ICC Jakarta – Pada hakikatnya menjaga lingkup agama, keyakinan, akidah dan juga membela diri, keluarga dan nilai-nilai adalah jihad dan perjuangan. Perjuangan dan jihad adalah sebuah esensi natural dalam diri manusia. Manusia dengan akal sehat tidak akan mengijinkan dirinya atau orang lain terzalimi. Oleh karena itu, mereka yang terzalimi akan bangkit dan melawan.
Perjuangan seperti ini dalam Islam disebut sebagai bagian dari taklif agama dan perjuangan terbaik adalah jihad di jalan Allah Swt, di mana umat Muslim memperjuangkan nilai-nilai dan rela mengorbankan harta dan nyawanya demi menegakkan kebenaran. Jenis perang seperti ini adalah perjuangan yang wajib dan salah satu dari faridhah dalam agama Islam, yang telah ditekankan oleh para pemuka agama. Bahkan Imam Ali as dalam Nahjul Balaghah menyebut jihad sebagai salah satu di antara berbagai pintu sorga yang akan terbuka untuk hamba-hamba terpilih. Akan tetapi apakah jihad dalam Islam juga berlaku untuk kaum perempuan?
Dalam banyak ayat al-Quran telah disebutkan bahwa jihad dan perang tidak hanya untuk gender tertentu saja. Dalam fiqih Islam juga ditekankan bahwa jihad membela rakyat dan negara merupakan kewajiban bagi kaum laki-laki dan perempuan. Akan tetapi jika perang tidak dalam kondisi defensif, maka kewajiban tersebut terangkat dari pundak kaum perempuan. Meski demikian dalam Islam, jihad tidak hanya bertaut pada konflik yang dibarengi dengan pertumpahan darah saja. Sebagaimana Rasulullah Saw ketika dalam perjalanan pulang pasukan Islam dari medan perang beliau bersabda, “Bahagialah kalian yang telah melakukan jihad dan pertempuran kecil, akan tetapi jihad yang lebih besar tetap di pundak kalian.” Para sahabat kemudian bertanya, “Wahai Rasulullah! Apa itu jihad besar?” Rasulullah Saw menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu.”
Dalam hadis lain, Rasulullah Saw bersabda, “Perempuan memiliki jihad tanpa pertumpahan darah yaitu haji dan umrah.” Imam Ali as juga berkata bahwa jihad seorang perempuan adalah menjadi istri yang baik, bersabar menghadapi gangguan dan cobaan yang dipaksakan kepadanya oleh kehidupan berumahtangga.” Semua hadis tersebut dalam rangka menunjukkan amalan dan kesantunan Islam yang menjadi prioritas bagi seorang Muslimah.
Dalam sejarah disebutkan bahwa pada suatu hari, Asma’ binti Yazid Ansari, mendatangi Rasulullah Saw sebagai juru bicara kaum perempuan dan berkata, “Wahai Rasulullah, Allah telah mengutusmu untuk memberikan hidayah kepada kaum laki-laki dan perempuan, dan kami beriman kepada Tuhan Pencipta alam semesta. Akan tetapi semua keutamaan dan pahala jihad serta pengorbanan di jalan Allah Swt, hanya diwajibkan untuk kaum laki-laki bahwa jika mereka mati di jalan dan iman-Nya maka mereka akan mati sebagai syahid. Namun kami kaum perempuan yang melakukan pekerjaan di rumah dan mengurus anak-anak ketika suami-suami kami pergi ke medan perang, apakah kami juga berbagi pahala dalam jihad mereka?” Rasulullah Saw menjawab,”Sungguh pertanyaan yang bagus! Sampaikan dariku kepada para perempuan, bahwa pelaksanaan tugas di rumah dan mendidik anak serta menjadi istri yang baik, merupakan jihad di jalan Allah Swt.”
Kaum Muslimah telah membuktikan bahwa ketika menghadapi serangan musuh, maka mereka akan bangkit mengangkat senjata bersama-sama dengan kaum laki-laki untuk membela akidah dan tanah air mereka. Sebagai contoh, Sayyidah Fatimah as, memiliki peran yang sangat besar dalam menghibur dan memberi semangat kepada Rasulullah Saw dan juga suaminya Imam Ali as, dalam menghadapi para musuh dan kaum kufar. Contoh lainnya adalah Sayyidah Zainab Kubro as, cucu Rasulullah Saw, yang berjuang dalam menyampaikan pesan kebangkitan dan pengorbanan Imam Husein as bersama para sahabatnya di padang Karbala. [Jihad Muslimah dalam Perspektif Islam/Irib Indonesia)