ICC Jakarta – Amru bainal Amrain adalah sebuah terminologi ilmu kalam dan merupakan keyakinan khas kalangan madzhab Imamiyyah dalam masalah determinisme dan kehendak bebas (ikhtiar) manusia. Ajaran ini berhadapan dengan dua pandangan determinisme (jabr) dan pendelegasian (tafwidh) dan memaparkan bahwa dalam perbuatan-perbuatan manusia yang bersifat ikhtiar, baik kehendak Allah Swt maupun kehendak manusia sama-sama memiliki pengaruh kepada manusia.
Yang dimaksud dengan dua perkara (amrain) adalah determinisme (jabr) dan pendelegasian (tafwidh). Menurut teori determinisme, kehendak bebas manusia tidak berpengaruh dalam perbuatan-perbuatannya dan tindakan-tindakannya tak terelakkan serta berada di luar kendali dan ikhtiarnya sedangkan menurut teori pendelegasian, kehendak bebas manusia berefek dalam perbuatan-perbuatannya dalam segala sisi dan kekuatan Allah tidak berpengaruh di dalamnya, melainkan Tuhan hanya menciptakan manusia dan kekuatannya.
Teori amru bainal amrain menolak kedua teori ini dan menyatakan bahwa dalam perbuatan-perbuatan ikhtiar manusia, baik kehendak Tuhan maupun kehendak manusia sama-sama berpengaruh dan kedua iradah atau kehendak ini berurutan secara vertikal; inilah hakikat ikhtiar manusia dalam setiap tindakan.
Teori ini didukung oleh para filosof dan teolog madzhab Syiah Imamiyyah. Maturidiyyah dan Thahawiyah juga menerima teori ini.
Sebagian teolog Asy’ariah juga menerima teori ini kendatipun mereka tidak memakai istilah ini.
Ayat-ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang teori amru bainal Amrain:
- QS Al-Fatihah ayat 5
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ”
Ayat ini tidak sesuai dengan keyakinan pada determinisme; sebab jika pencipta perbuatan-perbuatan kita adalah Allah Swt dan kehendak kita tidak berpengaruh di dalamnya, maka ketika kita menisbahkan ibadah (penghambaan) kepada diri kita dan kita mengatakan, “na’budu” (aku beribadah/menghamba)”; sebagaimana ayat tersebut tidak selaras dengan akidah pendelegasian (tafwidh) yang didasarkan pada tiadanya campur tangan Tuhan dalam perbuatan-perbuatan hamba; karena permohonan bantuan atau “nasta’in” (pertolongan) kepada yang tidak punya pengaruh atas terjadinya perbuatan adalah tidak bermakna.
- QS al-Anfal ayat 17
فَلَمْ تَقْتُلُوهُمْ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ قَتَلَهُمْ وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَـٰكِنَّ اللَّـهَ رَمَىٰ
“Maka (sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, melainkan Allah yang membunuh mereka, dan bukan engkau yang melempar ketika engkau melempar, tetapi Allah yang melempar…”.
Ayat ini pada awalnya membuktikan perbuatan “membunuh” dan “melempar” dengan kata-kata “taqtuluhum” dan “ramaita” bagi orang-orang Mukmin serta Nabi Muhammad Saw dan kemudian setelah itu menafikannya dari mereka dan hanya menisbahkannya kepada Tuhan. Penafian dan pembuktian ini bukan dari satu sisi; sebab hal itu bisa bermakna ungkapan yang kontradiksi, melainkan menafikan ketidakbergantungan orang-orang Mukmin dan Nabi Saw dalam perbuatan-perbuatan mereka, namun membuktikan bahwa mereka dalam perbuatan ini punya pengaruh dan campur tangan. Inilah yang disebut dengan amru bainal amrain.
- QS al-Najm ayat 39
وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ
”Dan bahwa manusia hanya memperoleh apa yang diusahakannya”
Ayat ini pada dasarnya untuk menolak akidah determinisme (jabr)
Pada sekelompok ayat lainnya, izin dan kehendak Tuhan dinyatakan berefek dan berpengaruh serta menentukan dalam setiap perbuatan:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّـهِ
“Dan kami tidak mengutus seorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan izin Allah…[ QS al Nisa : 64]
Dan ayat ini untuk menolak teori pendelegasian (tafwidh).
Oleh itu kombinasi dan gabungan keduanya adalah bahwa Allah Swt memberikan ikhtiar dan kehendak kepada hamba-hamba-Nya, namun ikhtiar dan kehendak ini berurutan secara vertikal dengan kehendak Ilahi.