ICC Jakarta – Para nabi as dan para wasi (pengganti mereka) membawa obor petunjuk Ilahi semenjak fajar sejarah dan sepanjang masa. Allah Swt tidak pernah membiarkan hamba-hamba-Nya terbengkalai tanpa pembimbing serta cahaya yang bersinar. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh nas-nas wahyu dan didukung oleh bukti-bukti akal, bahwa bumi tidak pernah kosong dari seorang hujah (pembawa kebenaran) atas hamba-Nya. Dengan demikian, manusia tidak punya hujah (alasan atau pembelaan) di hadapan Allah. Hujah (Allah atas hamba-Nya) akan selalu ada, baik sebelum makhluk, bersama makhluk maupun sesudah makhluk. Bahkan andaikan di bumi hanya tersisa dua orang, maka salah satunya adalah hujah. Al-Quran secara tegas mengatakan,
Engkau adalah pemberi peringatan dan pada setiap kaum terdapat seorang pemberi petunjuk. (QS. al-Ra‘d: 7)
Para nabi, rasul dan wasi itu membimbing dan mengemban tugas-tugas memberi petunjuk pada seluruh tingkatannya. Tugas-tugas terangkum pada beberapa poin berikut ini:
- Menerima wahyu secara utuh dan menampung risalah Ilahi secara teliti. Tahapan ini menuntut kesiapan yang sempurna untuk menerima risalah. Karena itu, pemilihan Ilahi terhadap para rasul-Nya merupakan hak-Nya semata sebagaimana hal itu ditegaskan oleh al-Quran, Allah lebih tahu di mana Dia meletakkan risalah-Nya. (QS. al-An‘am: 124) dan firman-Nya, Dan Allah memilih dari para rasul-Nya siapa saja yang dikehendaki-Nya. (QS. Ali Imran: 179)
- Menyampaikan risalah Ilahi kepada manusia dan kepada umat mereka. Penyampaian ini bergantung pada kelayakan yang memadai yang terwujud dalam pemahaman dan pengetahuan yang cukup terhadap perincian risalah dan tujuan-tujuannya serta tuntutan-tuntutannya, sekaligus dalam kesucian dari kesalahan dan penyimpangan. Allah Swt berfirman, Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi, sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. (QS. al-Baqarah: 213)
- Membentuk umat yang beriman kepada risalah Ilahi dan mempersiapkannya untuk mendukung kepemimpinan yang memberikan petunjuk demi mewujudkan tujuan-tujuannya dan menerapkan undang-undangnya dalam kehidupan. Al-Quran telah menegaskan tugas penting ini dengan menggunakan terminologi tazkiah (penyucian diri) dan taklim (pendidikan). Allah Swt berfirman, Dan menyucikan (diri) mereka dan mengajari mereka Kitab serta hikmah. (QS. al-Jumu‘ah: 2)
Penyucian diri (tazkiyat al-nafs) ialah pendidikan yang berorientasi pada kesempurnaan yang sesuai dengan manusia. Pendidikan ini menuntut teladan yang baik yang memiliki berbagai unsur kesempurnaan sebagaimana firman-Nya, Sungguh pada diri Rasulullah terdapat uswah hasanah (teladan yang baik) bagi kalian. (QS. al-Ahzab: 21)
- Menjaga risalah dari kebatilan, penyimpangan dan kehilangan pada masa tertentu. Tugas ini juga menuntut kecakapan ilmiah dan spiritual yang disebut dengan ‘ishmah (kesucian diri dari segala dosa dan kemaksiatan).
- Berusaha mewujudkan tujuan-tujuan spiritualitas risalah dan mengukuhkan nilai-nilai akhlak dalam jiwa pribadi-pribadi dan pilar-pilar masyarakat manusia. Yang demikian itu diwujudkan dengan melaksanakan risalah Ilahi dan menerapkan undang-undang agama yang hanif (suci) atas masyarakat melalui pendirian sistem politik yang mengatur urusan-urusan umat berdasarkan risalah Ilahi tersebut. Aplikasi hal ini menuntut adanya kepemimpinan yang bijaksana, keberanian yang memadai, keteguhan yang besar, dan pengetahuan yang sempurna terhadap jiwa dan strata-strata sosial serta aliran-aliran pemikiran, politik, dan sosial serta undang-undang manajemen dan pendidikan dan tradisi kehidupan. Semua itu dapat kami simpulkan dalam kecakapan ilmu dalam mengatur kekuasaan (negara) agama yang mendunia (internasional). Di samping itu, diperlukan ‘ishmah (kesucian jiwa-raga) yang merupakan kecakapan spiritual yang menjaga kepemimpinan agama dari setiap perilaku yang menyimpang atau perbuatan yang salah yang berpengaruh negatif pada kepemimpinan dan ketertundukan umat terhadapnya di mana hal ini bertentangan dengan tujuan-tujuan risalah.
Para nabi terdahulu dan para pengganti mereka yang terpilih telah berjuang dalam menempuh jalan petunjuk dan jalan pendidikan. Mereka telah mengalami berbagai kesulitan dalam menyampaikan risalah, bahkan mereka telah mempersembahkan segala yang dapat dilakukan oleh manusia yang betul-betul telah “fana” (hanyut) dalam prinsipnya dan keyakinannya. Mereka sama sekali tidak pernah mundur setapak pun dan sedetik pun.
Allah Swt telah mengakhiri usaha dan jihad mereka yang terus-menerus melalui risalah Nabi Terakhir, Muhammad bin Abdillah saw. Allah membebankan kepadanya amanat yang besar dan tanggung jawab pemberian petunjuk pada semua tingkatannya serta menuntutnya untuk melaksanakan tujuan-tujuannya. Rasul yang agung saw telah melalui jalan yang terjal ini dengan langkah-langkah yang gemilang. Dalam waktu singkat beliau dapat merealisasikan secara maksimal ajakan-ajakan reformasi dan agenda-agenda revolusionernya.[]