ICC Jakarta – Dengan mengambil tema Asyura dan kekuatan iman seorang mukmin, hikmah peringatan majelis duka pun dimulai. Pembicara kali ini adalah Ust Ammar Fauzi yang juga merupakan Ketua Departemen Riset STFI Sadra Jakarta. Dengan paparan yang sangat bersemangat, ia menjelaskan bahwa ketika kekuatan iman seorang mukmin dikaitkan dengan peristiwa Asyura pada saat itu, akan bisa dilihat kekuatan iman yang ada pada para sahabat Imam Husain as. Malam ke-sepuluh bulan Muharam tahun ke-61 H kala itu, Imam Husain as memberikan tawaran untuk meninggalkannya, namun tidak ada satupun sahabat yang beranjak dan meninggalkan tempat itu. Seluruh kata-kata para sahabat hampir sama: “Wahai Husain! Aku lebih baik mati berkali-kali untuk menjaga martabat dirimu dan Ahlul Bayt.” Para sahabat Imam Husain as melihat kematian sebagai awal dari kehidupan yang penuh dengan kemuliaan.
Salah satu anggota pasukan Imam Husain as yang berasal dari Yaman yang bernama Hamadani, tidak pernah senyum dari awal perjalanan, tapi pada malam itu dia tersenyum. Orang-orang bertanya, “Wahai Hamadani, apa gerangan yang menyebabkan engkau tersenyum malam ini?” Hamadani menjawab: “Wahai saudaraku, bagaimana aku tidak tersenyum, sedangkan besok aku akan bertemu dengan Rasulullah SAW.”
Kekuatan iman pun tercermin secara sempurna pada pribadi Imam Ali as. Pada peristiwa perang Khandak, saat itu seluruh umat muslim ditantang oleh Amr bin Abdu Wud untuk duel. Imam Ali langsung mengajukan diri untuk memenuhi tantangan Amr. Ketika Rasulullah berkata kepada semua orang, “Siapakah yang berani maju?”. Dan Ali menjawab bahwa dirinya yang akan memenuhi panggilan Rasul, Rasulullah berkata kepada Ali,” Wahai Ali, dia adalah Amr, bukan orang sembarangan, duduklah.” Kemudian Nabi Muhammad saw bertanya kembali sampai 3 kali kepada kaum muslimin, tetapi tidak ada yang menyanggupi kecuali Ali, akhirnya Rasulullah berkata: “Bangkitlah wahai Ali.”
Sedemikian gentingnya, suasana ketika itu dan sedemikian tinggi keimanan Imam Ali, maka ketika Ali bergerak untuk berhadapan dengan Amr bin Abdu Wud, Rasulullah melepas kepergian Ali dengan bersabda:
لقد برز الإيمان كله، عل الكفر كله
“Sungguh telah bangkit iman sepenuhnya dihadapan kekufuran seluruhnya”
Namun sejatinya, bagaimana Ali bin Abu Thalib menaklukkan musuh? “Setiap kali aku melakukan peperangan, yang aku lakukan adalah dengan memasukkan ketakutan kepada hati musuhku.”
Dalam sebuah hadist, Rasulullah bersabda: “Bahwa Islam tegak bukan dengan senjata, tapi karena ketakutan yang ada pada hati musuhnya.”
Ali bin Abi thalib menang karena dari dari awal dia sudah memangkas jiwa semangat musuhnya dengan ketakutan.
Saat Ali menebas Amr, dimana pada saat itu tertutupi oleh debu yg sangat tebal, setelah debu itu hilang, kaum muslimin melihat Ali dan Amr tetap berdiri. Lalu Amr berkata pada Ali, “Wahai Ali, seranglah aku!” Kemudian Ali menjawab, “Gerakkan tubuhmu”. Pada saat itu badan Amr terbelah menjadi dua. Tebasan pedang Ali bin Abi Thalib tidak terasa layaknya irisan pisau para perempuan Mesir yang terkesima ketika melihat paras Nabi Yusuf namun ia merasa sakit karena kekuatan iman yang dimiliki oleh Ali bin Abi Thalib.
Mengenai keagungan kepribadian Amirul Mukminin, Imam Khomeini, sang pemimpin Revolusi Islam Iran menjelaskan: “Walaupun Ali bin Abi Thalib di rendahkan oleh penguasa saat itu, bahkan ditutupi kebaikan dan kedudukannya bahkan oleh orang Syiah sendiri karena takut, tapi kemuliaan Ali tidak akan pernah hilang, seperti ketika Sayyidah Zainab mengatakan dihadapan Yazid: “Lakukan tipu dayamu, kerahkan semua kekuatanmu, kamu tidak akan bisa menghapus kemuliaan kami.”
Dalam lanjutan penjelasannya Ust Ammar menjelaskan perihal karakteristik keimanan seorang muslim atau mukmin yang sebenarnya. Pada suatu saat ada orang-orang yang mendatangi Imam Ja’far as dan berkata: Wahai Imam, kami adalah syiahmu.” Lalu Imam Ja’far bertanya: “Apakah kalian saling silaturahmi?” Mereka menjawab tidak, Imam kembali bertanya: “Apakah kalian saling menjenguk orang yang sakit diantara kalian.” Tapi seluruh pertanyaan-pertanyaan Imam dijawab oleh mereka dengan “tidak“. Lalu Imam berkata, “Kalau begitu, kalian bukanlah Syiah kami.”
Dari keterangan ini, jika kita mau mengambil konteks kekinian, maka alangkah baiknya pengikut Syiah yang sudah berziarah kepada Imam Husian as lebih dari satu kali, uangnya bisa disumbangkan untuk kebutuhan-kebutuhan mendesak dan darurat terutama di daerah yang sedang menjera di negeri ini misalnya untuk disumbangkan ke daerah Lombok, misalnya.
Dalam penjelasan hadis qudsi, Allah berfirman:
أَنَاْ عِنْدَ المُنكَسِرَةِ قُلُوبُهم
Aku berada di hati orang-orang yang hatinya hancur
Usaha lain yang juga bisa ditempuh bagi yang sudah diberi kesempatan berziarah lebih dari satu kali misalnya bisa memberikan sumbangan kepada orang lain dengan memberikan tunjangan kepada orang-orang yang belum mampu berziarah. Jika demikian, maka akan lebih baik bila dibanding untuk berziarah 2 atau 3 atau ke 4 kalinya dan seterusnya. Wallahu A’lam bi Shawab. [SH/SZ]