ICC Jakarta –Tatanan hidup manusia di alam ini, dan kebahagiaannya yang abadi di alam akhirat kelak sangat tergantung kepada rasa malu yang ada pada dirinya. Manusia zaman sekarang telah banyak yang telah kehilangan rasa malu. Mereka merasa santai melakukan kemaksiatan di depan orang banyak. Manusia dengan kehilangan rasa malu akan berbuat jahat seakan-akan keadaan masa kini telah menjadi bukti kebenaran atas apa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Saww : “Kiamat tidak akan terjadi sampai rasa malu telah lenyap dari anak-anak dan perempuan.” (Bihar Al-Anwar, cetakan baru, jilid VI, hal.315).
Imam Al-Baqir as mengatakan, “Rasa malu dan iman adalah dua hal yang dihubungkan oleh suatu poros. Jika salah satu di antaranya hilang, maka yang lain akan mengikutinya.”
Sedangkan Imam Ja’far Ash-Shadiq as mengatakan, “Tidak beriman orang yang tidak memiliki rasa malu.”
Definisi Rasa Malu
Rasa malu (al-haya’) ialah suatu sifat yang alami dalam diri manusia, yang menjadikannya merasa tidak enak ketika dia melakukan perbuatan jelek dan haram. Dia dapat mencegah dirinya untuk tidak melakukan perbuatan terlarang, karena adanya perasaan yang alami dan fitriah itu.
Sayyid Jamaluddin Al-Asadabadi dalam bukunya, Al-Radd ‘ala al-Madiyyin, mengatakan : “Dengan kata yang mulia itu [rasa malu] hak-hak manusia terfhormati, dan mereka tidak melanggar batas-batas yang telah ditentukan.”
Begitu pula dengan rasa malu, seseorang memelihara hak ayah, ibu, anak, guru, dan setiap orang yang berbuat baik kepadanya. Dia tidak berkhianat, mengingkari janji, atau menolak orang yang meminta pertolongan kepadanya. Dengan perasaan malu pula seseorang tidak akan melakukan perbuatan keji dan perbuatan yang tidak sesuai dengan dirinya.
Sungguh rasa malu dapat dijadikan tindakan pencegahan terhadap segala macam kerusakan. Ia lebih bermanfaat ketimbang ratusan peraturan dan penjaga. Sesungguhnya orang-orang yang mencintai kebaikan masyarakat, menginginkan hilangnya keonaran, harus berupaya agar sifat rasa malu ini tidak lepas dari anggota masyarakat mereka. Bahkan mereka harus menghidupkan dan menumbuhkannya. Tugas utama dan mulia ini tertumpu pada pundak para bapak dan ibu, guru, dan juga semua kaum Muslimin.
Cara Melestarikan Rasa Malu
Jalan untuk melestarikan rasa malu itu antara lain :
Pertama, setiap orang hendaknya menyadari apa yang mereka katakan dan mereka lakukan. Sehingga tidak keluar darinya sesuatu yang bertentangan dengan rasa malu, yang menyebabkan orang lain lebih berani bertindak kepadanya. Misalnya, hendaknya dia tidak mengucapkan kata-kata kotor ketika ada anak kecil, tidak berbohong, dan tidak mengingkari janji. Hal ini dilakukan dalam rangka mengupayakan tumbuhnya rasa malu pada diri anak-anak.. Bahkan dalam buku Mi’raj Sa’adah, orang tua dilarang pergi ke kamar mandi bersama anaknya, dan hal-hal lain.
Kedua, jika dia melihat orang lain berkata atau berbuat yang tidak senonoh dan sedikit rasa malunya, maka hendaknya dia mengatakan bahwa hal itu tidak baik. Di samping itu hendaknya dia memberikan peringatan kepada pelakunya agar perbuatan itu tidak terulang kembali. Misalnya, omongan kotor ketika seseorang bertemu dengan temannya, khususnya ketika dia sedang dalam keadaan marah.
Ketiga, jika dia melihat orang merasa malu, karena ucapan atau perbuatannya, maka hendaknya dia memujinya, atau memberanikan orang tersebut agar dia tetap mempertahankan perilaku seperti itu.
Dalam kesempatan ini, ada baiknya kami sampaikan bahwa jika itu dapat dijaga, maka setiap kali ada hal yang merangsang nafsu syahwat, atau ada film-film porno, maka hal itu sudah barang tentu akan berpengaruh langsung kepada rasa malu yang dimiliki oleh masyarakat.
Timbulnya Rasa Malu Bermula dari Mata
Banyak pelajaran yang bisa kita petik dari berbagai riwayat dan wejangan para ulama, bahwa timbulnya perilaku yang mulia pada manusia tampak dari matanya. Oleh karena itulah kita dilarang untuk meminta tolong atau bantuan kepada orang yang tidak melihat (buta), sebagaimana kita dilarang untuk meminta tolong di malam yang gelap gulita, meskipun kepada orang yang tidak buta, karena kedua mata orang tadi tidak dapat melihat dalam kegelapan. Alasannya ialah, karena kedua kondisi tersebut tidak akan menimbulkan rasa malu.
Saat-saat yang Tidak Tepat bagi Kita untuk Malu
Kadangkala manusia melakukan kesalahan dan merasa bahwa perbuatan yang bak tergambarkan olehnya sebagai suatu perbuatan yang buruk, karena dia merasa malu. Misalnya, malu bertanya tentang hal-hal yang belum dia ketahui, khususnya masalah-masalah yang berkaitan dengan agama. Malu seperti ini, menurut banyak riwayat, dinamakan malu orang bodoh, sebab dikatakan, “Tidak ada malu dalam masalah agama.”
Singkatnya, sesungguhnya rasa malu dalam mempelajari masalah-masalah agama, adalah salah. Seperti rasa malu untuk menampakkan kebenaran, dan mengambil keputusan untuk sesuatu yang benar, menampakkan kebenaran orang lain, atau menyatakan hak orang lain yang benar. Malu di situ sangat tidak tepat.
Juga, rasa malu yang salah adalah malu pada hal-hal yang sifatnya alamiah yang sudah kita terima, yang berada di luar kemampuan manusia untuk mengubahnya, sehingga sangat tidak masuk akal bila ada orang yang mengejeknya. Misalnya : postur tubuh yang terlalu tinggi atau terlalu pendek, badan yang kurus atau sangat gemuk, rupa yang jelek, atau rambut yang terlalu hitam. Atau juga, sakit, fakir yang berada dil luar kemampuan manusia untuk mengubahnya, karena hal itu bukanlah sesuatu yang jelek.
Saat-saat Ketika Kita Patut Merasa Malu
Semua perbuatan yang dianggap oleh akal dan agama sebagai sesuatu yang jelek dan tidak masuk akal, patut mendapatkan rasa malu bila kita melakukannya. Sehingga dengan begitu, kita tidak mendekat kepada perbuatan tersebut, dan kita menjadi orang yang terpuji.
Rasa malu seperti itu terbagi menjadi dua bagian :
Pertama, rasa malu terhadap manusia, yakni seseorang meninggalkan suatu perbuatan yang kurang terpuji karen atakut dilihat oleh orang lain, sehingga dia merasa malu.
Kedua, rasa malu terhadap Allah, yaitu kesadarannya bahwa Tuhannya senantiasa mengetahui perbuatannya. Dia selalu mengawasi dan memperhatikan dirinya, apakah dia dalam kesendirian atau berada di tengah-tengah orang banyak. Baik dia dilihat oleh orang atau tidak dilihat, dia tetap merasakan bahwa Allah selalu berada di sampingnya, melihat dan mengawasinya, sehingga dia merasa malu kepada-Nya, dan meninggalkan perbuatan yang kurang baik.
Sesungguhnya letak kesempurnaan manusia adalah bila dia telah memiliki rasa malu dalam bentuk yang kedua. Kesengsaraan dan kehinaan masih mungkin akan didapati oleh seseorang bila ia merasa malu dilihat oleh orang lain, tetapi dia tidak merasa malu dilihat oleh Allah Swt. Orang lain tidaklah memiliki kemampuan untuk mengalirkan kebaikan, atau sebaliknya, mendatangkan kesengsaraan baginya, tetapi Allah Swt pasti mampu melakukannya.
Sesungguhnya para pengkhianat itu bisa menyembunyikan perbuatan mereka dari pandangan manusia, dan merasa malu dilihat oleh mereka. Akan tetapi, mereka tidak malu dilihat oleh Allah Swt yang selalu bersama mereka. Mereka berbicara tentang sesuatu yang tidak diridhai oleh-Nya, padahal Allah mengetahui segala sesuatu yang mereka lakukan. Allah Swt berfirman :
Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang Allah tidak ridhai. Dan adalah Allah Maha Meliputi terhadap apa yang mereka kerjakan. (QS An-Nisa, 4 : 108). (Catatan dari Alam Gaib karya Ayatullah Sayyid Abdul-Husain Dasytaghib, Bandung, Pustaka Hidayah)