ICC Jakarta- Pengetahuan satu sama lain saling berkelindan dan mengisi sehingga perlu integrasi yang baik guna memberikan pemahaman yang utuh. Civitas academica pesantren ditantang untuk membangun hal tersebut dalam kultur akademik pesantren. “Kita ditantang untuk membangun integrasi keilmuan di pesantren,” kata Nyai Hj Badriyah Fayumi pada Muktamar Pemikiran Santri Nusantara Seri 3 dalam rangka Hari Santri yang mengangkat tema Strategi Pengembangan Pendidikan Pesantren Pasca Lahirnya UU Pesantren Nomor 18 Tahun 2019, pada Selasa (13/10). Apalagi, lanjutnya, pengetahuan di jenjang pendidikan yang lebih tinggi semakin terspesifikasi dan terspesialisasi. Dalam hal ini, Ilmu keislaman menurutnya, tidak bisa dipisahkan satu sama lain mengingat mempelajari fiqih tentu harus mengetahui ilmu nahwu-sharaf, ushul fiqih, dan sebagainya. “Jadi, integrasi keilmuan ini menjadi agenda yang perlu untuk semakin kita kuatkan di pesantren dan saya berkeyakinan agenda ini tidak hanya wujud dalam bentuk institusi seperti UIN dari IAIN menjadi UIN kemudian diwujudkan dalam bentuk fakultas-fakultas,” katanya.
Ia melihat justru pesantren dengan pendidikannya yang 24 jam dan seluruh keilmuan Islam yang dipelajari sejak awal mampu untuk memberikan landasan integrasi keilmuan sebagaimana ulama-ulama dahulu juga melakukannya. Macam Integrasi Keilmuan Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina itu menjelaskan bahwa integrasi keilmuan perlu dilakukan di dalam rumpun keilmuan agama sendiri. “Kami mencoba melakukan eksperimen itu di Pesantren Mahasina. Untuk anak-anak tingkat Tsanawiyah, sebetulnya sudah bisa,” ujarnya. Integrasi lain yang perlu dilakukan adalah antara keilmuan agama dan umum. Ia mencontohkan pembelajaran mengenai sosial atau sains dihubungkan dengan ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an. Pun sebaliknya, jika membicarakan tafsir Al-Qur’an juga menghubungkannya dengan fenomena sosial dan sains yang relevan dan terkandung di dalamnya. “Tentu saja ini memang membutuhkan kompetensi-kompetensi guru. Tetapi itu hal yang sangat mungkin untuk bisa kita lakukan dalam kerangka kekuatan keilmuan pesantren ini akan menjadi makin kuat dalam menghadapi tantangan globalisasi dan modernitas dan yang berakar pada tradisi keilmuan Islam dan pesantren,” ujarnya.
Integrasi berikutnya, lanjut Nyai Badriyah, adalah antara nas atau teks dan realitas yang jangkauannya sangat luas, meliputi pengalaman hidup sebagai individu, realitas kehidupan di Indonesia, hingga realitas masyarakat dan bangsa Indonesia yang berbeda dengan bangsa lain. “Ini saya pikir perlu dikenalkan kepada para santri langsung masuk dalam kurikulum keilmuan ini membuat cara pandang santri kita akan lebih luas,” kata Ketua Dewan Pengarah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) itu. Hal ini juga harus dikenalkan sesuai dengan tingkatan-tingkatannya, termasuk realitas-realitas yang timpang juga. Keilmuan pesantren ini, menurutnya, sudah mampu menjadi pengetahuan yang nantinya akan bisa menjawab tantangan kehidupan keagamaan, kemasyarakatan, hingga berbangsa dan bernegara di masa kini dan masa yang akan datang. Terakhir, Nyai Badriyah menegaskan bahwa integrasi keilmuan yang tak kalah penting dan sudah diterapkan para santri adalah integrasi antara zikir, fikir dan amal saleh.
Sementara itu, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo Kediri,
Jawa Timur KH Reza Ahmad Zahid menyampaikan bahwa pengembangan pembelajaran
yang berlangsung di pesantren tidak melunturkan tradisi, nilai-nilai, hingga
materi dasar yang diajarkan di dalamnya. “Perkembangan yang ada di pondok
pesantren juga menambah materi ajar. Tidak sampai menghilangkan materi dasar
yang sudah menjadi tradisi turun temurun dari sesepuh turun ke anak cucu dan
sampai sekarang masih tetap eksis,” kata Wakil Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul
Ulama (PWNU) Jawa Timur itu.
Sumber: nu.or.id