ICC Jakarta – Lebih dari seribu tahun lamanya, secara langsung manusia lepas dari petunjuk dan didikan hujjatullah paling akhir di muka bumi ini.
Ketika manusia telah mengetahui bahwa Hujjatullah yang terakhir akan ghaib, maka terlintaslah sebuah pernyataan dibenak mereka, “Apa manfaat yang dapat dipetik dari seorang Imam yang dia sendiri dalam alam ghaib?.”
Pernyataan seperti itu pada dasarnya akan muncul dari seseorang yang tidak tahu atau kurang mengenal akan makam dan martabah Imamahitu sendiri. Sekalipun apabila kita mau sedikit membahas tentang kriteria-kriteria seorang Imam Ma’shum (Imam suci), maka secara otomatis pernyataan tersebut akan terjawab dengan sendirinya.
Tidak diragukan lagi bahwa hingga saat ini, Hujjatullah yang terkakhir itu masih berada dibalik tirai keghaiban. Dengan kepastian keghaiban Imam Mahdi As maka salah satu filsafat keberadaan dirinya adalah bahwa ia hidup dibalik tirai keghaiban (Imam ada akan tetapi ia harus ghaib) dan masyarakat akan jauh darinya. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa Imam Zaman As berlepas diri dari masyarakat, akan tetapi ia senantiasa memberi hidayah mereka melalui para dutanya. Berbeda ketika ia ada dan sudah muncul, dan jikalau demikian, maka ia akan terjun langsung dalam memberi hidayah masyarakat itu sendiri. Sehingga dengan demikian, maka pemerintahannyapun (Pemerintahan Al-Mahdi As) akan segera terwujud. Dengan berdirinya pemerintahan tersebut, maka keadilan akan dapat ditegakkan diseluruh muka bumi ini.
Melalui para dutanya, Imam Zaman As senantiasa memberi hidayah masyarakat ketika ia ghaib. Hal ini persis seperti halnya ketika kelak ia muncul kedunia ini. Pada waktu itu, ia akan memberikan wewenang kepada orang-orang yang dipilihnya untuk memberi hidayah masyarakat. Sehingga, apa yang akan mereka lakukan tersebut sejatinya sama dengan apa yang dikehendaki oleh Imam Zaman As. Hal itu karena mereka telah diangkat oleh Imam Zaman As untuk menjadi duta dan delegasinya.
Perbedaan antara masa munculnya Imam Mahdi As (‘Ashr Zhuhur) dengan masa keghaibannya (‘Ashr Ghaibah) adalah karena pada masa keghaiban Imam, masyarakat tidak dapat meminta petunjuk dan hidayah secara langsung. Sedangkan ketika ia muncul, mereka akan meminta petunjuk dan hidayah secara langsung. Selain itu, keghaiban Imam Mahdi As merupakan sebuah perkara yang jelas-jelas dinyatakan oleh Islam sebagaimana Rasulullah Saw sendiri telah menerangkan tentang hal itu.
Selain bertugas untuk memberi hidayah manusia secara ma’nawiyah, wujud (keberadaan) Imam Mahdi As juga merupakan sebuah rahmat dan kasih sayang Allah kepada makhluk-Nya. Bahkan, keberadaannya sangat dimembutuhkankan oleh alam semesta ini. Hal ini dikuatkan oleh beberapa riwayat yang disampaikan Nabi Saw beserta para Imam Suci Ahlulbait. Dari riwayat-riwayat itu dapat diambil kesimpulan bahwa bukan saja alam semesta ini menjadi ada berkat mereka, akan tetapi tanpa adanya salah satu dari mereka maka tidak mungkin alam semesta ini akan mampu langgeng dan abadi hingga sekarang.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa para Alim dan Ulama sebelumnya telah membuktikan akan keterikatan alam semesta ini kepada wujud (adanya) Imam. Mereka membuktikan hal ini setelah memaparkan dalil-dalil Aqli (Akal), Irfani (Irfan), dan Falsafi (Filsafat). Misalnya ketika kita mengetahui bahwa Nabi Saw adalah penerima wahyu, sementara beliau mengatakan bahwa alam semesta ini ada dan mampu bertahan dengan wujud (adanya) Imam, maka sesuai dengan akal, kitapun harus menerima apa yang diucapkannya tersebut. Hal itu karena akal telah mengatakan bahwa apa yang disampaikan Nabi adalah benar. Demikian juga bahwa akal mengatakan tidak ada ucapan yang lebih benar dari ucapan yang bersumber dari wahyu Ilahi tersebut[1].
Dalam banyak riwayat dijelaskan bahwa alam semesta ini berwujud dan menjadi ada lantaran adanya nur dan cahaya mereka terlebih dahulu. Sebagai contoh adalah apa yang disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada Ali As, “Wahai Ali! Sekiranya bukan karena kita (Ahlulbait), maka sungguh Allah Swt tidak akan menciptakan Adam dan Hawa, surga dan neraka, demikian juga langit dan bumi…[2]”
Tidak diragukan lagi bahwa alam semesta ini ketika diciptakan untuk yang pertama kalinya membutuhkan karunia dan kemurahan Allah. Oleh karena itu, demi kelangsungan hidupnya, ia secara otomatis masih tetap membutuhkan kepada karunia dan kemurahan Allah tersebut.
Sementara apabila kita tengok dalam beberapa riwayat, maka kita akan dapati bahwa Nabi Saw dan Ahlulbait yang disucikan adalah orang-orang yang berperan sebagai pelantara faidz ilahiah (karunia dan kemurahan Allah) antara Tuhan dengan makhluk-Nya.
Imam Shadiq As meriwayatkan dari ayahandanya, Imam As-Sajjad As yang bersabda, “Kami adalah pemimpin Umat Muslimin dan Hujjatullah yang ada dimuka bumi, pemberi kabar gembira bagi Kaum Mukminin, dan penghulu orang-orang beriman. Kami adalah pelindung bagi seluruh penghuni bumi sebagaimana bintang-bintang yang merupakan pelindung bagi langit. Dan lantaran kami, maka Allah Swt menjaga langit supaya tidak runtuh ke bumi…..[3]”
Dari riwayat tersebut telah nyata bagi kita bahwa bukan hanya manusia saja di alam semesta yang membutuhkan kepada karunia Allah Swt tersebut, akan tetapi seluruh makhluk hidup yang ada didalamnya juga memerlukannya.
Berkenaan dengan pentingnya keberadaan seorang Hujjatullah dimuka bumi, Imam Shadiq As bersabda, “Sekiranya Imam tidak ada dimuka bumi, sungguh bumi sudah runtuh.[4]”
Selain itu, Imam Shadiq As juga menjelaskan, “Lantaran kamilah pepohonan dan tumbuh-tumbuhan menghasilkan buah, buahpun kemudian dapat memberikan hasilnya, air yang ada di sungaipun menjadi mengalir. Dan lantaran kami pula awan di langit mampu menumpahkan air hujan, dan tumbuh-tumbuhan menjadi hidup. Dan lantaran ibadah-ibadah kami, Allah Swt disembah. Dan sekiranya kami tidak ada, sungguh Allah Swt juga tidak akan disembah.[5]”
Dari pembahasan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa demi kelangsungan hidup, maka semua makhluk yang ada di alam semesta membutuhkan dan tidak dapat lepas dari seorang Hujjatullah.
Yang perlu diperhatikankan adalah bahwa karunia yang diberikan oleh Allah Swt melalui para Hujjah-Nya tidak mengharuskan mereka harus menerima atau menolaknya. Akan tetapi, lantaran hanya karena wujud dan keberdaan mereka kemudian Allah Swt memberikan rahmat dan karunia-Nya kepada seluruh makhluk.
Oleh karena itu rahmat dan karunia Ilahi yang bersifat umum ini tidak hanya mencakup sebagian komunitas dari makhluk hidup saja, akan tetapi juga mencakup seluruh makhluk hidup yang ada di alam semesta. Hal ini berbeda dengan rahmat dan karunia Ilahi yang bersifat khusus, dimana karunia tersebut hanya akan sampai dan mencakup orang-orang yang mengetahui dan percaya kepada Imam Suci As saja.
Oleh karena itu, apabila Allah Swt menakdirkan bahwa rahmat dan karunia-Nya (entah yang bersifat umum maupun khusus) akan sampai kepada seluruh makhluk-Nya dengan perantara sang Imam, maka mau tidak mau seluruh apa yang ada di alam semesta membutuhkan dan menjadi terikat kepada sang Imam[6].
Tidak diragukan lagi bahwa semua kriteria-kriteria Imam Suci As yang telah disebutkan itu tidak memiliki kaitan dengan keharusan mereka untuk hadir ditengah-tengah masyarakat. Dimana dalam menyampaikan karunia dan rahmat Allah Swt tersebut, seorang Imam yang ghaib akan sama dengan Imam yang hadhir (ada). (Dars Nameh Mahdawiyat II, Khuda Murad Salimiyan) []
Catatan Kaki:
[1]. Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, Qum, Muassasah Al-Sayidah Al-Ma’shumah as, 1419 HQ ;Wabastegi-e Jahân be Imam-e Zamân as, Qum, Hadhrat Ma’shumeh, 1375 HS, hal. 7.
[2]. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, ‘UyûnAkhbâr al-Ridha, Teheran, Jahan, 1378 HS, jil. 1, hal. 262.
[3]. Muhammad bin Ali bin Husain bin Babawaih Shaduq, Kamâl al-DînwaTamâm al-Ni’mah, Qum, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1395 HQ, jil. 1, hal.207, hadis 22.
[4]. Muhammad bin Ya’qub Kulaini, Kâfi, Teheran, Darul Kutub Al-Islamiyah, 1365 HS, jil. 1, hal. 179, hadis 10.
[5]. Ibid, jil. 1, hal. 144, hadis 23.
[6]. Shafi Gulpaigani, Muntakhab al-Atsar, Qum, Muassasah Al-Sayidah Al-Ma’shumah As, 1419 HQ; Wabastegi-e Jahân be Imam-e Zamân As, Qum, Hadhrat Ma’shumeh, 1375 HS, hal. 37.