ICC Jakarta – Di tengah kesulitan yang sedang menimpa bangsa kita sekarang ini, ada baiknya kita simak satu riwayat yang mengajarkan kepada kita untuk mendahulukan orang lain dibanding diri kita sendiri (itsar). Pada satu ketika ada tiga orang sahabat Nabi saw sedang berada di medan peperangan melawan orang-orang kuffar. Ketiga sahabat Nabi saw itu terkena anak panah yang terhujam di tubuhnya. Salah seorang di antara mereka terkena panah pada bagian leher, seorang lagi terkena pada bagian dada dan yang satu lagi pada bagian paha. Tiba-tiba ada seorang sahabat lain datang dengan membawa secawan air menghampiri mereka bertiga yang sedang dalam kesakitan yang amat sangat dan mendekati sakratul maut.
Pada saat itu lah suatu persaudaran sejati yang diikat tali akidah tauhid terlihat. Betapa dalam keadaan yang sedang sulit sekalipun mereka saling memperhatikan sesamanya. Begitu minuman itu sampai di orang yang pertama ia pun menolaknya, dan seraya mengatakan, “Berikanlah air kepada sahabatku, karena ia kesakitan.” Ketika orang yang kedua hendak minum air, ia teringat sahabatnya dan menolak minuman itu seraya berkata, “Berikanlah air kepada sahabatku yang lain, karena ia kesakitan.” Demikian pula dengan orang yang ketiga, ia pun menolaknya. Pada akhimya mereka bertiga meninggal dunia. Sampai sedemikian rupa sifat itsar yang mereka miliki.
Begitulah sifat itsar yang terpelihara dalam diri sahabat Nabi saw. Sifat ini amat relevan jika diterapkan pada keadaan kita sekarang ini. Di saat harga-harga yang membumbung tinggi yang telah menyesakkan dada masyarakat miskin. Kita saksikan pula di media massa, jutaan orang yang tidak dapat hidup layak di tengah kekayaan negeri ini. Para nelayan tidak bisa lagi melaut karena tidak mampu lagi membeli solar yang harganya demikian tinggi. Para pedagang menaikkan harga barangnya sehingga masyarakat makin sulit membelinya. Dalam situasi seperti ini sifat itsar menjadi penting kita lakukan. Bukan malah kita menunjukkan ketidaksederhanaan, dengan pesta-pesta mahal di tengah himpitan kemiskinan masyarakat. Sungguh kata Nabi saw, “Bukan termasuk golonganku barangsiapa yang tidak mementingkan yang lain.”
Jadi di tengah kesulitan hidup ini, tidak pantaslah kita menunjukkan kesenangan di hadapan penderitaan orang lain. Pernah pada suatu hari menantu Rasulullah saw yang bernama Ali bin Abi Thalib as bekerja menimba air dari sumur yang sangat dalam dengan mendapat upah tiga biji kurma dan sebungkus nasi yang cukup untuk dimakan sekeluarga. Istri beliau, Fatimah as amat gembira tatkala melihat Ali bin Abi Thalib pulang dari bekerja dengan membawa makanan. Fatimah as segera memanggil kedua putranya untuk makan bersama, tiba-tiba di depan pintu ada seorang pengemis sedang mengetuk pintu. Fatimah as membuka pintu dan Ali bin Abi Thalib memberikan sebungkus nasi itu kepada pengemis.
Begitulah pendidikan yang beliau terapkan dalam keluarga yang bersumber dari didikan Rasulullah saw. Tentu kita pernah mendengar tentang kisah hijrah Rasulullah saw bersama para sahabatnya dari Mekkah ke Madinah, dan muncullah istilah Muhajirin dan Anshar, ketika kaum Muhajirin sampai di kota Madinah disambut dengan lapang dada oleh kaum Anshar. Setelah dipersaudarakan antara Muhajirin dan Anshar, kemudian mereka kaum Anshar memberikan sesuatu yang tidak dimiliki oleh kaum Muhajirin, seperti hewan, pakaian bahkan tempat tinggal. Rasulullah saw bersabda, “Antara Muslim yang satu dengan yang lain adalah bersaudara bagaikan satu bangunan yang saling menopang satu sama lain.”
Memang untuk menjalani sifat itsar ini amat sulit. Sayyid Abdullah Subar, yang terkenal dengan karyanya yang begitu banyak dan bermutu pernah menulis tentang akhlak yakni mengenai bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap sesama Muslim. Ini penting sekali karena ternyata ibadah, katakanlah semacam puasa, semacam haji dan lain sebagainya, yang begitu dijunjung tinggi oleh syariah, ternyata perlakuan kepada sesama Muslim juga tidak kalah hebatnya dijunjung tinggi oleh Islam.
Menurutnya ada hak-hak yang mesti dipenuhi, dalam kehidupan masyarakat, dalam bermuamalah dan juga dalam persahabatan terhadap sesama saudara seiman. Ia merujuk pada satu hadis yang menyebutkan, “Mukmin itu saudara Mukmin, satu ayah dan satu ibu. Walaupun tidak dilahirkan oleh ibunya, tidak dilahirkan oleh ayahnya, tapi dia adalah saudaranya.” Kelanjutan dari hadis itu mengatakan, “Terkutuklah orang yang menuduh saudaranya.” Kemudian, “Terkutuklah orang yang menipu saudaranya.” Kemudian berikutnya, “Terkutuklah orang yang mengumpat, yang menggunjing saudaranya.” Dan yang terakhir, “Terkutuklah orang yang tidak mau menasihati saudaranya.”
Sayyid Abdullah menyebutkan bahwa ada tiga tingkatan yang semuanya itu baik dalam menjalin persaudaraan dengan sesama Muslim. Tingkatan yang rendah, tingkatan menengah, dan tingkatan tinggi. Yang paling rendah adalah bahwa kita menganggap saudara kita ini, bagaikan khadim kita, bagaikan pelayan kita atau bahkan bagaikan abid kita, bagaikan budak kita atau hamba sahaya kita. Berarti kalau kita anggap dia sebagai pelayan kita, mesti kita cukupi keperluannya tanpa dia harus meminta.
Sebagaimana kita memperlakukan pelayan kita, makannya mesti kita perhatikan, pakaiannya mesti kita perhatikan. Bahkan seorang Muslim yang baik itu jangan sampai pembantunya makannya berbeda dengan majikannya. Memang begitulah akhlak Islam. Jangan majikannya kalau makan beras yang harganya Rp 3500,00, pembantunya dikasih yang harganya Rp 2000,00 saja misalnya. Ini pun sudah diangggap tercela. Namun, kalau kebutuhan ini sudah dipenuhi, itu sudah suatu akhlak yang baik. Jadi, itulah sikap pertama yang paling rendah.
Sedangkan pada tingkatan kedua, kita anggap saudara kita ini bagaikan diri kita sendiri. Apa yang membuat kita senang, kita usahakan kita berikan juga kepada dia supaya dia senang. Ini berat sekali, apa yang kita pakai kita berikan juga kepada saudara kita supaya memakainya pula. Bukan sebagai pelayan lagi tapi bagaikan diri kita sendiri. Ini saja rasanya sudah mustahil, padahal ini baru tingkatan kedua.
Tingkatan ketiga, kita anggap saudara kita lebih penting daripada kita sendiri. Ini yang dikatakan sebagai itsar, yakni lebih mementingkan orang lain daripada dirinya sendiri walaupun kita sangat memerlukan. Mungkin orang-orang seperti Nabi dan Wali Allah saja yang bisa itsar. Orang-orang yang sudah menjadikan itsar itu jadi malakah, ini dijamin menjadi wali Allah Swt. Kalau betul-betul ikhlas dia memiliki sifat itsar dan sudah kokoh dalam jiwanya.
Dalam hadis juga dikatakan, Imam Khomeini pun menukil hadis ini dalam kitab Tahrir Al-Wasilah, “Ada golongan manusia yang bakal mendapat perlindungan dari Allah Swt, perlindungan dari ‘Arasy Allah pada hari yang tidak ada perlindungan, kecuali dari Allah Swt.” Ia adalah seorang yang menikahkan saudaranya sesama Muslim. Ini pahalanya besar sekali. Dan juga orang yang meladeninya, melayaninya dengan baik, khidmat kepada sesama Muslim. Apalagi kepada orang tua, guru, dan lebih-lebih para ulama, kalau ingin mendapat taufik dari Allah Swt. Jangan segan-segan untuk berkhidmat, untuk menjadi pelayan bagi sesama saudaranya.