ICC Jakarta – Potensi penyebaran paham radikalisme dan ekstremisme di sekolah, karena faktor guru. Pasalnya, banyak sekolah di Tanah Air yang tidak memiliki guru agama. Akibatnya, pelajaran agama diajarkan oleh guru yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama.
“Peluang jadi radikal luas. Di sekolah oleh guru dan juga bisa melalui pengajian,” ujar Direktur Pendidikan Tinggi, IPTEK dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Amich Alhumami kepada Republika.co.id, di Jakarta, Kamis (9/11).
Di sisi lain, menurutnya, fenomena intoleransi dan radikalisme belakangan ini tak lain karena muatan politik. “Politik identitas berbasis agama banyak digunakan, dan itu power gate intinya. Paradoks di kalangan kelas pendidik, itu juga politik yang bekerja,” tegas dia.
.
Maka dari itu, ia pun tak heran ketika counter gerakan terjadi. “Misal 212 disebut intoleran, muncul gerakan kebinekaan, itu power gate, political contest,” ucapnya.
Sementara Dewan Direktur PPIM Jamhari Makruf menilai, keanekaragaman generasi Z terhadap perilaku intoleransi malah tidak terjadi pada anak bukan pengguna teknologi internet. “Mereka generasi Z ini banyak menggunakan teknologi canggih, sosial media, tapi tidak linear,” kata Jumhari.
Menurutnya, intoleransi marak terjadi dalam agama Islam terkait aliran baru. Seperti, pemeluk aliran Syiah dan Ahmadiyah. Dua aliran agama Islam ini paling tinggi menerima intoleransi dari sesama penganut Agama Islam.
“Itu realitas di masyarakat, Syiah dan Ahmadiyah itu memang ada, dan sudah menjadi kewajiban negara untuk tetap melindungi mereka. Karena, mereka juga bagian dari negara ini, mereka warga negara Indonesia (WNI),” lanjut dia. Maka dari itu, meski kasus intoleransi sesama pemeluk agama Islam banyak terjadi di pelbagai daerah, pendidikan agama secara formal harus tetap ada. [Republika]