
ICC Jakarta – Apa yang dimaksud dengan agama dan apa makna dari agama itu? Dalam bahasa Arab agama biasa disebut dengan kata din. Kata din dalam bahasa Arab diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata agama. Tetapi secara bahasa kata din berarti ketaatan dan balasan, karena itu kita melihat dalam Alquran al-Karim surah al-Fatihah Allah Swt berfirman Māliki yaumid-dīn, Yang memiliki hari Pembalasan. Di saat Allah menyebut Māliki yaumid-dīn dan menyebut hari kiamat sebagai hari Pembalasan, di situlah semua perbuatan yang baik ataupun yang buruk akan dibalas.
Secara istilah kata din berarti adalah keimanan kepada pencipta alam dan pencipta manusia, dan juga keimanan kepada ajaran-ajaran atau tugas-tugas yang harus dijalankan orang sesuai dengan keimanan dia. Kemudian ada sebutan tentang mutadayyin yaitu orang yang taat beragama. Siapakah orang yang taat beragama? Siapakah orang yang beragama itu? Orang yang beragama adalah orang yang meyakini adanya pencipta untuk alam semesta ini. Orang yang meyakini akan adanya tugas-tugas yang diemban oleh manusia dalam kehidupan di dunia ini.
Ada pula istilah yang disebut dengan istilah ateis, yaitu istilah untuk menyebut orang yang tidak mengimani adanya Tuhan yang menciptakan alam ini. Kemudian agama dibagi menjadi dua bagian. Ada yang disebut dengan ushul atau pokok-pokok agama dan ada yang disebut dengan furu’ yaitu cabang-cabang agama. Yang disebut sebagai ushul atau pokok-pokok agama adalah keyakinan dan keimanan, sementara yang disebut dengan furu’ adalah yang berhubungan dengan hukum-hukum yang telah diturunkan dalam agama, atau dengan ungkapan lain akidah merupakan sesuatu yang wajib dimiliki oleh orang, sementara yang disebut dengan furu’ adalah sesuatu yang harus dilakukan atau yang berhubungan dengan amal perbuatan seseorang.
Kemudian yang menjadikan pertanyaan berikut adalah sejarah agama. Kapan agama itu muncul? Mengenai sejarah agama, kita yakini bahwa agama pertama kali muncul dalam kehidupan manusia sejalan dengan manusia pertama yaitu Adam as. Dengan kata lain, agama pertama kali berada di muka bumi seiring dengan keberadaan manusia di muka bumi. Karena manusia pertama yang menginjakkan kakinya di bumi ini adalah nabi Allah Adam as dan Adam adalah seorang nabi, utusan Allah yang mengajak kepada tauhid. Hal berikutnya yang ingin kami sampaikan adalah bahwa agama-agama samawi yaitu agama-agama yang dibawa oleh para nabi semuanya memiliki kesamaan dalam tiga hal. Pertama, keimanan kepada Allah; kedua adalah keimanan kepada diutus-Nya manusia-manusia sebagai Rasul; dan yang ketiga adalah keimanan tentang hari kiamat.
Tiga Asas Iman
Ketiga ushul tadi, yaitu keimanan kepada Allah, keimanan kepada rasul, dan keimanan kepada hari kiamat adalah jawaban atas tiga pertanyaan yang ada pada setiap manusia. Setiap manusia pada dirinya menyimpan tiga pertanyaan dan selalu menuntut jawaban atas ketiga pertanyaan tersebut. Yang pertama adalah siapa yang menciptakan alam ini? Dari mana kita berada? Mengapa kita berada di tempat ini? Siapa yang mendatangkan kita kemari?
Pertanyaan kedua adalah apa saya tercipta hanya untuk kehidupan beberapa hari atau beberapa tahun di dunia ini lalu saya akan mati dan selesai sejarah kehidupan saya, ataukah setelah ini ada kehidupan yang lain setelah ini? Apakah saya akan mendapatkan kehidupan yang baik ataukah kehidupan yang tidak baik di alam sana?
Pertanyaan ketiga, jika memang ada kehidupan yang berikutnya, apa yang harus saya lakukan di kehidupan ini supaya kehidupan berikutnya menjadi kehidupan yang baik? Artinya, adakah aturan-aturan yang harus saya taati dan saya turuti sehingga saya memiliki kehidupan yang lebih baik. Ketiga pertanyaan inilah yang dijawab oleh agama.
Pertanyaan yang ada adalah mengapa kita membahas mengenai Allah? Mengapa kita ingin mengetahui bahwasanya alam ini ada penciptanya? Pertanyaan semacam ini memerlukan jawaban yang pertama. Jawabannya adalah manusia punya rasa penasaran terhadap apa yang ada di sekitarnya, dia ingin selalu mengetahui apa yang terjadi di sekitarnya ketika dia melihat manusia-manusia yang ada di sekitarnya dia ingin berkenalan dengan orang-orang yang ada di sekitarnya. Ada peristiwa yang terjadi di sekitarnya dia ingin berkenalan dengan peristiwa itu dan mengenalnya. Ketika seorang manusia melihat langit yang tinggi, ia ingin tahu apa hakikat dari pada langit itu. Ketika melihat bintang-bintang yang bertebaran di angkasa, melihat bumi yang dihamparkan sedemikian luas dengan pemandangan-pemandangannya yang menawan, melihat berbagai macam fenomena alam yang menarik, melihat burung-burung yang indah, ikan-ikan berwarna-warni yang tersebar di lautan, muncul pertanyaan pada diri manusia: Apakah semua yang saya lihat dan saya saksikan di alam ini tercipta begitu saja? Ia datang dengan sendirinya tanpa ada yang menciptakannya ataukah ada yang menciptakan?Apakah sesuatu yang saya lihat dan saya saksikan di dunia ini muncul dari ketiadaan dengan sendirinya ataukah ada tangan yang sangat mampu berkuasa yang membuat dan menciptakannya lalu menghadirkannya di alam wujud ini?
Coba bayangkan seseorang mengalami sebuah peristiwa kecelakaan di lalu lintas, kemudian dibawa ke rumah sakit tiga hari lamanya dia dalam keadaan pingsan. Ketika dia sadar, dia akan melihat sekelilingnya. Pertama kali yang muncul di benaknya dia akan bertanya-tanya: Di manakah aku?Mengapa aku berada di sini?Siapa orang-orang yang ada di sekitarku?Orang yang datang kemudian pergi ke mana? Pertanyaan-pertanyaan ini muncul dalam benak orang tadi. Kita bayangkan manusia yang berada di dunia ini juga mengalami hal yang tidak kurang dari itu. Ketika dia berada di dunia dia bertanya-tanya: Di manakah aku berada? Mengapa aku datang kemari dan ke mana aku kelak akan pergi?
Alangkah bahagianya orang ketika dia bisa mendapatkan jawaban atas ketiga pertanyaan inti itu. Ketika dia bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan dari mana dia datang, untuk apa dia datang, ke depan apa yang harus yang akan terjadi pada dirinya dan untuk itu apa yang harus dilakukan di dalam kehidupan ini, jika dia bisa mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan itu dia adalah orang yang paling berbahagia.
Rasa penasaran dan keingintahuan yang ada pada diri setiap manusia inilah yang menjadi awal jawaban dari pertanyaan mengapa kita mencari dan membahas tentang Allah. Ketika manusia memiliki pertanyaan-pertanyaan itu, maka manusia yang bijak, manusia yang baik, manusia yang berada pada kondisi yang normal, dia tidak akan berhenti sampai dia bisa menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut sehingga dia bisa mendapatkan jawaban siapakah yang menciptakannya dan siapakah yang menciptakan alam ini.
Kedua adalah atas pertanyaan mengapa manusia membahas tentang Tuhan adalah karena manusia dalam dirinya dia punya tabiat. Dia punya bawaan bahwasanya dia ingin sekali berterima kasih kepada siapa pun yang melakukan kebaikan kepadanya. Dia melihat bahwasanya dalam kehidupan dia mendapatkan banyak sekali kenikmatan, melihat adanya banyak kenikmatan ini jiwa manusia dan secara fitrahnya terdorong untuk berterima kasih kepada pemberi kenikmatan-kenikmatan ini.
Anggap saja kita berada di sebuah jamuan. Kita berada di sebuah tempat di mana kita dijamu dengan segala macam jamuan yang menawan, diberi makanan dan segala macam hal yang membuat orang merasa bahwa jamuan ini adalah jamuan yang spesial. Apakah orang tersebut akan diam dan tanpa mengetahui siapa yang memiliki jamuan ini? Siapakah yang memberikan jamuan ini kepadanya? Dorongan bagi seorang manusia ketika melihat hal semacam ini adalah dia berusaha untuk mencari tahu siapa sebenarnya yang memberikan jamuan ini, lalu dia akan mendatanginya akan mengenalnya dan akan mengucapkan terima kasih kepadanya.
Kita berada di alam penciptaan yang kita lihat bahwasanya berbagai macam kenikmatan kita saksikan dalam kehidupan ini. Kita lihat bahwa kita memiliki mata yang bisa melihat segala keindahan, telinga yang bisa mendengarkan hal-hal yang indah, tangan yang bisa bergerak dan melakukan segala hal, akal dan kecerdasan yang kita miliki, matahari, bulan, langit, ikan-ikan yang bertebaran di lautan, dan semua kenikmatan yang ada di bumi ini kita memiliki dan mendapatkan kenikmatan-kenikmatan tersebut. Apakah tidak saatnya kita untuk mencari tahu siapa yang memberikan semua kenikmatan ini? Kemudian kita ajukan kepadanya tanda terima kasih kita atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kita. Jika kita tidak memiliki dan jika kita tidak sampai bisa mengenal siapa yang memberikan semua kenikmatan ini tentunya kita akan menjadi orang yang selalu hidup gelisah karena tidak tahu siapa yang memberikan semua kenikmatan ini.
Jawaban ketiga atas pertanyaan mengapa kita membahas Allah dan mencari tahu tentang Allah adalah masalah hitung-hitungan untung rugi, kemungkinan-kemungkinan kerugian yang akan diderita. Manusia selalu akan menghindari kerugian walaupun kerugian itu masih dalam bentuk kemungkinan saja. Anggap saja kita berada di sebuah perjalanan panjang. Di tengah jalan kita berhenti lalu kita mendengar berita bahwasanya di depan sana, kalau kita melanjutkan perjalanan ada perampok-perampok dan penyamun-penyamun yang siap untuk merampok atau membegal kita bahkan mungkin membunuh kita, atau anggap saja di depan sana ada binatang-binatang buas yang berkeliaran yang siap untuk memangsa kita. Pertanyaan, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita? Akal mengatakan bahwasanya dalam keadaan semacam ini kita tidak seyogianya melanjutkan perjalanan kita. Tunggu, kita cari tahu jalan manakah yang benar-benar aman atau jika ancaman-ancaman itu ada kapan ancaman-ancaman itu akan berakhir sehingga kita bisa melanjutkan perjalanan kita dengan aman. Kita akan berhenti mencari tahu jalan mana yang harus kita tempuh supaya kita tidak mendapatkan kerugian yang mungkin terjadi.
Kehidupan kita di dunia juga seperti itu. Kita berada di dunia lalu kita menyaksikan adanya banyak mazhab, banyak agama, banyak pemikiran, banyak ideologi di depan kita yang menawarkan pandangan-pandangannya. Kita dihadapkan pada suatu hal bahwasanya kalau kita tidak memilih salah satu di antaranya atau ketika pilihan kita jatuh pada pilihan yang salah, maka kesengsaraan akan menanti kita dalam kehidupan di alam sana. Sementara ada para nabi datang diutus oleh Allah ke bumi ini, ke tengah kehidupan manusia, mereka menyerukan dan memberitahukan kepada kita akan adanya alam akhirat nanti, yang mana di alam akhirat nanti kebaikan akan dibalas dengan kebaikan dan keburukan dibalas dengan keburukan. Kita diperintahkan untuk mengikuti para nabi, kita diingatkan jika tidak mengikuti nabi, tidak mengikuti ajaran Allah, maka kita akan mengalami kesengsaraan di akhirat. Nanti akal akan mengajak kepada kita untuk memperhitungkan kemungkinan kerugian yang dialami jika kita tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh para nabi. Karena itu kita harus mempelajari apakah benar yang dikatakan oleh para nabi itu sehingga kita mengikutinya ataukah hal itu salah. Jika benar, kita akan mengikutinya; jika salah, kita akan tinggalkan.
Bagaimanapun, dorongan supaya kita mencari kebenaran itu ada, karena adanya kemungkinan ancaman-ancaman dan kerugian yang mungkin akan kita dapatkan jika kita mengabaikan seruan para nabi.
Dalam surah Al-Zumar 11, Allah Swt menjelaskan tentang hal itu dengan firman-Nya: Maka berilah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antara perkataan-perkataan itu. Ini adalah dalil ketiga bahwa kita harus membahas tentang Allah dan mencari tahu tentang Allah. Ringkas dari apa yang saya sampaikan adalah bahwa agama terdiri dari dua hal penting. Pertama adalah ushul, ushul yaitu akidah-akidah yang harus dimiliki dan diyakini, dan keduanya adalah furu’ yakni yang mengatur apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.
Kehidupan yang Baik
Beberapa waktu lalu kita memperingati milad Imam Hasan Askari as, Imam Ke-11 dari silsilah 12 Imam Ahlulbait. Beliau adalah ayah dari Imam Muhammad Mahdi afs. Para Imam as memiliki kata-kata mutiara yang layak untuk ditulis dengan tinta emas. Di antara kata-kata mutiaranya adalah yang saya sampaikan pada kesempatan ini hadis dari Imam Hasan Askari as yang menjelaskan tentang pola hidup yang baik. Hadis ini bisa dilihat dalam kitab Tuhaf al-‘Uqul halaman 489. (Edisi Indonesia ada dalam jilid ke-2, halaman 477: Imam Hasan Askari as berkata, “Orang yang paling warak adalah orang yang berhenti pada perkara-perkara syubhat. Orang yang paling ahli ibadah adalah orang yang tidak meninggalkan hal-hal yang wajib. Orang yang paling zuhud adalah orang yang meninggalkan hal-hal yang haram. Orang yang paling kerja keras adalah orang yang meninggalkan dosa.”—red.) Di dalam hadis ini Imam Hasan Askari as menjelaskan empat parameter bagi orang yang ingin memiliki kehidupan yang baik.
Tentunya kita ingin mengetahui keempat permasalahan itu. Kita tentunya ingin bertanya siapakah orang yang paling bertakwa dan siapa orang yang paling warak. Apakah orang yang paling bertakwa adalah orang yang paling banyak salatnya, paling banyak puasanya, paling sering pergi haji dan umrah? Imam mengatakan bahwasanya orang yang paling warak adalah orang yang tidak melakukan sesuatu yang terindikasi perbuatan syubhat. Artinya, ketika di hadapannya ada rezeki yang halal ataukah yang haram dan kita tidak tahu apakah halal haram itu adalah syubhat, maka jangan diambil. Jika kita berada pada satu posisi apakah perbuatan ini wajib ataukah tidak wajib, jika perbuatan yang baik, maka kita lakukan perbuatan tersebut; jika kita tidak mengetahui apakah perbuatan ini haram ataukah tidak haram, maka seharusnya kita tidak melakukan tindakan itu.
Kita tentunya juga ingin mengetahui siapakah orang yang paling banyak ibadahnya, apakah orang yang paling banyak salatnya, banyak puasanya. Imam mengatakan bahwa orang yang paling banyak ibadah, yang paling mengabdi kepada Allah adalah orang yang melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Terkadang kita tergiur oleh suatu perbuatan yang bersifat sunah dan kita lakukan tetapi ternyata perbuatan sunah itu justru menjauhkan kita dari perbuatan yang wajib. Kita juga bertanya siapakah orang yang paling zuhud di dunia ini. Apakah orang yang paling zuhud adalah orang yang tidak punya rumah, tidak punya kendaraan, tidak punya uang dan tidak punya sesuatu apa pun dalam kehidupannya, Imam menjawab bahwa orang yang paling zuhud adalah orang yang meninggalkan sesuatu yang haram, orang yang paling zuhud bukan orang yang tidak punya rumah, tidak punya kendaraan dan tidak punya uang. Kita juga bertanya-tanya siapakah orang yang paling bekerja keras, yang paling giat di dalam beragamanya, apakah orang yang paling banyak berbuat untuk agama adalah orang yang berperang, berperang di medan tempur.
Imam mengatakan bahwasanya orang kalau ingin berjihad, orang yang paling banyak jihad dan kerja keras untuk agama adalah orang yang meninggalkan dosa-dosa. Karena sungguh meninggalkan dosa adalah sebuah perjuangan yang memerlukan perjuangan yang besar, suatu perbuatan yang memerlukan perjuangan yang sangat besar.[]
Naskah ini merupakan khotbah Jumat Direktur ICC Dr. Abdulmajid Hakimelahi, Jumat 27 November 2020, di ICC, Jakarta. Ditranskrip dan disunting seperlunya oleh redaksi Buletin Nur al-Huda.