ICC Jakarta – ini adalah bagian dari pengantar yang disampaikan oleh Ayatullah Ali Tasykhiri, landasan dasar pentingnya kemerdekaan dalam bermadzhab.
Realitas Islam
Realistis pada pengertiannya yang positif adalah salah satu sifat paling komprehensif yang menghiasi Islam. Realistis yang dimaksud ialah pengakuan terhadap realitas insani dan rencana-rencana operasional untuk mengembangkannya semaksimal mungkin di bawah pancaran ilmu ilahiah tentang realitas tersebut beserta semua komponen, kebutuhan, problematika, dan dengan penegakan keadilan dalam upaya pemenuhan semua ini. Sedangkan realistis pada maknanya yang negatif ialah pasivitas dan kepasrahan kepada kenyataan yang sudah mapan dan penyesuaian diri dengannya dalam segala keadaan. Realistis demikian juga berseberangan dengan idealisme yang tentu tidak akan padam dalam menghadapi kenyataan.
Dari sifat ini kemudian muncul sifat-sifat Islami komprehensif lainnya, yaitu kefritian, keseimbangan, kelemahlembutan, inklusivitas, moderat, universalitas dan lain-lain sesudah Islam menjadi penutup dan penyempurna semua agama serta menjadi program yang final untuk semua perjalanan menuju hari kiamat. Dari sini kemudian hadirlah ketentuan Islam untuk hubungan konseptual dan aktual antarsesama umat Islam.
Ketika jarak pemikiran insani tidak memungkinkan terwujudnya idealisme persatuan kecuali dalam bingkai fitri yang universal dengan segala ketetapan dan konsekuensinya yang gamblang dan tidak terterobos oleh rincian, kecuali dalam jumlah yang sangat kecil maka dalam menyikapi berbagai persoalan primer sudah tentu umat Islam sama sekali tidak dapat menolerir perpecahan, kekacauan dan kelemahan. Karena itu datanglah agenda Islam sebagai penegasan atas keharusan adanya persatuan yang konkret di ranah aktual dan sebagai penyesuaian diri umat dengan realitas bahwa upaya kolektif untuk mewujudkannya memerlukan beberapa unsur penting yang antara lain ialah sebagai berikut.
1. Kesepakatan atas prinsip-prinsip teoretis umum yang telah kami sebutkan tadi.
2. Kesatuan tuturan Qurani dan nabawi untuk setiap anggota umat Islam tanpa ada pengecualian.
3. Kesatuan tanggung jawab kolektif dan mandat yang umum dan mutualistik di bidang pengelolaan urusan.
4. Kesatuan legislasi dan undang-undang strategis dengan segala sesuatunya, termasuk berkenaan dengan perencanaan yang meliputi syiar-syiar persatuan umat seperti persatuan arah dan irama ubudiyah serta persatuan solidaritas sosial, ekonomi dan hukum.
5. Persatuan sensibilitas dan perilaku moral insani yang sekiranya dapat membuahkan kedekatan hati, menghapus dendam, menebar semangat, saling percaya dan pengindahan hak satu sama lain, dan pada gilirannya dapat memasyarakatkan prinsip persaudaraan antarsesama mukmin dengan segala konsekuensi yang terkandung di dalamnya berupa semangat kerja sama, pengorbanan dan pengabaian terhadap ego.
6. Peringatan secara berkesinambungan terhadap umat Islam agar senantiasa mewaspadai musuh yang selalu mengintai gerak-gerik mereka, memburu kesempatan untuk menghancurkan identias dan eksistensi mereka, dan tidak mengindahkan norma apa pun dalam melakukan semua ini. Umat juga harus diperingatkan bahwa musuh tidak memedulikan apa pun mazhab mereka. Jika ini tidak dilakukan, ini akan menjadi fitnah dan mafsadat yang besar.
Adapun di ranah konseptual, Islam tidak memandang perselisihan pendapat sebagai problem, melainkan memang merupakan sesuatu yang alami sehingga al-Quran pun menyebutkan soal ikhtilaf yang ada di antara para nabi sendiri.
Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.[1]
Terungkapnya hakikat-hakikat keilmuan terkadang juga menimbulkan ikhtilaf, sebagaimana terlihat dalam kisah Nabi Musa as dan seorang hamba saleh.
Betapapun demikian, ikhtilaf yang secara pemikiran dapat ditolerir tentu memiliki batas dan ketentuan sebagai berikut.
1. Tidak boleh menyentuh prinsip-prinsip yang sudah dikukuhkan oleh fitrah dan hal-hal yang sudah mapan berdasar dalil yang gamblang dan solid. Karena menyentuh hal-hal demikian tak ubahnya dengan menyoal kebenaran Islam itu sendiri sehingga menjurus pada keluarnya seseorang dari zona Islam.
2. Harus berdasarkan dalil dan argumentasi dan terjauh dari pelontaran sembarang pendapat sebagaimana terjadi belakangan di mana orang-orang tertentu telah menafsirkan syariat sekehendak hatinya dan untuk memenuhi selera dan kepentingannya sendiri.
3. Harus menggunakan metode dialog yang rasional dan logis, dalam suasana yang damai, objektif dan sportif tanpa ada intimidasi atau pembodohan. Semua pihak dalam dialog harus menguasai materi untuk kemudian didiskusikan dengan cara yang terbaik dan dengan semangat saling menghormati. Dengan demikian, dialog akan terjaga dari hal-hal sebagai berikut.
a. Keterlibatan orang yang bukan ahlinya.
b. Keterlibatan unsur-unsur yang memang menghendaki pertengkaran, perpanjangan perkara, dan pembodohan.
c. Merebaknya suasana intimidasi, teror, prasangka buruk, takfir dan penghinaan.
d. Beralihnya polemik dari ranah konseptual ke ranah aktual.
e. Satu pihak merasa terusik oleh pandangan pihak kedua, sedangkan pihak pertama tidak merasa bahwa pandangannyapun mengusik pihak kedua.
f. Terjebak dalam persoalan yang sia-sia dan tidak ada kaitannya dengan realitas di lapangan.
g. Harus ada upaya optimal untuk menemukan area kolektif untuk kemudian dikembangkan lalu dilakukan kerja sama untuk mengimplementasikan area ini, sedangkan area sengketa dibiarkan apa adanya namun dalam semangat saling pengertian satu sama lain.
Patut disebutkan pula bahwa hal yang sama juga dapat diusung dari wilayah Islam ke wilayah agama lain secara umum dan bahkan ke gelanggang yang lebih universal, yakni gelanggang kebudayaan dan peradaban insani.
Disampaikan oleh Sekjen Forum Internasional Pendekatan Antarmazhab Islam
Almarhum Ayatullah Syekh Muhammad Ali Taskhiri
[1] QS. al-Anbiya’ [21]: 78-79.