ICC Jakarta – Musik dan lagu dalam terminologi fikih masing-masing berbeda satu dengan yang lain. Lagu adalah irama atau nyanyian yang keluar dari larynx (pangkal tenggorokan) dan diolah pada leher serta menciptakan kondisi ceria dan riang bagi orang yang mendengarkannya dan sesuai dengan tempat-tempat hiburan dan pelesiran. Adapun musik adalah sejenis irama yang keluar dari alat-alat musik.
Dengan memperhatikan sebagian ayat al-Qur’an dan riwayat serta ucapan para psikolog, terdapat beberapa perkara seperti kecendrungan manusia pada kemungkaran dan kerusakan, lalai mengingat Tuhan, pengaruh buruk musik dan lagu atas jiwa dan syaraf serta penyalahgunaan kaum imperialis terhadap lagu dan musik merupakan salah satu hikmah pelarangan dan pengharaman musik dan lagu.
Dalil-dalil utama pengharaman musik (atau penghalalan sebagian musik) adalah ayat-ayat al-Qur’an, sebagian riwayat nabawi dan para imam. Di antara ayat-ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan sebagai contoh dalam hal ini adalah ayat-ayat 72 surah al-Furqan, ayat 30 surah al-Hajj, ayat 3 surah Mukminun dan ayat 6 surah Luqman.
- Imam Shadiq As terkait dengan ayat, “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan diri mereka.“ (Qs. Al-Furqan [25]:72) dan ayat “dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.“ (Qs. Al-Hajj [22]:30) bersabda: “yang dimaksud dengan (kedua) ayat ini adalah majelis-majelis lahw (melalaikan), la’ib (pelesiran) dan ghina (lagu).”[i]
- Imam Shadiq As terkait dengan ayat: “Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.” (Qs. Al-Mukminun [23]:3) bersabda: “Yang dimaksud dengan (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna (laghw) adalah lagu dan menghabiskan waktu tiada guna.”[ii]
- Imam Baqir As dan Imam Shadiq As berkenaan dengan ayat, “Dan di antara manusia (ada) orang yang membeli perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu bahan olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.“ (Qs. Luqman [31]:6) bersabda: “Yang dimaksud dengan lahw al-hadits (perkataan yang tidak berguna) adalah lagu.”[iii]
Penting untuk dijelaskan di sini bahwa kendati kebanyakan dari riwayat ini, ayat-ayat yang disebutkan dapat diterapkan atas lagu akan tetapi pada sebagian riwayat juga dapat diterapkan atas musik.[iv] Sebagaimana hal ini dilakukan oleh para fukaha yang menerapkan ayat-ayat di atas untuk musik.[v]
Dalil terpenting atas keharaman lagu adalah riwayat-riwayat yang disampaikan oleh Nabi Saw dan para Imam Maksum As yang secara lugas dan tegas menunjukkan keharaman lagu. Sebagai contoh kami akan menyebutkan dua riwayat berikut ini:
Imam Baqir As bersabda: “Lagu (bernyanyi) adalah sesuatu yang Allah Swt jadikan api neraka sebagai ganjarannya.”[vi] Demikan juga Imam Shadiq As bersabda: “Hendaklah kalian menjauh dari lagu (bernyanyi).”[vii]
Terkait dengan keharaman musik juga terdapat sebagian riwayat yang dinukil dari Nabi Saw dan para Imam Maksum As yang akan kami sebutkan sebagian darinya di sini:
Imam Shadiq As bersabda:”Alat-alat nyanyian merupakan perbuatan setan. Karena itu apa pun jenis alat yang ada dalam hal ini adalah berasal dari setan.”[viii] Demikian juga Rasulullah Saw bersabda: “Saya melarang kalian untuk (menggunakan) mizmar (flute, seruling) dan kubat (alat musik).”[ix]
Mengingat bahwa redaksi ghina (lagu) bermakna “tarik suara” (olah vokal) bahkan segala jenis suara dan nyanyian[x] dan sesuai dengan tuturan Syaikh Anshari Ra: Amat jelas bahwa tidak satu pun dari definisi ini yang (menjadikan lagu itu) haram.[xi] Atas dasar ini, seluruh fukaha memandang haram musik yang masuk kategori dan memiliki kait lahw (melalaikan). Artinya bahwa lagu yang melalaikan (manusia dari mengingat Tuhan) adalah haram.[xii] Redaksi “lahw” dimaknai sebagai melupakan Tuhan dan tenggelam dalam pelbagai kevulgaran.[xiii] Disebutkan bahwa lagu dan tarik suara yang diharamkan adalah lagu dan nyanyian yang sesuai dengan majlis-majlis lahw, la’ib, fasad dan hiburan.[xiv]
Sebagian fukaha di samping kait “lahw” juga menambahkan kait “mutrib” atas lagu dan nyanyian yang diharamkan.[xv] “Tharb” disebut sebagai kondisi entengnya akal yang dihasilkan setelah mendengar lagu atau musik pada jiwa seorang manusia. Dan mengeluarkannya dari kondisi stabil dan moderat (i’tidal). Dan demikian juga terkait dengan musik (irama yang keluar dari alat-alat musik) yang memiliki kait “lahw” dipandang oleh mayoritas fukaha sebagai musik yang haram. Sebagian juga memandang haram mendengarkan musik muthrib (melenakan).[xvi]
[i]. Wasâil al-Syiah, jil. 12, bab 99, Abwâb ma Yuktasabu bihi, hadis ke 2, 3, 5, 9, dan 26.
[ii]. Tafsir ‘Ali bin Ibrahim, jil. 2, hal. 88.
[iii]. Wasâil al-Syiah, jil. 12, bab 99, Abwâb ma Yuktasabu bihi, hadis ke 6, 7, 11, 16 dan 25.
[iv]. Ibid, bab 100, hadis ke-3.
[v]. Al-Makâsib al-Muharramah, Imam Khomeini Ra, jil. 1, hal. 2.
[vi]. Wasâil al-Syiah, jil. 12, bab 99, Abwâb ma Yuktasabu bihi, hadis ke 6
[vii]. Ibid, hadis ke-23 dan 24.
[viii]. Ibid, bab 100, hadis ke-5 dan 6.
[ix]. Ibid.
[x]. Al-Makâsib al-Muharramah, Imam Khomeini Ra, jil. 1, hal. 299.
[xi]. Syaikh Anshari, Makâsib, jil. 1, hal. 292.
[xii]. Risâlah Dânesyju, hal. 171.
[xiii]. Ahmad Syarmakhani, Insân, Ghinâ, Musiqi, hal. 14.
[xiv]. Risâlah Dânesyju, hal. 171. Bagaimanapun keharaman suara secara mutlak tidak selaras dengan akal dan fitrah manusia serta berseberangan dengan sebagian riwayat yang menitahkan untuk membaca al-Qur’an dengan indah. Karena itu, yang dimaksud adalah suara jenis khusus dan kriteria keharamannya dapat disimpulkan dengan redaksi “batil” atau “lahw” (melalaikan).
[xv]. Ibid.
[xvi]. Taudhi al-Masâil Marâji’, jil. 2, hal. 813 dan 913; Masâil Jadid, jil. 1, hal. 47 dan seterusnya.