ICC Jakarta – Pengutusan para nabi dan penurunan kitab-kitab langit bertujuan menjauhkan masyarakat dari syirik dan menyeru mereka kepada tauhid. Tentu saja tidak cukup hanya dengan menyatakan kalimat tauhid Laa Ilaaha Illallah, tapi tujuan paling penting adalah menyeru manusia kepada tauhid amali (tauhid perbuatan). Tauhid amali ini ditandai dengan terputusnya hati dari semua faktor-faktor materi di dunia ini dan hanya bergantung pada kekuatan mutlak ilahi. Itulah mengapa ayat selanjutnya mengatakan, “Kitab Taurat menyebut hanya Allah yang berpengaruh dalam pekerjaan dunia dan materi, Jangan bergantung pada siapa pun dan hanya kepada Allah kalian bertawakkal.”
“Sunnah ilahi sepanjang sejarah adalah memberi petunjuk masyarakat kepada tauhid dan penghambaan. Oleh karenanya, sebelum diutusnya Nabi Muhammad Saw Allah telah mengutus Nabi Musa as kepada Bani Israel. Nabi Musa as berdasarkan Kitab Taurat yang diturunkan Allah mengajak Bani Israel kepada Allah.
ذُرِّيَّةَ مَنْ حَمَلْنَا مَعَ نُوحٍ إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا شَكُورًا
“(yaitu) Anak cucu dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur. ” (17: 3)
Ayat ini menyeru kepada manusia agar bersyukur kepada Allah atas nikmat besar ini dan menaati Taurat (ayat sebelumnya). Untuk menjelaskan masalah, al-Quran menyebut nama Nabi Nuh as sebagai seorang hamba yang banyak bersyukur. Ayat menyebutkan, “Kakek dan nenek moyang kalian adalah orang-orang yang diselamatkan bersama Nabi Nuh as dari angin topan. Mereka adalah orang-orang yang banyak bersyukur dan akhirnya diselamatkan. Oleh karenanya kalian juga harus banyak bersyukur agar mendapat keselamatan.”
Nabi Nuh as memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan para nabi yang lain. Dengan umur yang demikian, Nabi Nuh as juga lebih banyak mendakwahkan agama Allah kepada masyarakat. Sekalipun banyak mendapat gangguan dan cemoohan dari masyarakat yang diajaknya untuk beriman kepada Allah, namun Nabi Nuh as tetap menunjukkan dirinya sebagai hamba yang banyak bersyukur kepada Allah. Beliau tidak pernah mengadukan kondisinya kepada Allah.
Dari ayat tadi terdapat dua pelajaran yang dapat dipetik:
1. Mengajak anak-anak dan generasi baru kepada kemuliaan dan keimanan nenek moyangnya. Ini satu cara menyeru dan mendidikan mereka lewat pendekatan emosi.
2. Bersyukur dalam segala kondisi, baik dalam situasi sulit atau senang merupakan rahasia keselamatan dan kebahagiaan.