengeluh dan meninggalkan misi perjuangannya. Mereka berpencar memainkan strategi da’wah mereka sehingga mereka semua meninggal di tempat yang berbeda. Demikian pula para muridnya, juga meninggal di hampir seluruh belahan bumi nusantara. Jika kita tarik ke belakang, perjuangan Wali Songo tidak seberapa jika dibanding dengan perjuangan Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya. Mereka bukan hanya menghadapi tantangan geografis yang sangat menantang di gurun pasir, tetapi nyawanya pun betul-betul menjadi ancaman. Hampir separuh sahabat dekat Nabi wafat di ujung senjata tajam di dalam membela panji-panji Islam yang diembannya.
Nabi Muhammad Saw bersama para sahabatnya, Wali Songo bersama para muridnya, dan The Founding Fathers cukuplah menjadi contoh dan guru perjuangan bagi warga bangsa Indonesia yang menginginkan martabat utama. Terwujudnya negeri damai, sejahtera, dan tenteram memang tidak gratis. Asal suatu generasi mau belajar dari generasi sebelumnya pasti mereka akan mencapai puncak sejarah yang mengharukan dan mengharumkan. Kita berharap, bumi Indonesia yang diwariskan oleh The Founding Fathers bisa kita pertahankan, kita rawat, dan kita kembangkan lebih baik seperti yang dicita-citakan mereka. Walaupun mereka tidak sempat menikmati buah kemerdekaan yang merenggut jiwanya tetapi di alam sana pasti tersenyum menyaksikan Indonesia yang sedang berkembang seperti sekarang ini. Akan tetapi sebaliknya mereka akan merasa tidak tenang di alamnya di sana seandainya warisannya ini disia-siakan apalagi diterlantarkan.
The Founding Fathers kita juga manusia biasa bahkan jauh lebih sederhana ketimbang kita sekarang. Mereka bekerja tanpa bantuan komputer dan alat komunikasi dan transportasi canggih, namun mereka memiliki keikhlasan di dalam berjuang maka hasilnya dahsyat. Indonesia merdeka. (Nasaruddin Umar – Imam Besar Masjid Istiqlal dan Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah)
nasaruddinumar.org