ICC Jakarta – Hari ini adalah hari kelahiran Fatimah, buah cinta dua sosok insan yang mulia, Rasulullah Saw dan istrinya, Khadijah (as). Atas kehendak Allah, saat melahirkan putrinya ini, Khadijah dibantu oleh beberapa wanita yang didatangkan Allah dari surga. Bayi yang mulia itupun dimandikan dengan air telaga Kautsar lalu dibalut di sehelai kain yang menebar aroma lebih wangi dari kesturi. Atas perintah Allah, Nabi Saw memberinya nama Fatimah. Bagi beliau, kelahiran Fatimah meniupkan angin sejuk surgawi sementara bagi sang ibu putri ini adalah hadiah pemberian Allah yang telah mengusir segala kegundahan dan kesedihan dari hatinya.
Ahmad bin Khalil Jum’ah, dalam bukunya berjudul ‘Nisaau Ahlil Bait ‘ menulis demikian;
“Setiap kali keutamaan ditempatkan dalam satu keranjang yang diiringi dengan semerbak aroma yang wangi murni, maka nama yang layak diberikan kepadanya adalah Fatimah Zahra. Bagaimana mungkin orang bisa menuliskan semua keutamaan dan kemuliaan Penghulu Wanita Surga dalam satu buku? Ketika ingin membaca keutamaan Fatimah Zahra dan mengambil manfaat dari wewangi segar sirah dan kisah hidupnya, aku menemukan diriku berada di sebuah taman yang menebar kesegaran, indah dan penuh berkah, yang tak mungkin jiwa manusia merasa letih atau hati merasa jenuh karenanya. Di taman itu aku menyaksikan seluruh sifat-sifat mulia dan istana-istana indah yang dibangun oleh Fatimah dengan keutamaan dan keagungannya.”
Suatu hari Rasulullah Saw memanggil Fatimah dan bersabda, “Putriku, Ali, anak pamanmu datang meminangmu. Bersediakah engkau menikah dengannya?” Fatimah berdiam tersipu dan nampak keringat membasahi dahinya. Dengan kepala menunduk dia berkata, “Apa pendapat ayah?” Nabi Saw menjawab, “Allah telah mengizinkannya.” Fatimah dengan tetap menundukkan kepala menjawab, “Aku ridha dengan apa yang diridhai oleh Allah dan RasulNya.”
Persiapan sederhana untuk membangun rumah tanggapun disiapkan. Malam pernikahan, Fatimah dibawa menghadap Nabi Saw. Utusan Allah itu membuka tabir penutup kepala putrinya supaya Ali, sang mempelai pria dapat melihat wajah istrinya. Lalu Nabi meletakkan tangan Fatimah di tangan Ali dan bersabda, “Wahai Ali, Fatimah adalah istri yang baik untukmu.” Kepada Fatimah, Nabi bersabda, “Putriku, Ali adalah sebaik-baik suami.” Demikianlah kisah ringkas dari pernikahan Fatimah dan Ali. Mereka tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana namun penuh keceriaan dan kasih sayang.
Fatimah (as) adalah poros bagi kehidupan rumah tangga dan keluarga yang baik dan ideal. Siapa saja yang menengok ke rumah ini dapat menjadikannya sebagai teladan untuk membangun sebuah kehidupan yang terhormat dan indah. Hal yang paling menonjol dalam kehidupan Fatimah adalah kemampuannya menghubungkan kehidupan individu, sosial dan keluarga. Beliau pun tampil sebagai sosok pekerja keras, rela berkorban dan pejuang sejati.
Salah satu keistimewaan rumah tangga beliau adalah ketiadaan kebodohan di dalamnya. Rumah yang seperti ini tentu mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan. Dengan kata lain, seluruh anggota keluarga Fatimah adalah sosok-sosok manusia yang mendapat anugerah kesempurnaan akal. Kesan pertama dan utamanya adalah penghambaan kepada Allah menjadi landasan paling mendasar dalam hubungan di antara mereka. Ibu rumah tangga di keluarga ini adalah sosok wanita yang tenggelam dalam cinta Ilahi kala beribadah dan bermunajat dengan Allah. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa putra dari wanita suci ini berkata, “Setiap kali ibuku selesai beribadah beliau nampak dikelilingi oleh cahaya yang terang benderang.”
Dalam doanya, Fatimah (as) berkata, “Ya Allah, berilah kesempatan kepadaku untuk mengerjakan apa saja yang karenanya Engkau menciptakanku dan jangan Engkau sibukkan aku dengan hal-hal selain itu.” (Bihar al-Anwar: 92/ 402)
Dalam kehidupan rumah tangganya dengan Ali bin Abi Thalib (as), tak ada tanda-tanda yang mengarah kepada persaingan dan egoisme di antara mereka. Keduanya sama-sama memikul tanggung jawab yang besar. Sebagai ayah yang bijak, Rasulullah Saw mengusulkan pembagian tugas di antara putri dan menantunya, dan diputuskan pekerjaan rumah menjadi tanggung jawab Fatimah dan tugas di luar dipikulkan ke pundak Ali. Fatimah mengungkapkan perasaannya tentang pembagian tugas ini dan mengatakan, “Selain Allah, tak ada yang mengetahui kegembiraanku dengan pembagian tugas ini. Sebab, Rasulullah telah mencegahku melakukan apa yang menjadi pekerjaan orang laki-laki.” (Bihar al-Anwar: 43/ 81)
Fatimah tahu benar bahwa perempuan tidak wajib melakukan pekerjaan rumah dan suamipun tidak berhak menyamakan istrinya dengan pembantu. Akan tetapi kehangatan hubungan, pengorbanan, keakraban dan pemahaman yang benar tentang kehidupan akan meringankan beban menanggung kesulitan hidup. Di rumah yang sederhana, Fatimah (as) telah mendidik anak-anaknya yang oleh sejarah diakui sebagai manusia-manusia terbaik. Beliau bersama dengan suaminya menempatkan diri sebagai teladan bagi anak-anak mereka. Kepada putra sulungnya, Hasan, Fatimah pernah berkata, “Hasan anakku, jadilah engkau seperti ayahmu, belalah kebenaran, sembahlah Allah, Tuhan yang Maha Pengasih dan Pemberi kebaikan, dan janganlah engkau bergaul dengan orang-orang pendendam.”
Fatimah adalah sosok wanita dengan kefakiran yang menjadi tetangga terdekatnya. Meski secara materi hidup dalam kesusahan, namun hal itu tak pernah mampu menundukkan kebesaran jiwanya sebagai orang yang dermawan. Ibnu Syahr Asyub berkata;
Suatu hari Ali bertanya kepada Fatimah, adakah sesuatu yang bisa dimakan di rumah? Fatimah menjawab, “Demi Allah, sudah dua hari ini aku dan anak-anakku menahan lapar.” Alipun terkejut dan berkata, “Mengapa engkau tidak memberitahuku supaya aku bisa menyediakan sesuatu untuk kalian?” Fatimah menjawab, “Aku malu kepada Allah untuk meminta sesuatu darimu yang tidak bisa kau penuhi.” Ali segera meninggalkan rumah dan meminjam uang satu dinar dari seseorang untuk membeli keperluan rumah. Di tengah jalan, beliau berpapasan dengan seorang sahabat yang terlihat pucat dan kebingungan. Beliau bertanya, “Apa yang membuatmu gelisah seperti ini?” Dia menjawab, “Aku tak mampu mendengar suara tangis anak-anakku yang kelaparan.” Mendengar itu, Ali menyerahkan uang satu dinar tadi kepada orang tersebut.
Kemuliaan dan keagungan Fatimah diakui oleh semua orang. Wanita muslimah sepanjang sejarah mesti menjadikan putri Nabi ini sebagai teladan dalam kehidupan individu, sosial dan keluarganya. Beliau adalah sosok wanita yang bijaksana dalam bersikap, sopan dalam bertutur kata, santun dalam beretika, dan aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Beliau selalu peduli dengan kondisi orang-orang di sekitarnya. Setiap kali bertemu dengan para wanita muslimah, beliau memberikan bimbingan dan ajaran kepada mereka seperti yang diterimanya dari ayah beliau. Fatimah juga dikenal sebagai pejuang sejati dalam membela kebenaran.
Ketegaran dan Kegigihan Sayidah Fatimah as
Umat Islam adalah kelompok agama terbesar kedua di dunia dengan jumlah satu setengah miliar jiwa yang tersebar di berbagai negara di lima benua. Menurut data yang ada, jumlah umat Islam di dunia semakin bertambah dari hari ke hari. Hal itu terjadi karena cepat dan luasnya media informasi telah membantu banyak orang di berbagai penjuru dunia mengenal agama dan pemikiran Islam.
Di zaman ini dan seiring dengan perkembangan dunia baru kebutuhan akan peran aktif dan kehadiran wanita muslimah di tengah masyarakat semakin terasa. Sebab, wanita Muslimah adalah kelompok yang besar dari dunia Islam. Kaum wanita muslimah dapat terlibat dan hadir di tengah masyarakat dengan keimanan dan keyakinannya akan nilai-nilai luhur yang diajarkan Islam. Untuk itu wanita muslimah memerlukan sosok figur teladan yang menunjukkan apa yang semestinya dilakukan muslimah saat berkiprah di tengah kehidupan sosial.
Fatimah Az-Zahra, putri Nabi Muhammad Saw adalah sosok wanita teladan dalam Islam yang menjadi manifestasi dari keagungan ajaran agama Ilahi ini dan peran yang mesti dijalani oleh kaum perempuan. Sejak putrinya ini lahir, Nabi Saw memperlakukannya dengan hormat dan cinta untuk mengenalkan kepada umat dan dunia akan kedudukan tinggi kaum Hawa. Beliau mengubah tradisi buruk kaumnya di zaman jahiliyah yang tidak memberi tempat apapun bagi kaum perempuan. Nabi mengenalkan umatnya akan keistimewaan yang ada pada perempuan dan perannya dalam pendidikan, kehidupan politik dan masyarakat.
Kehidupan Fatimah (as) dimulai di sebuah rumah yang menjadi basis perjuangan melawan kekafiran dan kemusyrikan. Saat dewasa, Fatimah menjadi pendamping setia sang ayah, Rasulullah Saw dan suaminya, Ali (as) yang berada di front tempur melawan barisan musuh-musuh Allah. Sejak masih kanak-kanak, beliau telah mengerti benar makna perjuangan dan pengorbanan bahkan ikut merasakan derita dan kesulitannya. Fatimah tumbuh besar di pangkuan ayahnya yang memikul risalah dan misi yang sangat agung dari Allah untuk manusia sejagat. Saat masih kanak-kanak, Fatimah bersama ayah, ibu, sanak keluarga dan para pengikut Islam diboikot oleh kaum Quresy di sebuah lembah bernama Syi’ib Abu Thalib. Mereka berada di sana selama tiga tahun dalam penderitaan. Pengalaman itulah yang membuat Fatimah tumbuh menjadi sosok wanita yang tegar menghadapi segala macam kesulitan di masa mendatang.
Di awal-awal masa kenabian, salah satu tugas terpenting para pengikut ajaran dan risalah Islam adalah melindungi jiwa Nabi Muhammad Saw dari gangguan kaum kafir. Sejak mengumumkan risalahnya secara terbuka sampai hijrah ke kota Madinah, Nabi Saw selalu menjadi sasaran gangguan kaum kafir. Para pembesar Quresy, bahkan ada salah satu paman beliau, mendorong orang-orang untuk menyakiti Nabi. Tak jarang mereka sendiri ikut terlibat secara langsung dalam mengganggu Rasulullah Saw. Saat itu, Fatimah masih berusia kanak-kanak.
Diceritakan bahwa suatu hari orang-orang kafir menumpahkan abu ke kepala Rasulullah Saw. Tiba di rumah, Fatimah yang menyaksikan kondisi ayahnya seperti itu tak mampu menahan diri. Butir-butir bening segera memenuhi kelopak matanya. Dengan lembut ia membersihkan kepala dan wajah sang ayah dari kotoran dan abu yang menempel. Kepada putri kesayangannya itu, Nabi Sae mengajarkan ketegaran hati dan bersabda, “Putriku! Jangan engkau bersedih dan jangan pula menangis. Sebab, Allah akan selalu melindungi ayahmu.”
Diriwayatkan pula bahwa suatu ketika Nabi Saw sedang bersujud di Masjidul Haram. Mendadak sekelompok orang suruhan Abu Jahal sengaja menjatuhkan perut besar kambing di atas kepala beliau. Berita itu sampai ke telinga Fatimah. Gadis itupun bergegas pergi ke Masjidul Haram. Dengan tangannya yang mungil ia memungut perut besar kambing itu dari sang ayah. Dengan tatapan yang tajam dan lisannya yang fasih Fatimah mengutuk Abu Jahal dan orang-orangnya.
Semakin hari, tekanan kaum kafir terhadap Nabi Saw semakin meningkat. Hari demi hari, Fatimah semakin mengenal berbagai dimensi dari sebuah perjuangan suci, ketegaran dan kegigihan. Sampai akhirnya Nabi Saw hijrah ke kota Madinah setelah gangguan dan siksaan kaum kafir sudah memuncak. Hijrah atau perpindahan dari kota Mekah ke Madinah bukan pekerjaan yang mudah. Sebab, setiap orang yang hijrah harus melewati bahaya dan perjalanan yang sulit. Fatimah pun hijrah ke Madinah bersama dengan beberapa orang perempuan. Rombongan kecil itu dipandu oleh Ali bin Abi Thalib (as) dan bergerak ke Madinah melewati padang sahara dengan terik mataharinya yang menyengat.
Setelah menikah dengan Ali (as), Fatimah menyadari benar tugas yang diemban oleh suaminya dalam perjuangan menegakkan agama Allah. Setiap tahunnya, terjadi beberapa peperangan antara kaum muslimin dan kaum kafir. Di sebagian besar front tempur itu, saat Nabi menyertai, Ali ikut mendampingi beliau berperang untuk membela agama Ilahi. Untuk setiap misi ini, Ali terpaksa harus meninggalkan rumah dan keluarganya. Fatimah (as) selalu menjadi pendamping setia dan pelipur lara bagi sang suami. Sekembalinya dari jihad dan pekerjaan dan tiba di rumah, Fatimah menyambutnya dengan setia dan mendorongnya untuk tetap berjuang di jalan Allah.
Fatimah juga aktif membantu keluarga para pejuang dan syuhada. Beliau juga masuk ke barisan para penolong yang merawat pejuang yang terluka di medan perang. Di perang Uhud, ketika melihat ayahnya terluka, beliau membersihkan darah dari wajah sang ayah dan merawat lukanya. Diriwayatkan, saat terjadi perang Khandaq, Fatimah pergi ke front tempur untuk menemui Rasulullah dan mengantarkan roti. Nabi bertanya mengapa engkau datang kemari? Fatimah menjawab, “Ayahku, aku yang membuat roti ini. Hatiku tak kuasa untuk tidak membawanya kemari dan memberikannya kepadamu.” Nabi pun bersabda, “Ini adalah makanan pertama yang masuk ke mulutku sejak tiga hari lalu.”
Seluruh lembaran hidup Fatimah (as) dipenuhi oleh perjuangan dan resistensi dalam membela kebenaran. Setelah Rasulullah wafat, Fatimah (as) tetap melanjutkan perjuangan ini dengan mengingatkan umat akan bahaya penyimpangan dari jalan yang lurus. Dalam perjuangannya, putri Nabi ini tidak pernah mengharapkan harta, kekayaan, pangkat dan nama. Yang beliau harap hanyalah ridha Allah dan keterjagaan Islam dari penyimpangan dan bid’ah. Riwayat sejarah menyebutkan kisah dialog Fatimah (as) dengan sebagian orang. Dua khutbah beliau yang disampaikan di masjid Nabawi dan di depan kaum perempuan termasuk kelompok khotbah yang terabadikan karena keindahan bahasa dan kedalaman maknanya.
Kaum muslimah di zaman ini adalah kelompok dari tubuh umat Islam yang aktif dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan. Mereka tak tertinggal dari kafilah kaum pria dalam perjuangan dan keterlibatan dalam berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan. New York Times melaporkan, di seluruh bagian di dunia Islam, dari utara Afrika dan Timur Tengah hingga Asia tenggara kelompok-kelompok wanita dengan budaya yang beragam namun satu dalam keimanan dan kepercayaan agama yang kuat tengah membentuk gerakan yang besar.”
Dalam perjalanan ini tak dipungkiri bahwa kaum wanita muslimah memerlukan figur teladan. Fatimah (as) adalah sosok wanita paling sempurna yang bisa menjadi teladan bagi mereka. Semoga dengan adanya figur teladan yang agung ini dan mengenal Islam lebih mendalam, kaum wanita muslimah dapat memainkan peran yang lebih besar dan berkesan di berbagai bidang.
~ Milad Mubarak Fatimah Zahra ~