ICC Jakarta – Berpuasa Ramadhan di Macau, Hongkong agak berbeda dari berpuasa di Indonesia khususnya Jakarta. Suhu udara di sini baik pagi, siang, maupun malam, tetaplah panas dan terasa lembab. Wajar saja karena memang sedang musim panas.
Saya mulai memahami mengapa warga di sini senang memakai kaos dan celana pendek. Pada pagi dan malam hari bisa mencapai 29 derajat celcius dan siang mencapai 33 derajat celcius, sepanjang hari bisa dirasakan kelembaban dan hangatnya udara. Baju yang menyerap keringat menjadi favorit di sini.
Bulan-bulan Hijriyah memang dinamakan sesuai dengan iklim, situasi dan tradisi yang terjadi pada masyarakat Arab kala itu. Muharram artinya diharamkan, karena pada saat itu tidak dibenarkan terjadi pertumpahan darah. Safar, berarti nol atau kosong, pada saat itu kaum lelaki mengosongkan Mekah untuk berperang, atau perang menyebabkan kosongnya harta dan jiwa.
Ramadhan sendiri berasal dari akar kata ‘ramadho’ yang berarti membakar, dimana pada saat itu iklimnya sangat panas. Ini juga bisa memberi harapan bahwa dosa-dosa yang pernah kita lakukan akan terbakar habis karena pertobatan tulus yang kita lakukan di bulan ini.
Melalui panasnya Ramadhan kita diuji dan diminta memilih skala prioritas dan berdimensi jangka panjang, dimana kita bisa saja makan dan minum di saat teriknya matahari serta berleha-leha dalam panasnya yang membara. Tapi kita memilih untuk berpuasa menjalankan titah-Nya. Di sini kita belajar agar jangan hanya memilih sesuatu yang mengantar kita pada kenikmatan yang sesaat, padahal berdampak buruk di kemudian hari atau di hari kemudian (hari kiamat).
Bulan Ramadhan bukan hanya menuntut kita untuk ber-shiyam di siang hari tapi juga ber-qiyam di malam hari. Bulan Ramadhan melatih kita agar bisa memanfaatkan waktu sebaik-baiknya. Jadi ungkapan “tidurnya orang yang berpuasa ialah ibadah, kuranglah tepat.”
Bukankah justru Fathu Makkah, Perang Badar, dan Pembebasan Andaluasia terjadi di bulan yang mulia ini, untuk konteks Indonesia kita perlu bersyukur karena pada bulan ini pula kita merdeka. Semoga kita bisa meningkatkan diri lebih baik lagi dan semakin produktif (lebih banyak) sama seperti makna Syawal. Aamiin. Saepuloh, pendakwah anggota Tim Inti Dakwah dan Media (TIDIM) LDNU yang ditugaskan ke Macau.
Sumber: NU Online