ICC Jakarta – Sejak 500 tahun lalu, yakni di era Safawiyah dimana wacana pemerintah-rakyat memiliki arti baru di Iran, negara Iran secara bertahap menjadi perhatian kekuatan dunia.
Pentingnya strategis Iran dan perluasan hubungan internasional saat ini, menyebabkan masalah kebijakan luar negeri Iran melampaui ranah perdamaian dan perang dengan tetangganya dan untuk membangun semacam hubungan antara kebijakan luar negeri Iran dan sistem internasional.
Interaksi ini menyebar ke tingkat yang jauh lebih tinggi dari sekitar dua ratus tahun yang lalu, selama periode Qajar. Pada saat ini, kedua kekuatan, Rusia dan Inggris, bersaing ketat untuk mendapatkan posisi yang baik di Iran, dan pemerintah Iran yang lemah pada saat itu mencoba untuk mencapai keseimbangan positif antara kedua negara adidaya dan membuat pihak-pihak puas dengan memberikan beberapa konsesi untuk kedua negara menjaga keamanan dan stabilitas politik mereka.
Pengaruh dan intervensi orang asing, khususnya pemerintah Rusia dan Inggris selama periode Qajar, sedemikian rupa sehingga konfrontasi dengan orang asing dan memperoleh kemerdekaan secara bertahap menjadi salah satu tuntutan terpenting rakyat dalam Revolusi Konstitusi, dan tuntutan ini di tahun-tahun berikutnya, terutama di tahun-tahun setelahnya, Perang Dunia I menjadi lebih menonjol. Saat itu, meskipun kebijakan netralitas yang dianut oleh pemerintah Iran, negara tersebut juga menjadi mangsa api perang dengan campur tangan negara-negara yang terlibat dalam perang dunia ini, dan akibat dari perang dunia tersebut tidak lain adalah meluasnya kelaparan, waba dan masalah ekonomi yang parah dan ketidakstabilan politik bagi pemerintah dan rakyat Iran.
Pada tahun-tahun setelah Perang Dunia II, karena terbentuknya sistem bipolar dan pembentukan sistem keseimbangan baru dalam sistem internasional yang dikenal sebagai Perang Dingin, hampir semua negara dipaksa untuk bergabung dengan salah satu dari dua blok Barat dan Timur dipimpin oleh Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun pada puncak perjuangan anti kolonial di dunia, sejumlah negara Asia dan Afrika memutuskan untuk menempuh kebijakan merdeka dalam hubungan internasional untuk membebaskan diri dari ketergantungan pada blok Timur dan Barat serta kemerdekaan dari Amerika Serikat dan Soviet. Untuk itu pada April 1955 digelar Konferensi pertama negara-negara Asia dan Afrika untuk mendirikan gerakan non blok baru di Bandung, Indonesia.
Konferensi tersebut perwakilan dari negara-negara yang berpartisipasi memberi penghargaan kepada Dr. Mohammad Mossadegh, pemimpin sah pemerintah Iran, yang membuat marah Inggris karena mengejar nasionalisasi industri minyak negaranya dan digulingkan oleh kudeta gabungan AS-Inggris pada tahun 1953, sebagai pelopor kebijakan non blok di dunia ketiga dan perjuangannya melawan pemerintahan kolonial.
Pada konferensi lain di Beograd pada September 1961, Gerakan Non-Blok mengadopsi kebijakan neraca negatif Dr. Mohammad Mossadegh, yang telah diadopsi dan diterapkan selama tahun-tahun nasionalisasi industri minyak dan perjuangan melawan Inggris. Dengan mengadopsi kebijakan keseimbangan negatif, Perdana Menteri Iran mampu mengakhiri intervensi negara-negara kuat di Iran dan memberikan model praktis non-komitmen dalam dunia bipolar kepada para pecinta kemerdekaan di dunia.
Apa yang digulirkan di Revolusi Islam Iran di bawah slogan tidak timur dan tidak Barat, terlepas dari ajaran agama dan al-Quran serta penenakannya untuk tidak bergantung serta menolak hegemoni, dari sisi sejarah dan politik memiliki akar pada kebijakan keseimbangan negatif yang digulirkan di era nasionalisasi minyak dan kemudian menjadi teladan negara-negara anggota Gerakan Non-Blok.Kebijakan keseimbangan negatif berarti kemerdekaan negara dari campur tangan kekuatan asing.Kekuatan asing juga termasuk semua kekuatan yang ingin mencegah perkembangan politik, ekonomi, sosial dan budaya masyarakat dengan menciptakan hubungan yang hegemonik dan tidak setara.
Bangsa Iran percaya bahwa kemerdekaan nasional dan tidak campur tangan orang asing dalam urusan internal negara adalah hak alami dan tidak dapat dicabut dari semua bangsa dan tidak bersedia menarik diri dari hak yang tidak dapat dicabut ini dengan biaya berapa pun, mengingat pengalaman sejarah yang tidak menyenangkan dari intervensi Rusia dan Inggris di Iran. Kebijakan keseimbangan negatif memandang semua kekuatan asing dengan satu mata dan menolak keras prinsip pembebasan dari Barat dengan mengorbankan ketergantungan pada Timur. Hal ini serupa dengan kebijakan yang telah ditempuh oleh pemerintah Iran dalam waktu yang singkat, pada masa kepresidenan Mirza Taghi Khan Farahani atau Amirkabir, dengan perbedaan bahwa tidak ada ketergantungan pada kekuatan ketiga dalam kebijakan keseimbangan negatif, tapi dukungan kebijakan ini adalah kesadaran dan dukungan rakyat.
Meskipun kebijakan keseimbangan negatif pemerintah sah Iran dalam perjuangan nasionalisasi industri minyak menjadi model bagi banyak negara tertindas untuk memperoleh kemerdekaan dan mengadopsi kebijakan non-blok antara blok Timur dan Barat, tetapi dengan kudeta Amerika dan Inggris tahun 1953, tiran Shah Iran yang menganggap keberlangsungan kekuasaannya berhutang pada Washington secara resmi menjadi anggota blok Barat dan dengan memberi konsesi ekonomi, politik dan hukum yang besar kepada Amerika dan menjalin penrjanjian militer serta keamanan dengan negara ini, Iran berubah menjadi negara boneka Amerika.
Shah dengan bersandar pada dukungan AS dan mempertimbangkan pendapatan minyak yang kaya dan peralatan militer dan keamanan canggih yang dia beli dari Amerika Serikat, telah membuat atmosfer dalam negeri penuh dengan ketakutan. Pemerintahan despotik Reza Shah Pahlevi selain menghancurkan idependensi negara dan bergantung pada pemerintahan Barat khususnya AS, juga menghapus kebebasan politik serta sipil warga serta mengubah pemerintahan konstitusional menjadi monarki mutlak dan despotik di mana kubu oposisi langsung ditindas serta tidak ada ijin bagi siapapun untuk mengkritik atau menentang pemerintah.
Di kondisi seperti ini, Revolusi Islam Iran yang dipimpin Imam Khomenini dibentuk untuk menghidupkan independensi dan kebebasan bangsa Iran. Dengan slogan tidak Timur dan tida Barat, Imam Khomeini berhasil mengubah independensi sebagai salah satu poros utama wacana Revolusi Islam dan menjadikannya sebagai dasar kebijakan luar negeri Republik Islam.
Ayatullah Sayid Mahmoud Taliqani, kuran dari satu bulan setelah kemenangan Revolusi Islam di sebuah acara memperingati wafatnya Dr. Mohammad Mossadegh menyebutkan, “Dr. Mossadegh seperti seorang dokter profesional, menekan jarinya ke titik sakit dan mengatakan kita harus netral di dunia timur dan barat. Dia menyebutkan tesis non blok, tesis yang dikejar oleh Gamal Abdul Nasser dan Nehru dan Soekarno.” Kemudian sikap Imam Khomeini dalam menjelaskan kebijakan menjadi landasan bagi kebijakan luar negeri Iran dan dicatat di konstitusi di mana dijelaskan di pasal 152 untuk menolak segala hegemoni dan dominasi, mempertahankan kemerdekaan penuh dan integritas wilayah negara, membela hak-hak semua Muslim dan tidak memihak kekuatan-kekuatan yang mendominasi dan menjalin hubungan timbal balik yang damai dengan negara-negara non-kombatan.
Prinsip ini dan slogan tidak timur dan tidak barat yang menjadi acuan dari kebijakan kementerian luar negeri Iran, mengindikasikan independensi negara di tingkat internasional dan penolakan terhadap hegemoni serta ketergantungan terhadap negara lain, khususnya kekuatan timur dan barat, tapi tidak berarti penolakan hubungan positif dengan seluruh negara dan berdasarkan prinsip saling menghormati. Dengan kata lain, tujuan final dari implementasi prinsip tidak timur dan tidak barat adalah penolakan terhadap hegemoni asing, bukan melemahkan akar hubungan dengan seluruh negara.
Dengan landasan ini, Republik Islam Iran selain mempertahankan independensinya dari Barat dan Timur, senantiasa berusaha menjalin hubungan baik dengan negara lain. Pendekatan ini juga tetap dilanjutkan di era Ayatullah Khamenei dan menjadi landasan kebijakan luar negeri Iran selama 30 tahun kepemimpinan beliau. Terkait hal ini, Ayatullah Khamenei mengatakan, “Garis utama kebijakan luar negeri Iran, di mana prinsip mendasarnya adalah tidak timur dan tidak barat, tidak pernah mengalami perubahan dan tidak akan pernah…Prinsip tidak timur dan tidak barat artinya tidak menyerah pada ketamakan kubu arogan dan melawan secara serius penyerang kepentingan umat Islam.”
Sumber: Parstoday