ICC Jakarta – Salah satu sebab mengapa manusia membutuhkan agama ialah karena secara naluri, setiap manusia akan condong kepada hakikat dan kebenaran. Selain itu, kesempurnaan sejati adalah tujuan utama yang ada dalam benak dan fitrah setiap insan. Oleh karena itu, demi mencapai kesempurnaan yang mereka inginkan, maka tak heran apabila mereka berjuang dengan sekuat tenaga bahkan terkadang dengan cara apapun yang dapat dikerjakan. Sementara, kesempurnaan yang hakiki tidak lain adalah ketika mereka sampai pada hakikat itu sendiri. Akan tetapi, untuk mencapai tujuan ini, manusia harus mengetahui tindakan dan amalan apa saja yang lebih optimal dapat mengantarkan seseorang kepada kesempurnaannya. Karena setiap langkah yang ditempuh oleh manusia itu tidak akan lepas dari ide dan nalarnya yang kemudian memerintahkan bagaimana ia harus bertindak, berperilaku, beramal, berkata dan yang lainnya. Nalar dan ide terpenting yang harus ada dalam setiap manusia diantaranya ialah ontologi, antropologi, epistemologis, dan aksiologis.
Apabila manusia percaya kepada satu wujud (existence), yang mana selain wujud maddi (materi) dan dhahiri (ostensible) terdapat pula wujud yang lebih penting pengaruhnya dari wujud materi itu sendiri, maka kepercayaan semacam itu secara otomatis akan mengantarkan dirinya menuju kepada hakikat wujud (non materi) itu sendiri. Dan disaat ia menemukan bahwa hakikat dan realita dari wujud itu ternyata adalah selain wujud materi dan ostensible, maka secara otomatis ia akan percaya bahwa disana telah ada yang menentukan masa depan dirinya. Sehingga dengan itu, iapun akan senantiasa berusaha untuk mengenal hakikat dan realita wujud tersebut. Dari sinilah sebenarnya kita dapat melihat bahwa salah satu pentingnya akan adanya sebuah agama ialah ia mampu mengantarkan manusia kepada sebuah hakikat.
Disisi lain, ia juga telah mengetahui bahwa faktor utama yang membuat manusia dikatakan hidup ialah tatkala dalam diri manusia tersebut masih ada yang namanya “ruh”. Sehingga, dapat dikatakan bahwa ruh inilah letak hakikat manusia itu sendiri.
Oleh karena itu, apabila ide dan pandangan semacam itu sudah ada dalam benak seseorang, maka tatkala itu pula ia akan lebih mudah dalam mencapai kesempurnaan serta hakikat yang selama ini ia cari. Selain juga, sebenarnya ruh itulah yang mendasari seseorang dalam mengambil setiap keputusan, dalam berkeinginan, dalam kemandirian, dalam menjaga harga dirinya dan yang lainnya. Ruh inilah yang mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti; Siapa sejatinya aku? Untuk apa aku dilahirkan ke dunia ini? Apa yang aku lakukan sekarang dan untuk apa aku melakukannya? Kemanakah nanti (selepas mati) aku akan pergi?, dan yang lainnya. Oleh karena itu, salah satu pentingnya agama untuk manusia ialah supaya manusia mengenal siapa dirinya yang sesungguhnya. Karena hanya agamalah yang akan dapat menjawabnya.
Sikap dan perilaku seseorang akan dipengaruhi oleh bentuk ontologi, antropologi dan epistemologi yang ada dalam benaknya. Seseorang yang memiliki akidah bahwa hakikat wujud (eksistensi keberadaan) itu adalah Allah Swt, dan memandang dirinya tersusun dari dua unsur yang berbeda (ruh dan jism), serta melihat segala proposisi dengan menerapkannya kepada akal dan wahyu, maka orang semacam ini adalah termasuk orang-orang yang memiliki tujuan hanya kepada Allah dan memandang segala sesuatu selain-Nya tidak bernilai kecuali yang bersambung kepada-Nya. Hasilnya, iapun akan menilai segala sesuatu dengan hanya berkaca kepada sumber dan referensi-referensi agama dan menjadi orang yang sangat taat kepada agama.
Agama dapat dipandang perlu dalam berbagai dimensi yang berbeda-beda, diantaranya ialah dalam: kognitif, psikologis, sosial, emosional, pendidikan, moral, sosial, dan yang lainnya. Akan tetapi disini kita hanya akan mengisyaratkan salah satu darinya saja.
Kehidupan akan memiliki makna tatkala memiliki dua bentuk sebagai berikut; pertama ialah tatkala seseorang mau menerima seperangkat prinsip dan ajaran yang mampu mengantarkan kepada tujuan hidupnya. Sedangkan yang kedua ialah seseorang yang dengan beberapa ajaran saja kemudian menjadi mampu menahan segala beban dan kesusahan dalam kehidupan, atau bahkan ia juga mampu menjauhkan beban dan kesusahan-kesusahan tersebut dari kehidupannya. (Abdul Husain Khusrupanah, Kalam-e Jadid, hlm. 264)
Atau ketika kita mau menengok dalam al-Quran, maka kita akan dapatkan bahwa kehidupan baru akan memiliki makna tatkala agama menilai manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan ia memperkenalkan manusia sebagai sosok yang memiliki otoritas tinggi sebagai wakil atau khalifah Allah diatas muka bumi ini (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: “Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”). (Qs. Al-Baqarah [2]: 30).
Oleh itu, maka agama tidak saja mengenal manusia sebagai makhluk yang berevolusi menuju kepada kesempurnaanya, melainkan juga memperkenalkan manusia sebagai ruhani (pengemban risalah Allah) dan makhluk yang sangat tinggi makamnya. Tidak hanya sebatas itu saja, agama bahkan memandang pekerjaan dan apa-apa yang ada dalam benak manusia itu sebagai sesuatu yang memiliki nilai. Dari sinilah, mengapa agama (khususnya Islam) menilai bahwa barang siapa mencari nafkah dengan niat supaya keluarganya hidup secara berkecukupan, maka sama saja ia dengan orang yang pergi berjihad di jalan Allah Swt. Sehingga, tidak saja kehidupan dunianya akan tercukupi akan tetapi di akhiratpun ia masih akan mendapatkan pahala atas pekerjaannya tersebut. Oleh karena itu, agama disamping mengarahkan manusia kepada jalan yang benar dalam kehidupan di dunia ini, ia juga memperkenalkan pahala atau siksa yang akan diperoleh oleh setiap manusia diakhirat kelak sesuai dengan amal perbuatannya.