ICC Jakarta – Sebagian besar pemuda Indonesia menolak adanya kelompok radikal yang berkedok agama untuk melakukan tindak kekerasan. Hal tersebut yang dipaparkan dalam hasil survey International NGO Forum On Indonesian Development (INFID) bekerja sama dengan jaringan GUSDURian kepada 1200 responden, di 6 kota besar Indonesia pada bulan September hingga November 2016.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid saat menjadi keynote speaker dalam acara Seminar “Surabaya Outlook 2017: Menolak Intoleransi, Melawan Radikalisme” dan Sosialisasi Hasil Riset Jaringan GUSDURian di Aula Prof Soetandyo Gedung C Fisip Kampus B Universitas Airlangga, Senin (16/1/2017).
“Selain itu, saat ini Indonesia tengah disorot dunia karena intoleran yang bisa berpengaruh pada perdamaian global yang sering di tunjukkan dalam seputar informasi dan media sosialnya,” papar Alissa Wahid.
Ia mengungkapkan, meski saat ini Indonesia sedang dilanda Islamphobia, namun juga masih diperlukan sebagai negara yang berkeberagaman termasuk juga agamanya.
“Kami harus dapat menunjukkan walaupun mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, namun masih dapat mempertahankan perdamaian dan keberagaman.” ungkap putri pertama dari mantan presiden RI ke-4 ini.
Seputar survey, dijelaskannya bahwa menerapkan beberapa wacana yang mayoritasnya di lakukan terhadap generasi muda yang berumur 15-30 tahun.
“Pertama, merekam persepsi anak muda terhadap radikalisasi agama dan ekstrimisme dengan kekerasan melalui survei. Kedua, mengetahui narasi besar ekstrimisme, memahami pesan-pesan kunci ekstrimisme, dan mengetahui pola penyebaran pesan ekstimisme melalui pemetaan internet dan media sosial,” urainya.
Sementara itu, tambahnya ada pula generasi muda yang setuju atas kelompok agama yang menggunakan kekerasan namun tidak banyak.
“Yang setuju hanya 3,8 persen, sisanya 8 persen tidak tahu dan tidak menjawab. hal ini yang mencerminkan kesimpulan dari hasil survey bahwa masyoritas anak muda tidak menyukai tindak radikalisme untuk berkembang di Indonesia,” tutupnya.
Selain itu, Kapolrestabes Surabaya, Kombes Mohammad Iqbal yang juga menerangkan bahwa sosial media dimanfaatkan sebagai sarana provokasi dan penyebaran berita hoax untuk memecah belah persatuan bangsa.
“Saya mengajak masyarakat agar tidak percaya sepenuhnya pada informasi yang berkembang di media sosial. Karena perlu diteliti dulu, karene banyak yang hoax atau strategi dari kelompok-kelompok intoleran untuk memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa kita,” ujarnya.
Ia juga berjanji akan memproses hukum sesuai dengan tindak pidana yang ada, jika telah terbukti menyebar berita hoax, yang mengakibatkan pelanggaran hukum.
“Para penyebar hoax Akan kami proses hukum, jika kuat bukti dalam melakukan pelanggaran hukum, kami tanggapi tegas tentang itu,” kata mantan Kabid Humas Polda Metro Jaya ini.
Untuk menangkalnya, tambahnya. tengah melakukan cara preventif di seluruh kota pahlawan ini dengan menggandeng seluruh masyarakat agar bisa menjembataninya.
“Cara pencegahan berkembangna intoleran, radikalisme dan terorisme melalui media sosial. yakni mengenalkan ilmu pengetahuan dengan baik dan benar, sehingga dapat diimplementasi dalam sikap kehidupan sehari-hari,” perwira menengah tiga melati dipundaknya.
Selain itu, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, serta mendukung aksi perdamaian di wiliyah dinasnya, ia selalu mengingatkan masyarakaat dengan empat konsensus dasar negara.
Sumber: Berita Jatim