ICC Jakarta – Peristiwa al-Ghadir menurut keyakinan Syiah adalah perisitwa penting sejaarh yang menjelaskan tentang diangkatnya Imam Ali berdasarkan wahyu. Ayat-ayat tabligh dan ayat ikmaluddin menjelaskan dengan jelas tentang hal ini. Namun karena imannya yang kurang dan adanya kecondongan-kecondongan kepada dunia dan pengikutan hawa nafsu diantara sebagian sahabat menyebabkan penjelasan Nabi pada 18 Dzulhijah tahun ke-10 H itu cepat terlupakan, bahkan banyak kejadian-kejadian pahit yang harus dirasakan oleh keluarga Ahlul Bait As. Untuk mengetahui sebab-sebab cepat terlupanya peristiwa sejarah atas peristiwa al-Ghadir dan meskipun begitu namun Imam Ali dijadikan tokoh tauladan, bahkan tidak hanya oleh kalangan Syiah saja, berikut ini adalah bagian dari wawancara dengan Ayatullah Tahriri, Direktur Hauzah Ilmiyah Marwi yang dikutip dari laman Raja News.
Terlepas dari pentingnya peristiwa al-Ghadir dan fakta bahwa Nabi menginstruksikan kepada khalayak untuk berhenti di lembah al-Ghadir selama tiga hari dan memberi hujah kepada mereka atas ayat itu diturunkan, namun mengapa kejadian ini terlupakan dalam sejarah ?
Permasalahan ini merupakan permasalahan yang penting dalam peristiwa al-Ghadir. Menurut para mufasir dan sejarawan, haji tahun itu adalah haji terakhir Nabi Muhammad Saw. Nabi tidak pernah pergi haji bersama-sama dengan kaum muslimin. Terdapat banyak tempat-tempat yang menjadi rukun-rukun dalam haji seperti Arafah, Mina yang menjadi tempat berkumpulnya orang-orang. Namun, di tempat-tempat ini Nabi tidak mengangkat permasalahan kepemimpinan Imam Imam Ali As. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hal ini, Nabi Saw ingin memberi pelajaran bahwa apa yang disampaikan Nabi di Ghadir Khum adalah perkara yang sangat penting dan urgen.
Dalam al-Quran, dinyatakan bahwa “Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang-orang kafir”. Alasan kekhawatiran nabi atas tabligh ini adalah kenyataan bahwa banyak orang-orang yang tidak akan menerima pesan al-Ghadir ini. Kekhawatiran nabi disebabkan terutama karena masih banyak orang-orang yang belum memiliki keimanan secara sempurna.
Pada zaman itu beberapa orang yang datang kepada Nabi dan mengatakan bahwa kami percaya kepada Anda namun berikan kepada kami untuk mengurus masalah suksesi. Nabi berkata bahwa kepemimpinan bukan dariku, melainkan dari Allah yang telah menentukan.
Manusia karena memiliki dimensi keduniawian menyebabkan ia terjauhkan dari sisi-sisi ke-Ilahiyan. Pada zaman nabi, terdapat orang-orang yang memiliki iman yang kuat dan mengimani semua yang disampaikan oleh Nabi namun ada pula orang-orang yang belum memiliki keimanan yang kuat hal ini bisa dilihat dari adanya ayat-ayat yang menjelaskan tentang sifat-sifat kaum munafik misalnya pada ayat-ayat surah taubah. Hal ini menunjukkan bahwa keimanan sebagian sahabat nabi pada masa itu tidak murni.
Imam Ali tidak hanya milik Syiah saja, namun ia adalah tokoh yang diakui oleh dunia, para penganut agama Kristen dan agama-agama lain juga menjadikannya sebagai tauladan dan panutan bagi mereka. Apakah yang menyebabkan kedudukan mulia ini?
Imam Ali As adalah tokoh yang memiliki kepribadian sempurna. Ia adalah seorang abid dan setelah nabi tidak ada orang yang bisa mencapai kedudukan sepertinya. Di keluarganya ia adalah orang yang paling sayang terhadap keluarganya, meskipun ia adalah pemimpin namun ia dalam rumahnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah. Ia adalah seseorang yang memiliki iman dan kepercayaan yang sangat tinggi. Ketika beliau dibandingkan dengan manusia-manusia lainnya, kita akan melihat bahwa orang lain ketika diancam akan ketakutan namun beliau adalah pribadi yang kokoh dan kuat pendiriannya. Ketika beliau berada di puncak kekuasaannya, ia tetap beriman kepada alam ghaib sehingga riwayat ” Ali bersama hak dan hak bersama ali juga Ali bersama al-Qur’an dan al-Qur’an bersama Ali” sangatlah tepat ketika dinisbatkan kepadanya.
Pemilik kepribadian sempurna ini ketika berbicara maka semua pembicaraannya berisi penuh dengan nasehat. Ketika Dhu’lab, salah seorang oratur ulung bertanya kepada Ali: Hai Ali apa kamu melihat Tuhan ketika kau sedang menyembahnya? Ali As menjawab: Aku tidak menyembah Tuhan yang tidak aku lihat. Pada saat itu kemudian Ali menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan. Pada akhir pertanyaannya, ia berkata aku tidak akan lagi mengulangi kesalahanku. Ibnu Abil Hadid berkata bahwa musuh datang dan tidak memberi kesempatan fadhilah Imam Ali As terkuak. [SZ]
Sumber: rajanews.com