ICC Jakarta – Masjid Pintu Seribu yang berada kampung Bayur, Priuk Jaya, Jatiuwung, Kabupaten Tangerang, Banten pada masa dahulu merupakan pusat penyebaran agama Islam di ujung barat Pulau Jawa. Maka tak heran, potensi wisata Banten di era modern begitu di dominasi wisata religi.
Masjid ini dinamakan Masjid Seribu Pintu karena tidak ada yang tahu berapa jumlah sebenarnya pintu masjid ini. Bahkan, pengelola masjid pun tidak tahu persis berapa jumlah pintu yang ada. Karena mereka tidak pernah menghitung jumlah pintu yang ada di masjid itu. Masjid pintu seribu ini, didirikan tahun 1978 oleh almarhum Syekh Al-Bakhir Mahdi seorang warga keturunan Arab yang warga sekitar menyebutnya dengan Al-Faqir. Semua pembiayaan pembangunan dia tanggung sendiri, Al-Fakir meninggal pada tanggal 1 Ramadhan 2012 lalu. Selanjutnya, kepengurusan masjid berpintu seribu ini dilanjutkan oleh keempat putra almarhum, yakni Khairul Zaman, Khainul Yakin, Fatwa Paku Alam, dan Khairullah. Sebagai penghormatan, warga sekitar memberinya gelar Mahdi Hasan Al-Qudratillah Al-Muqoddam.
Tidak ada disain dasar yang bisa menampilkan corak arsitektur tertentu. Ada pintu-pintu gerbang yang sangat ornamental mengikuti ciri arsitektur zaman Baroque, tetapi ada juga yang bahkan sangat mirip dengan arsitektur Maya dan Aztec.
Sekarang, bangunan Masjid ini sudah mencapai luas sekitar satu hektar. Diharapkan akan semakin banyak warga kampung mewakafkan tanahnya untuk memperluas bangunan Masjid di masa datang.
Di beberapa pintu, tampak ornamen dengan angka 999. Menurut Pak Karim, salah seorang pengurus, angka itu merupakan simbolisasi Asma Allah. Di antara pintu-pintu Masjid terdapat banyak lorong sempit dan gelap yang menyerupai labirin. Di ujung lorong ada beberapa ruang berukuran sekitar 4×3 meter persegi. Ruang-ruang diberi nama, antara lain, Fathulqorib, Tanbihul-Algofilin, Safinatul-Jannah, Fatimah, dan lain-lain.
Salah satu ruang bawah tanah itu ada yang agak luas. Di sini terdapat sebuah tasbih super besar dari kayu. Garis tengah masing-masing butir tasbihnya sekitar 10 cm. Atau sekitar kepalan orang dewasa. Ruang ini biasa dipakai Al Faqir untuk berzikir.
Biasanya, pemandu sengaja mematikan lampu di ruangan itu, dan mengajak yang hadir untuk membayangkan saat-saat di alam kubur yang begitu sempit, pengap, dan gelap. Kemudian ia mengajak berdoa bersama dalam keheningan dan kegelapan. Semua lorong-lorong itu akhirnya menuju sebuah ruang terbuka yang mirip stadion sepakbola. Di tempat inilah dilakukan shalat berjamaah.